Jaksa Pinangki Disinyalir Bukan Pemain Tunggal
Berita

Jaksa Pinangki Disinyalir Bukan Pemain Tunggal

Penyidik Kejaksaan Agung semestinya mendalami kemungkinan ada pihak lain yang menerima aliran dana dari jaksa Pinangki. KPK diminta masuk menjalankan fungsi supervisi dalam proses penanganan Jaksa Pinangki.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

“Jaksa Pinangki aktor tunggal atau ada aktor lain? Ini yang harus didalami,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Rabu (12/8/2020).

Asfin mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun turut masuk menjalankan fungsi supervisi dalam proses penanganan Jaksa Pinangki. Setidaknya, KPK dapat berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung. Apalagi, KPK berwenang menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. “Seharusnya ada peran KPK dalam penyelidikan/penyidikan yang melibatkan penegak hukum,” ujarnya.

Pasal 11 ayat (1) huruf a UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2020 tentang KPK menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara”.

Menurutnya, melihat rumusan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, semestinya KPK bereaksi dan mengambil peran dalam penuntasan kasus ini. Namun begitu, dirinya tetap menghargai proses yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung. Meski Kejaksaan telah bersikap transparan dalam penanganan kasus ini, Asfin menantang kejaksaan atau kepolisian menyelidiki lebih jauh jajarannya yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra. “Sampai sejauh mana penyidikan di kepolisian dan kejaksaan menelusuri lebih jauh kasus ini?”

Sebelumnya, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kejaksaan Agung menetapkan Pinangki sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi berupa menerima hadiah atau janji. Penetapan tersangka setelah penyidik mengantongi alat bukti permulaan yang cukup. “Tadi malam menetapkan tersangka dengan inisial PSM,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setyono dalam keterangannya.

Setelah penetapan tersangka, penyidik menangkap Pinangki di kediamannya pada Selasa (11/8) malam. Penyidik pun memboyong Pinangki ke Kejaksaan Agung untuk dilakukan pemeriksaan. Penahanan pun dilakukan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan demi kepentingan pemeriksaan lebih lanjut.

Nantinya proses penahanan bakal dipindakan ke Rutan Khusus Wanita di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dugaan sementara, Pinangki menerima uang nomimal sebesar US$ 500 ribu. Atas perbuatan itu, Pinangki dijerat dengan Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hari menjelaskan kasus ini bermula ketika Djoko Tjandra mengajukan PK ke PN Jakarta Selatan atas putusan kasasi yang menghukumnya 2 tahun penjara. Padahal status yang bersangkutan adalah buronan karena belum melaksanakan eksekusi atas putusan tersebut. Menurut Hari, ada peran Pinangki dalam proses ini dan ia menerima imbalan sebesar US$500 ribu atau jika dikonversi menjadi sekitar Rp7 miliar.

“Diduga ada peran Tersangka PSM untuk mengkondisikan dan mengatur upaya hukum PK. bahkan Tersangka PSM melakukan pertemuan dengan Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra di Malaysia bersama-sama dengan Anita Kolopaking yang diduga untuk keperluan koordinasi dan pengkondisian keberhasilan PK Terpidana Djoko Soegiarto Tjandra, dijanjikan hadiah atau pemberian sebanyak US$ 500 ribu” kata Hari. 

Sebelumnya, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi menjatuhkan sanksi disiplin terhadap Pinangki berupa pembebasan tugas dari jabatan struktural. Pinangki terbukti melanggar disiplin dan kode etik perilaku jaksa. Hukuman tersebut dijatuhkan berdasarkan Surat Keputusan No. KEP-IV-041/B/WJA/07/2020 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin (PHD) Tingkat Berat berupa Pembebasan dari Jabatan Struktural.

Tags:

Berita Terkait