Jalan Buntu Antara OJK-LBH Jakarta Atasi Dugaan Pelanggaran Hukum Fintech
Berita

Jalan Buntu Antara OJK-LBH Jakarta Atasi Dugaan Pelanggaran Hukum Fintech

Ada silang pendapat antara OJK dengan LBH dalam penanganan korban fintech ilegal. Regulator justru dianggap melakukan perlindungan terhadap perusahaan fintech.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi foto: ojk.go.id
Ilustrasi foto: ojk.go.id

Pertemuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengenai pelanggaran perusahaan pinjaman online atau financial technology peer to peer lending (P2P) pada Jumat (14/12) lalu masih belum menemui titik terang. Pasalnya, terdapat perbedaan pandangan pada kedua lembaga tersebut dalam menyelesaikan persoalan ini.

 

Pertemuan yang berlangsung di Wisma Mulia 2 tersebut merupakan inisiatif OJK sebagai respon publikasi LBH Jakarta tentang 1.330 pengaduan korban fintech yang diterima sejak November lalu. Berdasarkan pengaduan tersebut, LBH Jakarta menemukan sedikitnya 14 bentuk pelanggaran fintech terhadap para nasabahnya.

 

Pertemuan tersebut diadakan untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran perusahaan fintech tersebut. Sebab, berdasarkan data LBH Jakarta tersebut terdapat 25 perusahaan fintech berizin diduga melakukan pelanggaran hukum terhadap para nasabahnya.

 

Namun, setelah pertemuan tersebut berlangsung, ternyata kedua belah pihak belum menemukan kesepakatan. Sebab, Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait menyatakan terdapat perbedaan pendapat antara pihaknya dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memahami permasalahan fintech saat ini.

 

Terdapat beberapa alasan pihaknya belum menyerahkan data tersebut. Pertama, LBH menganggap OJK seperti lepas tangan terhadap korban-korban dari perusahaan fintech ilegal. Kedua, kerahasiaan data klien.

 

Menurut Jeanny, OJK memiliki tanggung jawab seluruh layanan jasa keuangan bukan hanya bertanggung jawab terhadap layanan jasa keuangan terdaftar tapi juga yang tidak terdaftar.

 

“Menurut kami, seharusnya OJK bertanggung jawab terhadap seluruh layanan jasa keuangan bukan hanya yang legal tetapi ilegal juga. Lalu, kami juga harus merahasiakan data klien. Selain itu, dalam pertemuan itu kami menganggap OJK justru memojokkan korban dan melepas diri dari tanggung jawab. Kalau kayak gini, kasihan teman-teman korban karena kalau datanya sudah dikasih maka tanggung jawabnya sudah dialihkan,” jelas Jeanny, Senin (17/12).

 

(Baca Juga: Miris, 25 Perusahaan Fintech Terdaftar Diduga Lakukan Pelanggaran Hukum)

 

Jeanny menganggap sikap OJK tersebut mengejutkan karena bentuk pelanggaran fintech tersebut seharusnya sudah termasuk tindak pidana. Dia juga menjelaskan apabila ada pelanggaran hukum perdata dalam bentuk wanprestasi seperti keterlambatan dan ketidakmampuan pembayaran pinjaman tidak lantas menjadikan para korban tersebut layak menerima pelanggaran hukum pidana.

 

Menurut Jeanny, OJK seharusnya memahami tanggung jawab sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. OJK seharusnya menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dengan tujuan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

 

UU OJK

TUJUAN, FUNGSI, TUGAS, DAN WEWENANG

Pasal 4:

OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Pasal 5:

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

Pasal 6:

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

 

Meski demikian, Jeanny menyampaikan pihaknya akan terbuka dengan OJK dalam menyikapi permasalahan pinjaman online ini. Dia menjelaskan belum diberikan data-data pengaduan tersebut juga disebabkan belum ada pernyataan kesediaan para korban untuk disebarkan kepada pihak lain. Menurutnya, ketentuan ini merupakan rahasia klien yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan peraturan perundangan lainnya.

 

OJK Siap Tindak Tegas

Meski belum mendapatkan data-data laporan pengaduan korban fintech tersebut, OJK menyatakan akan menindak tegas bagi perusahaan-perusahaan fintech apabila terbukti melanggar hukum tersebut. Penindakan tersebut merupakan salah satu bentuk perlindungan konsumen jasa keuangan.

 

(Baca Juga: Ada Ragam Persoalan, Begini Investor Asing Menilai Regulasi Fintech Indonesia)

 

Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot menyatakan sanksi kepada perusahaan fintech tersebut telah tercantum dalam Peraturan OJK No.77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Sanksi tersebut mulai dari peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha hingga pencabutan izin.

 

“Kalau memang terbukti ada pelanggaran kami akan beri sanksi tegas pada perusahaan fintech tersebut,” kata Sekar saat dihubungi hukumonline.

 

Sementara itu, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan OJK Hendrikus Passagi menyatakan pembuktian pelanggaran hukum perusahaan fintech tersebut memerlukan proses yang tidak sederhana. Menurutnya, perlu keahlian digital forensik untuk menginvestigasi bukti-bukti yang diajukan para pelapor tersebut.

 

“Perbuatan-perbuatan yang dilaporkan merupakan kejahatan digital di dunia cyber dan bukan model kejahatan konvensional. Pendekatan observasi jejak digital dalam rangka pembuktian memerlukan pemahaman digital forensik, agar dapat ditemukan penyelesaian masalah yang paling adil bagi semua pihak dan bukan sekadar mencari popularitas,” kata Hendrikus.

 

Hendirkus juga menjelaskan pihaknya tidak ingin gegabah dalam memberikan sanksi kepada perusahaan fintech yang diduga melakukan pelanggaran tersebut. Lebih lanjut, Hendrikus menjelaskan setiap laporan pengaduan yang masuk tersebut akan dikoordinasikan dengan Direktorat Cyber Crime Kepolisian Republik Indonesia. Menurutnya, direktorat tersebut memiliki kompetensi dalam pembuktian pelanggaran hukum perusahaan fintech.

 

“Masyarakat diimbau agar berhati-hati dalam menggunakan layanan digital online, sebab pembuktian perbuatan melanggar hukum dalam dunia cyber relatif rumit daripada dunia konvensional,” jelas Hendrikus.

 

Meski demikian, pihaknya juga berharap masyarakat dapat melaporkan pengaduan terhadap pelanggaran layanan jasa keuangan. Sebab, laporan tersebut merupakan salah satu cara pengawasan OJK terhadap industri fintech.

 

“Setiap informasi dari masyarakat dan organisasi sosial masyarakat selalu kami tindak lanjuti tanpa kecual. Sebab, mereka menjadi salah satu pilar penting dala mengawasi industri fintech lending agar dapat menjadi industri yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan nasional,” jelas Hendrikus.

 

Tags:

Berita Terkait