Jalan Panjang Menuju ‘Desa Adat’
Berita

Jalan Panjang Menuju ‘Desa Adat’

Desa adat tidak sama dengan masyarakat hukum adat. Penetapan desa adat tidak mudah.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Indonesia memiliki keragaman sebutan desa, termasuk kantor kepala desa. Salah satu sebutan yang dikenal di Sulawesi Utara. Foto: MYS
Indonesia memiliki keragaman sebutan desa, termasuk kantor kepala desa. Salah satu sebutan yang dikenal di Sulawesi Utara. Foto: MYS

Mungkin bait lagu Ibu Sud ‘desaku yang kucinta’ sudah banyak dilupakan orang. Daya tarik ekonomi kota membuat jutaan orang melakukan urbanisasi. Desa-desa di sekitar kota berubah menjadi suburban. Apakah salah orang-orang meninggalkan desa?Apakah warga sudah anti-desa? Dua belas tahun lalu, sosiolog Universitas Indonesia, Robert M.Z Lawang, memberi jawaban atas pertanyaan itu “Meninggalkan desa tentu tidak ada salah,” jawab Lawang dalam pidato pengukuhan “Anti Desa: Sebuah Telaah Sosiologi”.

Pergeseran penduduk, kata Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Indonesia itu, adalah ‘hukum sosial’ yang terjadi di semua negara. Namun ia mengakui persoalan desa tidak sederhana. Masalah-masalah desa muncul lebih disebabkan kurangnya perhatian pemerintah dan swasta pada pembangunan prasarana jalan, pendidikan, kesehatan, dan perbankan di pedesaan. Membuat payung hukum yang kuat adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi kerumitan persoalan desa. Secara ekonomi, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) mungkin menjadi salah satu alternatif.

Ekspektasi Profesor Lawang itu baru terealisasi sewindu kemudian, ketika Pemerintah dan DPR menyetujui lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lewat Undang-Undang ini, desa mendapat bantuan pendanaan dari pemerintah berupa dana desa. Berkat nilai dana desa yang melimpah, sekarang banyak desa yang sudah memiliki infrastruktur jalan dan Bumdes. Secara kelembagaan dibentuk pula satu Kementerian yang mengurusi desa, sehingga makin mempermudah memfasilitasi pembangunan desa.

UU Desa bertujuan antara lain memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; memberikan kepastian status desa dalam ketatanegaraan; dan melestarikan  dan memajukan adat, tradisi dan budaya masyarakat desa. Itu sebabnya bagi sebagian kalangan, UU Desa dipandang sebagai ‘payung’ penting kembalinya apa yang disebut desa adat, atau dengan sebutan nama lain.

UU Desa mendefnisikan desa sebagai desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menguru urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan definisi itu kini dikenal desa dinas dan desa adat.

Pemerintahan desa yang dikenal sehari-hari, tempat warga mengurus dokumen kependudukan, misalnya, merujuk pada desa dinas. Desa adat, dalam perspektif UU Desa, dapat dibentuk dari desa sepanjang memenuhi syarat. Syarat inilah yang kemudian dianggap menjadi jalan terjal pembentukan desa adat. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harsanto Nursadi mengakui masih banyak pertanyaan yang muncul di lapangan berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan desa adat. “Kami telah melakukan pengabdian masyarakat dan menemukan sejumlah pertanyaan yang harus dicarikan solusinya,” ujar dosen Hukum Administrasi Negara itu.

Pada 8-10 Agustus lalu, Harsanto bersama mahasiswa pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia telah melakukan pengabdian masyarakat ke dua desa di Kabupaten Maluku Tengah, yaitu Desa Liang Kecamatan Salahatu dan Desa Hitu Kecamatan Leihitu, Maluku. Maluku adalah provinsi yang di sejumlah desanya adat setempat masih dijalankan dengan kuat.

Tags:

Berita Terkait