Jalan Panjang Lahirnya Bank Syariah Kebanggaan Umat
Edsus Lebaran 2023

Jalan Panjang Lahirnya Bank Syariah Kebanggaan Umat

Untuk komposisi masyarakat Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, Bank Syariah Indonesia (BSI) diprediksi berpotensi memiliki market yang sangat besar.

Willa Wahyuni
Bacaan 5 Menit
Kantor Bank Syariah Indonesia (BSI). Foto: RES
Kantor Bank Syariah Indonesia (BSI). Foto: RES

Perkembangan perbankan syariah di Indonesiamemiliki kisahnya sendiri.Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, Bank Indonesia (BI) memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.  Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah.

Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuka seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan). Meskipun lebih banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usaha perbankan yang bersifat daerah yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.

Dilansir dari laman OJK, inisiatif pendirian bank Islam Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.  Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala yang relatif terbatas, di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

Baca Juga:

Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18–20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22–25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp106.126.382.000,-

Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperoleh perhatian yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasanhukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank dengan sistem bagi hasil" pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.

Pada tahun 1998, pemerintah dan DPR melakukan penyempurnaan UU No. 7/1992 tersebut menjadi UU No.10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan bahwa terdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system), yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh dll.

Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk); dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa. 

Dengan telah diberlakukannya UU Perbankan Syariah, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek kelembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan, maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah.

Sistem keuangan syariah di Indonesia menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara internasional.  Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total aset sebesar Rp273,494 triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp201,397 triliun, Rp85,410 triliun dan Rp110,509 triliun

Pada akhir 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK. Otoritas Jasa Keuangan secara resmi mengeluarkan izin merger tiga usaha bank syariah pada 27 Januari 2021 melalui Surat Nomor SR-3/PB.1/2021. Ketiga bank yang dimerger adalah Bank Syariah Mandiri, Bank BNI syariah, dan Bank BRI Syariah. Ketiganya tergabung menjadi satu bank yaitu Bank Syariah Indonesia (BSI).

Dalam penggabungan atau merger tersebut, ada satu bank yang tetap disebut sebagai bank survivor dan bank yang lain akan menjadi bank yang digabung. Dalam hal ini Bank BRI Syariah yang menjadi bank survivor dari dua bank lainnya. Merger dilakukan untuk memberikan penguatan kinerja perbankan syariah nasional ke depan, Indonesia berkeinginan untuk menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan keberadaan bank syariah yang memiliki skala aset yang besar.

BSI hadir untuk melakukan leverage terhadap aset khususnya islamic finance di Indonesia. Jika di pasar modal dan sektor asuransi Indonesia sudah memiliki banyak aset maka untuk perbankan syariah asetnya masih rendah, dan itulah yang akan diwujudkan oleh pemerintah.

“Pada akhir tahun 2019 bank syariah kita hanya memiliki 6 persen aset market share, itu cukup kecil untuk perbankan syariah. Sejak tahun 1992 asetnya rendah, sehingga masa pemerintahan ini pemerintah ingin menghendaki bank syariah bisa lebih besar dan bisa mencapai Top 10 biggest islamic bank di dunia,” ujar Agus Triyanta dari PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia kepada Hukumonline, Rabu (12/4) lalu.

Untuk komposisi masyarakat Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim, BSI diprediksi berpotensi memiliki market yang sangat besar. Merger ketiga bank ini akan menaikkan aset perbankan syariah di Indonesia.

“Saat ini fokusnya BSI dan sasaran utamanya tetap komersial, karena ketiga bank yang di merger ini kan memang bank komersial awalnya, bukan bank perumahan atau bank pembangunan. Sehingga segmentasinya tetap komersial, namun untuk tujuan merger tentu ingin memberikan leverage untuk aset perbankan Islam,” Agus melanjutkan.

Penjagaan dan peningkatan aset dilakukan agar BSI dapat berkompetisi dengan bank besar lainnya karena modalnya yang lebih besar. Terbukti saat ini BSI memiliki peningkatan layanan dan massa yang meningkat. “Menyatunya tiga bank syariah ini membuat juga menyatunya tiga jaringan yang diharapkan akan bisa kompetitif dengan bank besar lainnya,” imbuhnya.

Keyakinan akan bertumbuhnya BSI menjadi besar lantaran adanya aspek religius di tengah masyarakat Indonesia. Efek dari demokratisasi dalam bernegara, BSI menjadi jawaban atas masyarakat yang ingin berniaga dengan sistem syariah yang di sisi lain masyarakat dari latar belakang berbeda juga tetap bisa menggunakan BSI.

“BSI bisa digunakan oleh orang dengan latar belakang agama dan kebangsaan apapun, sehingga BSI tidak hanya dimiliki oleh orang Islam tetapi oleh banyak orang dari berbagai latar belakang berbeda tetap bisa memilikinya,” jelas Agus.

Ia melanjutkan, saat ini BSI memiliki kekuatan dan public confidence yang tinggi, BSI lebih siap bersaing dibandingkan sebelumnya dari tiga bank syariah yang belum di merger. Hal ini dibuktikan dengan saat ini BSI telah melebarkan sayap untuk terjun pada proyek-proyek besar. 

Tags:

Berita Terkait