Jalan Terjal Membongkar Skandal Aliran Dana ke Senayan
Fokus

Jalan Terjal Membongkar Skandal Aliran Dana ke Senayan

Penahanan Gubernur Bank Indonesia seharusnya bisa menjadi pintu masuk mengusut suap dalam pengambilan keputusan di DPR.

Mon/Sut
Bacaan 2 Menit

 

Jika benar demikian, penyidik KPK mungkin bisa meminta pertanggungjawaban dari Aulia dan Maman. Dalam hukum pidana, seseorang bisa dimintakan pertanggungjawaban jika ia mengetahui dan menghendaki suatu perbuatan (willen en de witten). Dengan adanya penggelontoran sejumlah dana, patut diduga Aulia mengetahui dan mengendaki pencairan dana yang diduga digunakan untuk menyuap itu. Namun Aulia membantah hal itu. Saya tidak pernah menerima laporan itu, ujar Aulia seperti dikutip dalam wawancaranya kepada Majalah Tempo.

 

Lalu bagaimana dengan 16 anggota DPR yang telah menerima dana tersebut?  Sejauh ini KPK baru memeriksa Hamka Yandhu dan Anthony Z. Abidin dari kalangan DPR. Itu pun setelah dipanggil beberapa kali. Namun entah KPK yang kurang tegas atau ada maksud lain sehingga wakil rakyat itu awalnya mengabaikan pemanggilan. Baru setelah Hamka dicekal KPK, ia bersedia hadir untuk diperiksa sebagai saksi, Rabu (27/2).

 

Pada saat bersamaan, Badan Kehormatan (BK) DPR juga melakukan investigasi. Menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, Gayus Lumbuun, berdasarkan hasil pemeriksaan BK, ditemukan indikasi tindak pidana gratifikasi oleh BI kepada anggota DPR menyangkut tugas utama DPR, yakni legislasi alias pembuat UU. Dana tersebut diduga dialirkan untuk mempengaruhi revisi UU BI dan UU lain yang berkaitan dengan keuangan. Tetapi mengapa, langkah BK DPR seolah terbentur tembok.

 

Kalau ditelusuri ke belakang, hasil penyelidikan KPK era Taufiequrrahman Ruqi sebenarnya juga pernah menemukan indikasi kuat penyelewengan aliran dana BI itu. Sayang, ketika itu pejabat BI tidak kooperatif. Akibatnya, kata Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean, KPK kesulitan merumuskan pasal sangkaan untuk menjerat terdakwa.

 

Kesimpulan penyelewenangan itu diperkuat lagi dari laporan dari Ketua BPK, Anwar Nasution. Anwar dalam laporan tertanggal 16 laporan tertanggal 16 Agustus 2006 mengindikasikan tindak pidana korupsi dan penyuapan dan penyalahgunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar. Tujuan pencairan dana itu, kata Tumpak, untuk memberikan bantuan hukum kepada mantan penjabat BI yang terlibat dalam permasalahan hukum. Nilainya Rp68,5 M. Sisanya, sebesar Rp31,5 miliar digelontorkan untuk Komisi IX DPR periode 2003. Untuk mendapat keputusan politis mengenai masalah BLBI, tegas Tumpak. Itu terkait dengan penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU BI No. 23/1999.

 

Yang mencurigakan, dana itu langsung diberikan kepada mantan pejabat BI dan anggota DPR tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI. Selain itu, peraturan BI sendiri menentukan bahwa BI dapat menyediakan dana dari anggarannya sendiri untuk keperluan bantuan hukum itu tanpa batas. Menurut Anwar, dalam laporannya, penggunaan dana YPPI itu bertentangan dengan UU No. 16/2001 tentang Yayasan.

 

Penyuap dan penerima suap harus bertanggungjawab

Apalagi, kata Anwar, sejak awal gubernur BI sudah mengetahui tujuan penggunaan dana yang berasal dari YPPI semata-mata untuk keperluan menyuap penegak hukum untuk memproses kasus pejabat BI di pengadilan. Dana YPPI hanya tameng untuk menyuap penegak hukum. Pasalnya, selain penggunaan dana YPPI, dari hasil penyelidikan KPK ditemukan ada penggunaan dana BI untuk dua kegiatan yang sama. Pertama, Rp27,7 M diserahkan langsung kepada para pengacara dengan membuat kontrak kerja. Jadi yang diberi bukan uang tapi jasa bantuan hukum, terang Tumpak. Selain itu, katanya, lebih dari empat miliar juga digunakan untuk diseminasi dan sosialisasi undang-undang yang berkaitan dengan fungsi dan tugas-tugas BI.

Halaman Selanjutnya:
Tags: