“Tanpa berdebat soal teks, ada problem di penegak hukum atau ada problem politik di mana ada motivator yang mendesak penegak hukum untuk melaksanakan pemidanaan. Padahal, pemidanaan UU ITE syarat-syaratnya sudah ketat,” kata Haris.
Bagi Fatia, tak ada harapan ataupun sesuatu yang baru dalam revisi UU ITE. Pembaharuan UU ITE justru mempersulit publik kendati ada reduksi hukum yakni pengurangan masa pidana. Pasal 27 ayat (3) UU ITE semakin memperjelas bentuk-bentuk pelanggaran yang membahayakan publik.
Dalam situasi ini, Fatia menegaskan gerakan masyarakat sipil tak boleh padam. Selama UU ITE masih ada, maka perlakuan diskriminatif berpotensi terjadi. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terus berpikir kritis. Putusan bebas ini diharapkan memberikan semangat baru bagi masyarakat sipil. “Gerakan masyarakat sipil harus konsisten dan terus berjalan,” kata Fatia tegas.
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengekspresikan kegembiraannya usai divonis bebas oleh Majelis Hakim PN Jakarta Timur.
Kriminalisasi Digital
Salah satu advokat yang pernah berhadapan dengan kasus pencemaran nama baik adalah Alvin Lim. Pada medio 2023 lalu, Alvin Lim sempat melemparkan kritik tajam kepada Kejaksaan Agung dengan menyebut “Kejaksaan sarang mafia”. Alvin Lim mengaku kasus tersebut hingga kini jalan di tempat.
Alvin menilai dia berhak melakukan kritik terhadap lembaga negara. Baginya, tak ada pelanggaran hukum yang dia lakukan karena tidak menyerang personal melainkan kritik kepada lembaga hukum.
Sebagai korban dari penerapan UU ITE, Alvin pun tak sepakat dengan keberadaan Pasal 27 UU ITE. Penafsiran Pasal 27 UU ITE dinilai tak jelas ukurannya. Seperti makna atau definisi hoax, menimbulkan kerusuhan, ditafsirkan sesuai pada keterangan ahli yang dapat memicu kriminalisasi. Pun demikian, Alvin menegaskan UU ITE tetap diperlukan untuk mengatur ruang digital yang selama ini belum memiliki payung hukum.