Jaksa Tuntut Maksimal Advokat Ini, Apa Alasannya?
Utama

Jaksa Tuntut Maksimal Advokat Ini, Apa Alasannya?

Tuntutan itu ancaman hukuman tertinggi dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Lucas dan tim pengacaranya di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Lucas dan tim pengacaranya di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membacakan surat tuntutan terhadap Lucas di Pengadilan Tipikor Jakarta, pekan lalu. Pria yang berprofesi sebagai advokat ini dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair enam bulan kurungan.

 

Permintaan penuntut umum kepada majelis hakim itu adalah tuntutan maksimal. Lucas dianggap terbukti bersalah mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan Pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Tuntutan 12 tahun adalah ancaman hukuman penjara tertinggi dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian pula ancaman hukuman denda Rp600 juta adalah yang tertinggi. Undang-Undang mengatur hukuman terendah (minimum) 3 tahun penjara dan minimum denda Rp150 juta. Lucas dianggap menghalang-halangi proses penyidikan perkara Eddy Sindoro.

 

(Baca juga: Lucas, Advokat Kedua Tersangka Halangi Proses Penyidikan)

 

Jaksa bukan hanya menuntut sanksi maksimal. Dalam uraiannya, jaksa menilai tidak ada faktor atau unsur yang meringankan bagi Lucas. Perbuatan terdakwa, di mata penuntut umum, tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perbuatannya sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, dan yang tak kalah penting terdakwa berprofesi sebagai penegak hukum yaitu advokat.

 

Majelis memberikan waktu kepada Lucas dan tim kuasa hukumnya untuk menyusun pembelaan, dan membacakannya pada sidang mendatang. Namun dalam persidangan sebelumnya, Lucas berkali-kali menegaskan tidak terlibat dengan pelarian Eddy Sindoro. Meskipun penuntut umum beberapa kali memutar rekaman pembicaraan tersadap yang mengarah pada saran atau bantuan bagi Eddy Sindoro melarikan diri, Lucas tegas menyatakan tidak tahu siapa orang dalam percakapan tersebut. Ia tidak mengkonfirmasi suara yang diputar adalah suaranya. Padahal menurut ahli forensik akustik yang dihadirkan KPK, suara itu identik dengan suara Lucas dan suara Eddy Sindoro.

 

(Baca juga: Bahasa Hukum: Forensik Akustik, Jalan Menuju Pembuktian Similaritas Suara dalam Tindak Pidana)

 

Lucas bukan satu-satunya advokat yang pernah kesandung Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelumnya, advokat Fredrich Yunadi juga dituntut maksimal karena menghalang-halangi penyidikan. Saat itu, Yunadi divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta 7 tahun penjara.

 

Penuntut umum juga menyinggung vonis Yunadi ini adalah rekuisitor. “Dalam menentukan berat ringannya pidana, Penuntut Umum telah mempertimbangkan segala hal yang terungkap di persidangan, termasuk sikap Terdakwa selama proses penyidikan dan persidangan serta status Terdakwa sebagai seorang penegak hukum. Selain itu untuk menghindari disparitas tuntutan, Penuntut Umum juga telah memperhatikan dan mempertimbangkan tuntutan terhadap perkara yang serupa atas nama terpidana Fredrich Yunadi,” kata penuntut umum dalam salinan tuntutan.

 

Perbuatan terdakwa

Apa sebenarnya perbuatan pidana Lucas yang membuat penuntut umum mengajukan tuntutan maksimal? Jaksa menguraikan bahwa pada 20 April 2016, KPK melakukan penangkapan terhadap Doddy Aryanto Supeno dan Edy Nasution terkait perkara pidana pemberian suap kepada Edy Nasution selaku Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam proses penyidikan tersebut, penyidik melakukan pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Eddy Sindoro berdasarkan keputusan pimpinan KPK No. KEP-515/01-23/04/2016 tanggal 28 April 2016.

 

Pada saat itu ternyata Eddy sudah berada di luar negeri. Pencegahan bepergian keluar negeri tersebut kemudian diperpanjang berdasarkan Keputusan Pimpinan KPK tanggal 25 November 2016 untuk jangka waktu 6 bulan hingga 25 Mei 2017.

 

Pada 21 November 2016 Pimpinan KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-84/01/11/2016 guna melakukan Penyidikan perkara tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan pengurusan perkara di PN Jakarta Pusat yang diduga dilakukan Eddy Sindoro. Berdasarkan Sprindik tersebut, penyidik memanggil Eddy Sindoro untuk diperiksa sebagai tersangka pada 24 November 2016 dan 6 Maret 2017. Namun Eddy Sindoro tidak memenuhi panggilan.

 

(Baca juga: Kesaksian Novel dan Sindiran Lucas Terhadap KPK)

 

Dugaan keterlibatan Lucas menurut penuntut bermula pada 4 Desember 2016. Menurut jaksa, Lucas menghubungi seseorang bernama Alexander Mulia Oen. Dalam percakapan tersebut Lucas menyampaikan informasi bahwa Eddy Sindoro telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), dan memerintahkan untuk mendengarkan pembicaraannya dengan Eddy.

 

Di tengah-tengah pembicaraan antara Lucas dengan Alexander Mulia, Eddy menghubungi Lucas dengan aplikasi facetime. Dalam komunikasi itu, ada saran Lucas yang dirangkum penuntut umum kepada Eddy Sindoro. Pertama, saran agar mantan Presiden Komisaris Lippo Group ini melepaskan status kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi warga negara salah satu negara di Amerika Latin atau di British Virgin Island, dengan maksud agar tidak dikejar lagi oleh aparat penegak hukum Indonesia yang dalam hal ini adalah KPK. Dalam proses komunikasi, Lucas diduga bersedia membantunya.

 

Kedua, Eddy Sindoro sebenarnya menginginkan kembali ke Indonesia demi alasan keluarga. Tetapi terdakwa menyebut dampak kepulangannya berdampak pada bisnis Lippo Group. “Meskipun Eddy Sindoro menginginkan kembali ke Indonesia dan menghadapi proses hukumnya di KPK, namun Terdakwa justru menyarankan Eddy Sindoro tidak kembali ke Indonesia karena akibat atau damage-nya besar sekali, akan ribut, dan pasti James Riady ikut terbawa-terbawa terus, sehingga menjadi tambah ramai,” ujar penuntut.

 

Saran ketiga, Lucas mengusulkan Eddy Sindoro mencabut paspor Indonesia, agar bebas dapat pergi ke manapun, dan menunggu setelah 12 tahun agar perkaranya lewat waktu atau kadaluarsa. Jika Eddy masih berstatus sebagai WNI, KPK akan tetap dapat mengejarnya untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum. “Terdakwa juga mencontohkan hal yang serupa dalam kasus Astro yang pelakunya orang asing,” terang penuntut.

 

Untuk menghindarkan diri dari proses penyidikan di KPK, sesuai saran Lucas, Eddy dibantu Chua Chwee Chye alias Jimmy alias Lie membuat paspor palsu Republik Dominika atas nama Eddy Handoyo Sindoro. Namun ia ditangkap petugas imigrasi Malaysia saat hendak pergi ke Bangkok Thailand. Otoritas Malaysia menemukan paspor palsu itu.

 

Ketika Eddy Sindoro akan dipulangkan otoritas Malaysia ke Indonesia, Lucas meminta bantuan Dina Soraya untuk berkoordinasi dengan petugas bandara agar ketika Eddy, Michael Sindoro dan Jimmy mendarat langsung dapat melanjutkan penerbangan ke Bangkok tanpa melalui proses pemeriksaan Imigrasi Indonesia.

 

Dina pun meminta bantuan sejumlah pihak seperti petugas bandara, juga pihak maskapai penerbangan. Sementara uang operasional untuk mengurus rencana tersebut diambil Dina dari staf Lucas bernama Stephen Sinarto sebesar Sin$46 ribu dan Rp50 juta.

Tags:

Berita Terkait