Jalan Berliku Terbentuknya Holding BUMN Tambang
Holding BUMN Tambang

Jalan Berliku Terbentuknya Holding BUMN Tambang

Rencana holding BUMN industri tambang sudah ada sejak zaman Presiden Soeharto.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Setelah menjadi wacana bertahun-tahun, holding BUMN tambang akhirnya terealisasi. Rencana yang digadang-gadang pemerintah sejak masa Presiden Soeharto, terwujud pada 29 November 2017 melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Antam Tbk (ANTM), PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Timah Tbk (TINS).

 

Dalam RUPSLB, tiga perusahaan BUMN itu menyetujui perubahan Anggaran Dasar perseroan terkait perubahan status persero menjadi non-persero. Hal ini sebagaimana tertuang dalam PP No. 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham PT Inalum.

 

Sejarah holding BUMN sendiri memiliki jalan yang berliku. Situasi dan proses politik yang rumit menjadi tantangan dalam perjalanan holdingisasi BUMN. Hal ini tertuang dalam tulisan berjudul “Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company”, yang dibuat Tim Riset Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yakni Dr. Toto Pranoto dan Dr. Willem A. Makaliwe.

 

Mereka menceritakan bahwa pada 1999, pemerintah menerbitkan Master Plan Reformasi BUMN 1999-2004, yang mengandung tiga kebijakan pokok pengelolaan BUMN, yaitu restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi untuk mensinergikan 158 BUMN yang ada sehingga menciptakan nilai tambah bagi BUMN.

 

Dalam fase ini, kebijakan privatisasi BUMN terutama didorong oleh hasil kesepakatan antara International Monetary Fund (IMF) dengan Pemerintah RI terkait dengan Kebijakan Reformasi Struktural (structural reform policy) yang tercantum dalam berbagai Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh Pemerintah RI sebagai kompensasi atas pemberian pinjaman oleh IMF berupa extended fund facility (EFF) kepada Pemerintah RI.

 

Pada tahun 1999 program privatisasi telah dilakukan atas sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri. Pada periode 1999-2004 ini proses privatisasi mengalami banyak hambatan tidak saja dari kalangan legislator dan karyawan, namun juga dari publik luas yang mencapai puncaknya pada kasus spin-off PT Semen Padang.

 

Menurut referensi, penolakan ini antara lain disebabkan oleh faktor kurangnya sosialisasi, dan perbedaan metode divestasi. Walaupun pemerintah telah memiliki tujuan kebijakan privatisasi yang dituangkan dalam Master PlanBUMN, namun dalam pelaksanaannya terlihat unsur memenuhi kebutuhan defisit anggaran APBN lebih dominan dibandingkan tujuan meningkatkan kinerja BUMN.

 

Pada masa Tanri Abeng, Menteri BUMN 1998-1999, penyusunan Master Plan BUMN dimaksudkan sebagai roadmap untuk penciptaan nilai (value creation) BUMN, dengan melibatkan enam konsultan internasional, ternyata tidak dijalankan sebagai mestinya karena terjadi lebih banyak distorsi politik yang menjadi penghambat proses penciptaan nilai. Dimensi kepentingan politik dalam pengelolaan BUMN belum dapat secara tuntas dipisahkan dari kekuasaan yang memang bersumber dari kekuatan politik.

 

(Baca Juga: Antam, Bukit Asam, dan Timah Resmi ‘Lepas’ Status Persero)

 

Holding BUMN industri pertambangan menjadi ‘karya’ pertama di era pemerintahan Jokowi. Dasar hukum pembentukan holding BUMN tertuang dalam PP No.72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No.44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

 

Mengacu pada PP No.72 Tahun 2016, Antam, Timah dan PTBA diperlakukan setara dengan BUMN, sebab pemerintah masih memegang saham dwi warna. Ketiganya juga tetap mendapatkan penugasan pemerintah dan melakukan pelayanan umum selayaknya BUMN. Selain itu, masih mendapatkan kebijakan khusus negara atau pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kementerian BUMN

 

Sekadar catatan, pembentukan holding BUMN sebelumnya juga dilakukan terhadap PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di 2014. PTPN III menjadi induk holding BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan, pengolahan dan pemasaran hasil Perkebunan. Komoditi yang diusahakan adalah kelapa sawit, karet, tebu, teh, kopi, kakao, tembakau, aneka kayuan, buah-buahan dan aneka tanaman lainnya.

 

Pembentukan holding PTPN seiring diterbitkannya PP No.72 Tahun 2014 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara III. Dalam website resmi PTPN III, pada 1 Oktober 2014 diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan No.468/KMK.06/2014 tentang Penetapan Nilai Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham PTPN III. Ini juga diikuti dengan Perubahan Anggaran Dasar PTPN III sebagai perusahaan holding atas PTPN I, PTPN II, PTPN IV s.d. PTPN XIV.

 

Sebelumnya, pembentukan holding juga dilakukan pada BUMN semen dengan induknya PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Pada 20 Desember 2012 perseroan berperan sebagai strategic holding company dan mengubah namanya dari PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Semen Indonesia membawahi Semen Padang, Semen Gresik, dan Semen Tonasa.

 

Lebih jauh, pembentukan holding dilakukan pada BUMN pupuk. PT Pupuk Indonesia (Persero) menjadi induk holding ditandai dengan PP No.28 Tahun 1997 yang menunjuk PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) sebagai induk perusahaan (Holding Company).  PT Pupuk Indonesia (Persero) membawahi sekitar 10 anak perusahaan, di antaranya PT Petrokimia Gresik (PKG), PT Pupuk Kujang (PKC), PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Rekayasa Industri (Rekind), hingga PT Pupuk Indonesia Energi (PIE).

 

Polemik PP 72/2016

Di akhir tahun 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP No.72 Tahun 2016. Tujuannya, untuk menguatkan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN. Salah satu poin penting dalam PP ini adalah pengaturan pembentukan perusahaan induk BUMN.

 

Dengan pengaturan kembali mengenai Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pengalihan saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya, BUMN dapat melakukan ekspansi lebih leluasa dengan membentuk holding company. Dalam pengalihan saham tersebut tidak perlu menggunakan mekanisme APBN yang cenderung lama karena harus melalui persetujuan DPR.

 

Namun, Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bersama beberapa pihak lain bereaksi dengan mendaftarkan permohonan uji materiil (judicial review) PP tersebut. KAHMI menganggap bahwa PP No. 72 Tahun 2016 yang menjadi dasar pembentukan holding atau penggabungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bertentangan dengan beberapa undang-undang, di antaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta tidak melibatkan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang mempunyai fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

 

“Permohonan uji materi ini merupakan wujud sumbangsih kami untuk melakukan koreksi atas kebijakan Pemerintah yang tidak tepat. Gugatan ini diajukan oleh KAHMI dan beberapa pihak selaku Pemohon dan selaku Termohon adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Ketua Tim Hukum KAHMI, Bisman Bakhtiar, saat itu.

 

Berikut isi pokok permohonan uji materi PPNo. 27Tahun 2016 yang diajukan KAHMI:

  1. Ketentuan tentang “barang milik negara” sebagai sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari APBN (Pasal 2 ayat (2) huruf b). ketentuan ini merupakan pelanggaran terhadap UU BUMN karena akan menjadi dasar hukum pencucian aset negara  yang akan dialihkan ke pihak lain dengan melalui penyertaan modal pada BUMN.
  2. Ketentuan tentang Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lain dilakukan tanpa melalui mekanisme APBN (Pasal 2A PP 72/2016). Ketentuan ini bertentangan dengan UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Selain itu,  bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013 dan Nomor 48/PUU-XI/2013. Isi PP ini juga merupakan perlawanan Pemerintah pada Rekomendasi Panja Aset Komisi VI DPR RI Tahun 2014. Ketentuan ini berpotensi sebagai legitimasi privatisasi diam-diam oleh Pemerintah tanpa melibatkan DPR RI, karena pada prinsipnya saham dan kekayaan BUMN merupakan kekayaan/keuangan negara sehingga jika terjadi peralihan harus dengan proses APBN dan persetujuan DPR RI agar dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Ketentuan tentang menyamakan anak perusahaan BUMN dengan BUMN untuk mendapatkan kebijakan khusus negara/pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketantuan ini  bertentangan UU BUMN dan konstitusi UUD 1945. Karena yang disebut BUMN adalah jika sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan yang bisa mendapatkan kebijakan khusus negara termasuk pengelolaan sektor strategis seperti pengelolaan sumber daya alam hanya BUMN.

 

(Baca Juga: Dinilai Bertentangan dengan UU, KAHMI Uji Materi PP Holding BUMN)

 

Namun, Mahkamah Agung menolak gugatan uji materi tersebut. Dalam pertimbangannya, Hakim MA Supandi menyatakan bahwa Penyertaan Modal Negara (PMN) saham badan usaha milik negara (BUMN) ke BUMN lainnya yang mengakibatkan BUMN menjadi anak perusahaan dari BUMN induk (holding) dimungkinkan karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa terhadap BUMN yang menjadi anak perusahaan dari BUMN induk berubah menjadi Perseroan Terbatas.

 

Selain itu, holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam praktiknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Dengan demikian, Pasal 2A ayat (2) tidak bertentangan dengan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

 

Pertimbangan lainnya, PMN saham negara di BUMN kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan bentuk BUMN yang menjadi anak usaha BUMN tidak berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa, namun tetap menjadi BUMN maka ketentuan pasal 2A ayat (6) dan ayat (7) objek HUM a quo tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

 

Putusan MA tersebut jelas menjadi angin segar bagi pemerintah untuk mewujudkan holding BUMN industri pertambangan. Meski demikian, nada-nada ‘pesimis’ tetap ada meski MA telah memberikan putusan. Pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, misalnya. Dia mengatakan pembentukan holding BUMN seharusnya dilakukan melalui kajian mendalam, transparan dan tidak terburu-buru.

 

Menurutnya, pemerintah perlu mengambil pelajaran dari pembentukan holding industri semen, perkebunan dan pupuk. Pada holding BUMN Semen, terbukti kinerja keuangan perusahaan malah lebih buruk dibanding sebelumnya. Ada ekspansi usaha ke luar negeri namun di dalam negeri tidak begitu terjamin. Demikian juga dengan holding BUMN Perkebunan, belum ada tanda-tanda perbaikan usaha malah semakin kalah bersaing dengan perusahaan perkebunan swasta.

 

“Pengalaman sebelumnya dapat dijadikan sebagai instrospeksi bagi pemerintah jika ingin melanjutkan pembentukan holding,” kata Faisal.

 

Hal sama dikatakan Erry Riyana Hardja Pamekas, mantan Dirut PT Timah Tbk (Persero). Dia mengatakan pemerintah sebaiknya mereview dengan sungguh-sungguh rencana pembentukan holding dengan menyesuaikan sejarah BUMN itu sendiri. "Awalnya BUMN adalah hasil nasionalisasi perusahaan Belanda. Sejumlah perusahaan masuk menjadi pengawasan pemerintah karena tidak mampu ditangani swasta karena ketinggalan teknologi dan modal," ujarnya.

 

Mantan Wakil Ketua KPK ini juga menyebutkan dalam proses pembentukan Holding BUMN harus dilakukan transparan dan melalui kajian-kajian yang bisa dipertanggungjawabkan. "Perusahaan apa saja yang terlibat, bagaimana dengan pembiayaanya, dan termasuk apa target dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang," tegasnya.

 

Terlepas dari pendapat-pendapat di atas, pemerintah sepertinya sudah bulat untuk merealisasikan holding BUMN industri tambang. Pada 10 November 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani PP No.47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium.

 

(Baca Juga: PP Holding BUMN Tambang Terbit, Pemerintah Kendalikan 4 Hal)

 

Sejak PP No.47 Tahun 2017 terbit, holding BUMN industri pertambangan resmi berdiri dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang menjadi induk perusahaan (holding) BUMN Industri Pertambangan, serta PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk, menjadi anak perusahaan (anggota holding).

 

Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan pembentukan holding BUMN industri pertambangan bertujuan meningkatkan kapasitas usaha dan pendanaan, pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi dan meningkatkan kandungan lokal, serta efisiensi biaya dari sinergi yang dilakukan.

 

“Pembentukan Holding BUMN Industri Pertambangan merupakan jawaban untuk menghadapi tantangan persaingan global yang semakin kuat dan cepat. Keberadaan Holding BUMN Industri Pertambangan akan memberi manfaat yang besar, tentunya bukan hanya bagi perusahaan holding dan anak perusahaan anggota holding, namun juga bagi pemerintah dan masyarakat,” kata Rini.

 

Hukumonline.com

Sumber: Kementerian BUMN

 

Setelah terbentuknya holding BUMN industri tambang, pemerintah menargetkan pembentukan Holding BUMN Migas. Rini mengatakan, jika tidak ada aral melintang holding BUMN industry migas terwujud pada triwulan-I tahun 2018. "Setelah Holding BUMN Industri Pupuk, Holding BUMN Industri Semen dan Holding BUMN Industri Pertambangan, selanjutnya dalam waktu dekat segera terwujud Holding BUMN Migas," kata Rini Soemarno.

 

Menurut Rini, pembentukan holding migas dilakukan untuk meningkatkan daya saing BUMN dalam rangka menghadapi tantangan daya saing di sektor migas. Kebutuhan gas diproyeksikan mencapai lima kali lipat di tahun 2050, ketergantungan pada impor gas, harga gas yang relatif tinggi dan ketidakseimbangan sumber gas diharapkan dapat diatasi pemerintah di masa datang.

 

Tags:

Berita Terkait