Jalan Keluar Bagi Advokat dalam Implementasikan PP No. 43 Tahun 2015
Utama

Jalan Keluar Bagi Advokat dalam Implementasikan PP No. 43 Tahun 2015

Advokat wajib melaporkan adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang terdapat di klien kepada PPATK, hal itu justru melindungi profesi advokat.

CR19
Bacaan 2 Menit

Sebaliknya, advokat juga harus memastikan bahwa informasi dari klien itu tidak akan mengemuka tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu. “Itu basis premis kekhawatiran bagi kalangan advokat,” tambah Fikri.

Atas dasar itu, Fikri menilai, perlu ada prosedur dari advokat dalam melakukan menjalankan profesinya. Ia mengusulkan, sebelum menerima klien, advokat tersebut wajib menerapkan prinsip know your customer (KYC). Hal ini sejalan dengan Pasal 8 ayat (1) huruf a PP Nomor 43 Tahun 2015 yang menjadi pengecualian bagi advokat untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan.

“Supaya kita masuk dalam pengecualian dalam PP 43/2105. Karena berdasarkan sumpah advokat kita mesti langsung menarik diri,” terangnya.

Ketika pada tahap legal review ditemukan adanya dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, maka paling tidak ada dua pilihan bagi seorang advokat. Pertama, advokat bisa memilih berhenti menangani perkara kliennya itu. Jika jalan ini yang dipilih, berarti advokat tersebut tidak melaporkan dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan ke PPATK.

Sebaliknya, ketika advokat menemukan adanya dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan namun masih tetap melanjutkan hubungan profesional dengan klien, maka advokat itu wajib melaporkan dugaan itu kepada PPATK. “Laporan ke PPATK cuma bilang ada transaksi keuangan yang mencurigakan, bukan mau mencurangi klien,” tandasnya.

Hal serupa juga diutarakan Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK Ivan Yustivanda. Menurutnya, ketika advokat sebagai profesi gatekeeper justru tidak melaporkan adanya dugaan transaksi yang mencurigakan kliennya, maka bisa membahayakan profesi advokat itu sendiri.

Atas dasar itu, advokat tersebut mesti memanfaatkan aturan dalam PP Nomor 43 Tahun 2015 yang memberikan pengecualian. “Kalau ngga masuk justru malah menjadi konteks pihak. Vis-a-Vis kena juga,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait