Jaksa Pengacara Negara Akan Dihilangkan
Utama

Jaksa Pengacara Negara Akan Dihilangkan

Apabila berperkara di pengadilan, instansi pemerintah bisa menyewa jasa pengacara.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Kejaksaan menawarkan beberapa perubahan struktur.<br>Foto: Sgp
Revisi UU Kejaksaan menawarkan beberapa perubahan struktur.<br>Foto: Sgp

Badan Legislasi DPR tengah membahas revisi UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Nantinya, UU Kejaksaan yang baru akan menawarkan sejumlah hal yang bakal mengubah wajah institusi Kejaksaan cukup signifikan. Ketua Panja RUU Kejaksaan Dimyati Natakusumah mengatakan melalui revisi ini, formasi jaksa agung muda di Kejaksaan Agung akan disederhanakan.

 

“Ada wacana mengganti Jambin (Jaksa Agung Muda Pembinaan,-red) dengan Kesekjenan. Dan menghilangkan Jamdatun (Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara,-red) sama sekali,” ujar Dimyati kepada hukumonline melalui sambungan telepon, Selasa (19/4). 

 

Sebagai informasi, saat ini memang ada lima bidang di Kejagung yang dipimpin oleh jaksa agung muda. Yakni, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Jamdatun dan Jambin. Para jaksa agung muda ini memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

 

Jamdatun bertugas mewakili instansi-instansi pemerintah yang digugat secara perdata atau tata usaha negara oleh warga negara atau perusahaan. Lalu, siapa yang bertugas mewakili instansi pemerintah itu bila kelak Jamdatun akan dihilangkan?

 

Dimyati menjelaskan masalah keperdataan merupakan urusan masing-masing pihak yang bersengketa. “Itu urusan keperdataan antar pihak. Itu kan bisa ditugaskan kepada lawyer,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

 

Wakil Ketua Baleg ini mencontohkan bila ada pemerintah daerah di tingkat kabupaten atau provinsi yang digugat secara perdata atau tata usaha negara. Selama ini, mereka bisa menggunakan jaksa pengacara negara (JPN) yang berada di jajaran Jamdatun. “Kalau nanti hilang, berarti mereka harus meng-hire (rekrut) lawyer,” jelasnya.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, setiap instansi setidaknya memiliki tiga alternatif penyelesaian sengketa dalam kasus perdata atau tata usaha negara yang dihadapinya. Pertama, instansi itu menggunakan biro hukumnya sendiri. Kedua, instansi itu menggunakan pengacara swasta dengan anggaran pos bantuan hukum (posbakum) yang ada di masing-masing instansi. Ketiga, instansi itu menggunakan JPN yang ada di Kejaksaan.

 

Dalam sengketa pemilihan presiden (pilpres), keterlibatan JPN mewakili Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sempat menimbulkan sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kala itu, Kubu Megawati Soekarnoputri protes. Mereka menilai KPU seakan tidak netral menggunakan JPN yang berada langsung di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga menjadi pihak terkait dalam sengketa pilpres itu.

 

Putusan MK memang membolehkan JPN menjadi kuasa hukum KPU dalam sengketa pilpres ini. “Namun, di masa datang hal tersebut akan dipertimbangkan kembali demi menjaga independensi dan netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah itu.

 

Wacana perubahan formasi jaksa agung muda sebelumnya juga pernah mengemuka dalam rapat kerja antara Jaksa Agung dengan Komisi III DPR. Ketika itu, muncul usulan gara Jampidum digabung dengan Jampidsus dengan alasan efektivitas penanganan perkara. Jaksa Agung Basrief Arief bahkan berharap penggabungan ini dimasukkan dalam revisi UU Kejaksaan.

 

Berdiri Sendiri

Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI Hasril Hertanto setuju dengan rencana mengganti Jambin menjadi Kesekjenan dan ‘penghilangan’ Jamdatun ini. Menurutnya, peran Jambin memang lebih tepat diperankan oleh seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen).

 

“Jadi, masalah keuangan atau tata usaha tak lagi diurus oleh jaksa di lapangan. Tapi, orang yang profesional di bidangnya. Para jaksa fungsional juga punya masa depan yang jelas, maksimal mereka bisa menjadi Sekjen,” tuturnya.

 

Hasril juga menilai ‘penghilangan’ Jamdatun sebagai langkah tepat. “Jamdatun sudah masanya diganti, karena selama ini peran JPN di Jamdatun menjadi rancu,” jelasnya. Ia mengungkapkan, Jamdatun dibentuk pada 1991 di era Suhadibroto.

 

Kala itu, ada wacana meniru Australia yang memiliki Solicitor-General sebagai jaksa pengacara negara. Sayangnya, lanjut Hasril, konsep ini diadopsi dengan memasukkan Jamdatun ke dalam Kejagung.

 

“Seharusnya dibentuk kantor jaksa pengacara negara sendiri seperti di Australia. Mereka bisa merekrut pengacara profesional dan orang hukum lainnya di dalam kantor itu. Tapi, yang berada di sana bukan jaksa. Karena fungsi jaksa, salah satunya, ya melakukan penuntutan. Bukan membela pihak dalam kasus perdata,” pungkasnya.

Tags: