Jalan Panjang Menuju Kompetisi Telekomunikasi
Fokus

Jalan Panjang Menuju Kompetisi Telekomunikasi

Sejak gagalnya transaksi silang antara PT Telkom dengan PT Indosat beberapa waktu lalu, wajah industri telekomunikasi di Indonesia kembali suram. Gagasan agar industri telekomunikasi ini memasuki kompetisi dalam waktu dekat agaknya sulit untuk diwujudkan. Apalagi tidak ada keseriusan dari pemerintah selaku regulator untuk memperbaiki pasar telekomunikasi di Indonesia.

Ram/APr
Bacaan 2 Menit
Jalan Panjang Menuju Kompetisi Telekomunikasi
Hukumonline

Rencana duopoli pemerintah pada tahun ini sepertinya hanya mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak, pelaku pasar menginginkan adanya percepatan untuk memasuki persaingan. Sementara pemerintah selaku fasilitator tidak memberikan kesempatan secara merata. Tampaknya, pemerintah masih bersikap diskriminatif terhadap operator telekomunikasi yang ada saat ini.

Padahal pada bagian pertimbangan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, salah satunya menyebutkan adanya perubahan cara pandang yang disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi telekomunikasi dan globalisasi. Terkait dengan masalah itu, pemerintah berkomitmen untuk menata ulang industri ini agar bisa berkembang.

Meski tidak disebutkan secara eksplisit, UU No 36 tahun 1999 akan memberikan jaminan bagi penyelenggaraan kompetisi di sektor telekomunikasi menuju kompetisi. Dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa penyelenggara telekomunikasi dibagi menjadi tiga kategori, antara lain penyelenggara jaringan, penyelenggara jasa, dan penyelenggara telekomunikasi khusus.

Kemudian pada Pasal 8 undang-undang yang sama ditegaskan siapa yang berkesempatan menjadi penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi. Mereka adalah Badan Usaha  Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan usaha swasta, dan koperasi.

Logikanya, terhitung 8 September 2000 seharusnya DPR dan pemerintah menyiapkan rambu-rambu yang tegas agar undang-undang ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hinca Pandjaitan, praktisi hukum telekomunikasi, berpendapat bahwa DPR telah memberikan "cek kosong" kepada pemerintah dalam membuat aturan main telekomunikasi di Indonesia.

Paling tidak terdapat 19 materi dalam level Peraturan Pemerintah dan 4 materi dalam level Keputusan Menteri. Praktis, DPR telah memberikan 23 cek kosong regulasi telekomunikasi di Indonesia. Seharusnya, UU Telekomunikasi dan peraturan di bawahnya merupakan "jembatan" menuju kompetisi. Dengan serentet cek kosong tersebut, kompetisi telekomunikasi akan melalui jalan yang sangat panjang.

Jadi sangat disangsikan kompetisi industri telekomunikasi di Indonesia bisa berjalan dalam waktu dekat. Padahal AFTA (Asean Free Trade Area) sudah di ambang mata. Bisa dibayangkan jika pemerintah tidak selekasnya melengkapi diri dengan regulasi yang mendukung keterbukaan investasi dan kepastian berusaha bagi penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi selain Telkom.

Kecuali, pemerintah berniat "menghancurkan" pelaku usaha (operator) selain Telkom. Jika demikian, pemerintah tidaklah siap dengan kelangsungan pasar bebas. Pada era ini, seyogyanya sektor swasta lebih diberikan kesempatan dalam mengembangkan pasar dan investasi di sektor telekomunikasi.

Telkom tetap dominan

Melihat struktur pasar yang tercipta dalam kurun waktu dua tahun, khusus untuk fixed line ini, bisa dibilang PT Telkom sangat dominan. Pasalnya, pemerintah sendiri tidak memberikan kesempatan bagi pelaku usaha (operator) telekomunilkasi secara mandiri untuk menyelenggarakan jasa dan atau jaringan telekomunikasi.

Satu fakta, selamanya Telkom akan "memungut" hasil dari penyelenggaraan telekomunikasi oleh pelaku usaha lainnya. Rezim interkoneksi yang dibangun merupakan satu cara Telkom untuk terus memungut keuntungan dari penyelenggaraan jasa dan atau jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh pihak swasta.

Buktinya, Ratelindo sebagai operator fixed lined yang tiga tahun lalu masih menjadi alternatif bagi konsumen, ternyata tidak bisa bertahan lama. Mungkin ini yang dikategorikan sebagai seleksi alam. Tapi bukankah seleksi alam ada ketika satu rantai usaha (persaingan) yang sempurna terjadi di antara pelaku bisnis telekomunikasi.

Kenyataannya, dalam industri telekomunikasi di Indonesia tidak pernah terjadi pasar yang bersaing secara sempurna (perfect competition market). Karena jelas, hanya Telkom yang memiliki jaringan yang bisa menjamin terselenggaranya komunikasi secara jernih. Sementara Ratelindo dan operator lainnya (jika ada) hanya diberi hak untuk "menyewa" jaringan yang ada melalui rezim interkoneksi.

Pada satu pasar yang bersaing secara sempurna, di dalamnya akan terdapat satu kegiatan yang sama dengan kualitas penyelenggaraan yang sama. Kemudian, masyarakat atau konsumen akan menentukan mana yang paling baik.    

Tidak ada yang menyangkal bahwa monopoli akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Namun perlu digarisbawahi bahwa pasar yang monopolis tidaklah selalu akan memberikan keuntungan. Satu ukuran bahwa monopoli berjalan secara alamiah adalah adanya jumlah produksi yang besar melebihi jumlah permintaan yang ada.

Dalam kasus fixed line, Telkom memiliki produksi yang cukup besar. Namun di sisi lain, tidak sedikit satuan sambungan telepon (SST) yang "menganggur" karena tidak ada peminatnya. Ringkasnya, tidak ada keseimbangan antara permintaan yang ada dengan jumlah prosuksi yang dihasilkan. Padahal sambungan yang menganggur bukanlah sambungan yang dibangun secara gratis.

Akhirnya, Telkom sendiri kewalahan bagaimana manata ulang pembangunan telekomunikasi. Besarnya investasi yang dikeluarkan tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh, sehingga biaya produksi melonjak. Celakanya, justru pemerintah bersama Telkom "berkolusi" untuk membebankan jumlah kerugian yang diderita Telkom dalam tiga fase kenaikan tarif.

Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat selaku pengguna, kecuali menerima kebijakan  kenaikan tarif. Kesalahan mendasar Telkom dalam pengadaan dan pengembangan telekomunikasi adalah menyediakan atau menawarkan SST dengan harga yang relatif murah.

Menurut sumber hukumonline di Telkom, penyediaan satu SST paling tidak membutuhkan dana kurang lebih AS$1.000. Namun yang terjadi, Telkom "mengobral" SST untuk menggaet masyarakat menggunakan telepon. Kesalahan ini harusnya tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.

Akhirnya, hanya Telkom yang mampu menyediakan jasa dan menyelenggarakan telekomunikasi fixed line. Bila ada operator lainnya mungkin hanya mendapatkan kue kecil telekomunikasi dan harus menunggu proses seleksi. Sehingga lumrah jika operator yang ada justru "tahu diri" menyerahkan pasar fixed line hanya pada Telkom.

Karena itu, merupakan langkah cerdas jika operator lainnya seperti Indosat dan Satelindo memilih bermain pada pasar selular. Pada pasar selular, persaingan yang terjadi sangat sempurna. Masing-masing operator menawarkan kualitas jasa yang berbeda. Diperkirakan, pada 2002 ini pasar selular akan mengungguli pasar fixed line.

Tambal sulam kebijakan

Sulit dibayangkan, suatu kompetisi tidak dikoridori oleh undang-undang yang memadai. Cepat atau lambat, kompetisi yang berlangsung akan mengarah pada "penghalalan" segala cara agar bisa menghambat (entry barrier) pelaku usaha lainnya masuk pada bidang usaha sama. Belum lagi kebijakan yang dikeluarkan tambal sulam yang dilakukan berulang-ulang.

Tidak jarang pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan sebagian kalangan. Setelah dipertanyakan publik, kebijakan tersebut langsung direvisi. Padahal semestinya, pemerintah tidak selekasnya mencabut kebijakan yang baru dikeluarkan. Pemerintah selaku regulator harus bisa memberikan penjelasan mengapa sampai peraturan tersebut dikeluarkan.

Misalkan soal kebijakan penyelenggaraan VoIP (Voice over Internet Protocol) yang sempat dilekuarkan kemudian dicabut kenbali untuk direvisi. Lucunya bukannya pemerintah menjelaskan mengapa sampai hal tersebut terjadi, tetapi malah mengeluarkan satu isu baru bahwa lima penyelenggara yang disebutkan dalam Kepdirjend No 159 tahun 2001 merupakan pilot project pemerintah.

Padahal dalam Kepdirjen tersebut tidak dijelaskan bahwa lima perusahaan yang ditunjuk tadi merupakan pilot project. Ini jelas satu kondisi yang memprihatinkan bila melihat pola pemerintah dalam menata telekomunikasi. Tampaknya, Indonesia perlu belajar dari beberapa negara untuk mulai mengkompetisikan industri telekomunikasi.

Lihat saja kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Malaysia dalam menyikapi teknologi yang terus mengalami perkembangan. Terutama, dalam mengeluarkan kebijakan yang pro terhadap kompetisi untuk meningkatkan penetrasi penggunaan telekomunikasi dan multimedia. 

Meski kompetitor baru diberi kesempatan masuk, pemerintah Malaysia juga tetap melakukan promosi bagi para investor terhadap penyelenggara telekomunikasi yang lama. Kebijakan yang dikeluarkan diarahkan untuk meletakkan posisi pemerintah dalam bisnis telekomunikasi dan multimedia.  

Kata kuncinya bagaimana kebijakan kompetisi ini disempurnakan, sehingga kompetisi di Indonesia tidak basa-basi seperti sekarang. UU No 5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat sebagai lex specialist dari UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam praktek persaingan bisnis di Indonesia.

Hampir sebagian besar rumusan dalam pasal-pasal dalam UU No 5 tahun 1999 sangat karet, sehingga sulit untuk "menangkap" pelaku usaha (operator) yang diduga telah melangsungkan praktek monopoli. Belum lagi untuk membuktikan lebih jauh, apakah praktek bisnis yang dilakukan tidak melanggar undang-undang tersebut. 

Tambal sulam kebijakan telekomunikasi di Indonesia merupakan satu potret keraguan pemerintah untuk menata telekomunikasi. Ada kekhawatiran setelah pintu kompetisi dibuka, akan sulit ditutup kembali. Praktis dengan adanya penyelenggara lain selain Telkom, akan mengurangi pendapatan negara dari sektor telekomunikasi.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu disiapkan untuk mengantarkan telekomunikasi di Indonesia. Pertama, memperjelas kebijakan telekomunikasi di Indonesia. Kedua, menyiapkan perangkat kompetisi yang tidak bersifat diskriminatif. Ketiga, kemauan politik dari pemerintah untuk berperan sebagai penjaga gawang. 

Tags: