Jalankan Putusan MK, Pemerintah Seharusnya Cabut Dulu UU Cipta Kerja
Terbaru

Jalankan Putusan MK, Pemerintah Seharusnya Cabut Dulu UU Cipta Kerja

Akan ada potensi gugatan jika pemerintah menjalankan UU No.11 Tahun 2020 jika belum dilakukan perbaikan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam webinar bertema 'Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja' yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. Foto: ADY
Narasumber dalam webinar bertema 'Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja' yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. Foto: ADY

Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil pada intinya menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Departemen Hukum Tata Negara, Yance Arizona, menilai MK secara jelas menyatakan UU No.11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat, tapi pemerintah merespons sebaliknya dengan menyatakan putusan MK itu konstitusional bersyarat.

Menurut Yance, respon pemerintah itu menyimpan bahaya constitutional perversion yakni pembalikan makna dari yang dimaksud konstitusi. Hal tersebut akan berpotensi memunculkan gugatan hukum terhadap tindakan administrasi pemerintah sebelum dilakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020.

“Akan ada potensi gugatan jika pemerintah menjalankan UU No.11 Tahun 2020 jika belum dilakukan perbaikan,” kata Yance Arizona dalam webinar bertajuk “Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan UU Cipta Kerja” yang diselenggarakan FH UGM, Rabu (15/12/2021) lalu. (Baca Juga: Akademisi FH UGM: Seharusnya Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja Tanpa Syarat)

Yance menjelaskan “konstitusional bersyarat” berarti suatu UU atau bagiannya adalah konstitusional sepanjang memenuhi syarat yang ditetapkan MK. Jika syaratnya tidak dipenuhi, maka UU tersebut menjadi inkonstitusional (bertentangan dengan UUD Tahun 1945). Amar putusannya menolak permohonan.

Bila syarat yang ditetapkan MK dalam putusan itu tidak dipenuhi, maka bisa diajukan pengujian kembali. Seperti yang terjadi dalam perkara pengujian Sumber Daya Air tahun 2005, karena pemerintah tidak melaksanakan syarat dalam putusan MK. Beleid itu kemudian digugat kembali tahun 2015 dan UU itu dibatalkan seluruhnya oleh MK.

Sedangkan, inkonstitusional bersyarat ketika suatu UU atau bagiannya adalah inkonstitusional pada saat putusan dibacakan dan menjadi konstitusional bila syarat yang ditetapkan MK dipenuhi. Tapi jika syarat itu tidak dipenuhi UU yang bersangkutan tetap inkonstitusional. Amar putusan inkonstitusional bersyarat mengabulkan permohonan.

“Bila syarat yang ditetapkan MK tidak dipenuhi, maka UU atau bagiannya menjadi inkonstitusional permanen,” tegasnya.

Meskipun dalam amar putusan MK menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tetap berlaku, tapi tidak mempunyai daya ikat karena sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemerintah dan DPR diminta untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020. Langkah terbaik yang perlu dilakukan untuk membenahi adalah mencabut terlebih dulu UU No.11 Tahun 2020. Setelah itu, memperbaiki UU Cipta Kerja dari awal.  

Dalam kesempatan yang sama Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Departemen Hukum Tata Negara, Mahaarum Kusuma, mengatakan amar putusan MK memerintahkan UU No.11 Tahun 2020 untuk direvisi dalam jangka waktu 2 tahun. Jika jangka waktu tersebut lewat maka UU No.11 Tahun 2020 menjadi inkonstitusional secara permanen dan yang berlaku adalah regulasi sebelumnya. “MK seharusnya langsung membatalkan UU Cipta Kerja tanpa syarat apapun,” kata dia.

Mahaarum menyarankan cara terbaik yang perlu dilakukan pemerintah dan DPR menindaklanjuti putusan MK itu adalah memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 secara formil dan substansial (materi muatan). Asas-asas formil dan materil pembentukan peraturan selalu berjalan seiringan. Apalagi saat ini DPR sudah mengadopsi Regulatory Impact Assesment (RIA) dalam proses pembuatan naskah akademik RUU.

“Dimana RIA memberikan syarat adanya konsultasi publik dengan stakeholders terkait yang kemudian didengar dan dihitung cost and benefit,” kata Mahaarum.

Dosen FH UGM Departemen Hukum Tata Negara, Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan yang dibutuhkan untuk menindaklanjuti putusan MK tak cukup tambal sulam melakukan perbaikan terhadap UU No.11 Tahun 2020. Demi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan, UU No.11 Tahun 2020 selayaknya dicabut. “Pemerintah harus mulai melakukan inovasi dalam melakukan pembentukan hukum dan partisipasi yang bermakna,” harapnya.

Herlambang mencatat setidaknya 2 poin utama putusan MK. Pertama, perbaikan pembentukan dengan menekankan partisipasi publik sebagai upaya formal perbaikan. Kedua, menangguhkan tindakan dan kebijakan bersifat strategis dan berdampak luas. Dampak dari putusan ini segala peraturan turunan UU No.11 Tahun 2020 harus dihentikan dan dinyatakan tidak lagi valid untuk melakukan tindakan hukum.

“Pemerintah dan DPR perlu membentuk hukum secara lebih berkeadilan sosial, kembali pada pijakan konstitusi, tak hanya ‘kepentingan investasi’,” kata Herlambang dalam kesempatan yang sama.

Menurut Herlambang, posisi MK perlu ditegaskan tidak sekedar sebagai penjaga konstitusi, tapi juga penjaga keadilan konstitusi (constitutional justice) baik formal dan substansial. Pembentukan hukum bukan semata soal “structural-functional”, tapi perlindungan hak-hak dasar warga negara (HAM dalam konstitusi).

Tags:

Berita Terkait