Jalan Berliku Hukum Islam di Indonesia
Edsus Lebaran 2019

Jalan Berliku Hukum Islam di Indonesia

Hingga kini, mata kuliah Hukum Islam diajarkan di Fakultas Hukum. Pengakuan dan penerapan hukum Islam penuh dinamika.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Perdebatan tentang dasar negara baru bernama Indonesia menghasilkan dua faksi: faksi yang lebih mengedepankan nasionalisme, dan faksi yang memegang teguh agama Islam dalam perjuangan. Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya  Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsesus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1959), menyebut kedua faksi itu sebagai faksi nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam.

 

Kedua faksi sama-sama merindukan sebuah negara merdeka yang mengayomi seluruh anak bangsa. Namun, pilihan dasar negara akan berdampak serius soal tatanan hukum yang akan mengikat kehidupan bernegara. Nasionalis-Islam berkukuh Islam sebagai dasar negara. Faktanya, tak semua anak bangsa setuju diatur hukum Islam. Setidaknya faksi nasionalis-sekuler sendiri terdiri dari tokoh-tokoh nasional beragama Islam. Soekarno, Hatta, Soepomo, adalah beberapa penganut Islam yang tercatat dalam faksi nasionalis-sekuler.

 

Ketika perdebatan tak berujung kesepakatan bulat, Soekarno mengusulkan janji bahwa UUD 1945 sekadar revolutie grondwet yang bersifat sementara. Janjinya jelas, akan dibentuk konstitusi baru oleh wakil-wakil bangsa Indonesia yang lebih menyeluruh ketika kemerdekaan dicapai. Pancasila pun menjadi titik kompromi soal dasar negara yang tertuang dalam UUD 1945.

 

Sejarah mencatat perdebatan kedua faksi berlanjut saat dibentuknya Konstituante—sebuah lembaga perancang konstitusi baru untuk menagih janji Soekarno. Isinya adalah wakil-wakil rakyat hasil pemilihan umum pertama tahun 1955. Namun Konstituante tak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akhirnya, Konstituante dibubarkan Presiden Soekarno sendiri pada 1959. Melalui dekrit Presiden Soekarno, perdebatan konstitusional untuk memilih antara dasar negara Islam dan selainnya diakhiri ‘paksa’. Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berdasar Pancasila.

 

Baca juga:

 

Sebelum Kemerdekaan

Namun, hukum Islam diterima sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Wirdyaningsih, akademisi hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menjelaskan hukum Islam terus hidup dan melembaga dalam sistem hukum nasional secara konstitusional. Bahkan, mempelajari hukum Islam menjadi mata kuliah wajib di setiap kampus hukum Indonesia tanpa membedakan agama yang dianut mahasiswa. Tidak mungkin bergelar sarjana hukum di kampus Indonesia tanpa lulus ujian hukum Islam.

 

“Islam dan hukum Islam sudah masuk ke Indonesia sebelum kedatangan Belanda, menyatu menjadi bagian dari masyarakat,” kata perempuan yang akrab disapa Nunung ini. Menurutnya, mayoritas masyarakat yang memeluk Islam dan menggunakan hukum Islam justru membuat Belanda sengaja mempelajari hukum Islam.

 

Penelitian ahli hukum Islam FHUI, Sajuti Thalib dalam bukunya Receptio a Contario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam menjelaskan bagaimana para ahli hukum dan kebudayaan Belanda mengakui berlakunya hukum Islam di Indonesia sejak awal merintis koloni Hindia Belanda.

 

Berbagai literatur Belanda kala itu menyebut hukum Islam sebagai Mohammedaansch recht. Menurut Nunung, saat itu identifikasi hukum Islam dilakukan mengacu nama Nabi Muhammad SAW.

 

Belanda sengaja mempelajari hukum Islam sebagai strategi politik hukum dalam membangun koloni Hindia Belanda. Ketika sudah semakin berkuasa, Belanda masih mengakui keberlakuan hukum Islam di wilayah jajahannya.

 

Berbagai beleid yang mengakui hukum Islam diterbitkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Salah satu yang paling awal adalah pasal 75 dan pasal 109 Regeeringsreglement dalam Staatsblad Tahun 1855 No. : 2.

 

Pengakuan Belanda soal berlakunya hukum Islam secara penuh bagi orang Islam di Indonesia disebut sebagai teori receptio in complexu. Ajaran ini dirumuskan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg. Ia menyebut hukum Islam mengikat secara langsung bagi setiap muslim Indonesia sebagai konsekuensi memeluk Islam. Dampaknya, Belanda mengakui secara penuh berlakunya hukum Islam dalam setiap urusan pemeluk Islam di wilayah koloni Hindia Belanda.

 

Politik hukum Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda lantas berubah dengan pengaruh Cornelis van Vollenhoven. Sosok yang belakangan dikenal sebagai ahli hukum adat Indonesia ini membantah teori receptio in complexu dengan teori receptie.

 

Dengan teorinya itu, Vollenhoven mengenalkan Indisch Adatrecht (hukum Adat Indonesia) untuk membantah keberlakuan hukum Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Berdasarkan teori receptie, tidak pernah ada hukum Islam yang berlaku secara langsung di Indonesia karena status keislaman.

 

Menurut van Vollenhoven, hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Pengaruh hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku jika diterima dan diakui oleh hukum adat. Ia beranggapan bahwa pemeluk Islam di wilayah koloni Hindia Belanda sebenarnya menggunakan hukum adat. Sejak saat itu dikenal sistem hukum adat yang diakui oleh pemerintah kolonial Belanda. Teori receptie memberikan kedudukan lebih kuat pada hukum adat dengan menggeser pengakuan pada hukum Islam.

 

Dinamika tersebut dicatat oleh Busthanul Arifin dalam bukunya Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia : Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Busthanul yang pernah menjabat Ketua Muda Mahkamah Agung untuk lingkungan Peradilan Agama menyebutkan perubahan politik hukum Belanda hanyalah persoalan kekuasaan semata.

 

Ia menyebutkan bahwa peralihan teori receptio in complexu menjadi teori receptie dalam rangka mencari cara paling tepat untuk menguasai bangsa Indonesia melalui hukum yang berlaku.

 

Secara tidak langsung, teori ini membuat kedudukan hukum Islam lebih lemah dalam politik hukum kolonial. Di sisi lain, kalangan bangsa Indonesia yang dididik Belanda mulai banyak yang menerima teori receptie. “Pemerintah Belanda ingin melemahkan hukum Islam diadu dengan hukum adat,” kata Nunung yang juga peneliti senior di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FHUI.

 

Berlakunya teori receptie menggantikan teori receptio in complex ditandai terbitnya Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling (IS). Isinya menggunakan teori receptie dan mengganti Regeeringsreglement dalam Staatsblad Tahun 1855 No. 2.

 

Meskipun begitu, berbagai lembaga peradilan agama yang telah ada sejak Belanda datang tetap dibiarkan ada. Kewenangannya dibatasi dengan dasar teori receptie. Pada saat yang sama, hukum sipil Belanda semakin diperluas keberlakuannya di Hindia Belanda sebagai upaya unifikasi hukum di tanah jajahan.

 

Baca juga:

 

Konstitusi

Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI, Ramly Hutabarat menelusuri kedudukan hukum Islam dalam Bukunya yang berjudul Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-Konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional.

 

Ramly membandingkan perumusan kedudukan hukum Islam pada beberapa periode konstitusi yaitu UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara 1950, dan UUD 1945 pasca Dekrit 1959. Hasilnya menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam.

 

Keberadaan hukum Islam memang tidak pernah tersurat secara tegas dalam konstitusi Indonesia. Namun tidak ada dasar konstitusional untuk menolak hukum Islam dapat menjadi bagian dari sistem hukum nasional. Bahkan Ramly menemukan bahwa pembinaan hukum nasional sejak Orde Baru telah menjadikan hukum Islam sebagai komponen baku penyusunan hukum nasional.

 

Lebih jauh dari pendapar Ramly, Nunung merujuk Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar legalitas hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Pasal itu berbunyi negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

 

Logika yang digunakan Nunung ini berdasarkan para gurunya antara lain Sajuti Thalib serta Guru Besar Hukum Islam FHUI, Hazairin. Menjalankan hukum Islam adalah bagian dari ibadah dalam agama Islam. Sehingga penerimaan pada hukum Islam yang dijalankan umat Islam Indonesia memiliki dasar konstitusional. “Tidak hanya yuridis konstitusional, ada sejarah panjang soal keberlakuan hukum Islam di Indonesia,” ujarnya.

 

Nunung menyebutkan bahwa saat ini hukum Islam semakin banyak muncul dalam kemasan produk hukum positif. Mulai dari yang berbentuk undang-undang hingga yang setara peraturan daerah. Ini belum termasuk nilai-nilai substansial hukum Islam yang dituangkan dalam produk hukum nasional.

 

Memang ada batasan hukum Islam di Indonesia. Menurut Nunung, sejauh ini kebanyakan produk hukum positif yang berisi hukum Islam ada di bidang perdata. Beberapa pengecualian terjadi seperti Qanun Syariah provinsi Aceh yang juga memuat ketentuan pidana berdasarkan hukum Islam. “Hukum Islam ini berlaku untuk pemeluk Islam, walaupun sekarang terbuka juga untuk siapapun yang ingin menundukkan diri pada hukum Islam,” kata Nunung.

 

Sekolah Hukum

Meskipun perlahan dipinggirkan, pelajaran hukum Islam tetap disajikan ketika Belanda membuka Rechtschool di Indonesia. Sekolah hukum yang kemudian menjadi cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengajarkan hukum Islam sejak awal didirikan bersama-sama dengan hukum adat. Rupanya Belanda tidak bisa menyingkirkan sepenuhnya hukum Islam dalam politik hukum yang digunakan. Pemeluk Islam masih memiliki komitmen melaksanakan hukum Islam dengan segala akal-akalan Belanda.

 

Keberadaan hukum Islam yang dijejalkan dalam hukum adat pada dasarnya tetap nyata dan dijalankan pemeluk Islam. Hanya saja terjadi kerancuan dan percampuran pemahaman soal dasar berlakunya dalam kerangka positivisme hukum.

 

Mata kuliah hukum Islam pun terus dipelajari karena pengakuan pada hukum Islam terus berlanjut. Hukum Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan hukum di Indonesia hingga masa kemerdekaan. Seluruh kampus hukum di Indonesia mewajibkan lulus mata kuliah hukum Islam sebagai syarat untuk menjadi sarjana hukum.

Tags:

Berita Terkait