Jaksa Agung Sampaikan Konsep Keadilan Restoratif dengan Hati Nurani
Pengukuhan Guru Besar

Jaksa Agung Sampaikan Konsep Keadilan Restoratif dengan Hati Nurani

“Saya sebagai Jaksa Agung tidak membutuhkan jaksa yang pintar, tetapi tak bermoral. Saya juga tidak butuh jaksa yang cerdas, tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan jaksa yang pintar dan berintegritas.”

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit
Jaksa Agung ST Burhanuddin saat memaparkan orasi ilimiahnya dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap Bidang Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman,  Jum'at (10/9/2021). Foto: Humas Kejaksaan Agung
Jaksa Agung ST Burhanuddin saat memaparkan orasi ilimiahnya dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap Bidang Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman, Jum'at (10/9/2021). Foto: Humas Kejaksaan Agung

Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, secara resmi mengukuhkan Jaksa Agung Dr. ST Burhanuddin sebagai Profesor Bidang Ilmu Hukum Pidana dan Guru Besar Tidak Tetap Unsoed. Pengukuhan ini dilaksanakan dalam Sidang Senat Terbuka yang digelar secara luring di Auditorium Graha Widayatama Unsoed dan daring melalui Zoom dan Youtube, Jum’at (10/9/2021).

Dalam sidang Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap itu, Prof. Dr. ST Burhanuddin menyampaikan pidato orasi ilmiah berjudul "Hukum Berdasarkan Hati Nurani, Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif”. Dia mengatakan setiap manusia memiliki dan mampu menggunakan hati nuraninya sebagai anugerah dan cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

“Saya tidak menghendaki jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani. Saya ingin menekankan sekali lagi agar kita semua menggunakan hati nurani. Hukum berdasarkan hati nurani akan dapat mencapai dan mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara bersamaan tanpa ada penegasian," kata Burhanuddin dalam orasinya.

Ia menegaskan kebijakan penegakan hukum berdasarkan keadilan restoratif hakikatnya menghadirkan tujuan hukum yang memberi kepastian, keadilan, kemanfaatan di masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan hukum itu diperlukan hati nurani. “Penegakan hukum yang mengedepankan aspek hati nurani, sejatinya memiliki nilai kekuatan filosofis bagi para civitas akademika untuk selalu menghasilkan ide, gagasan, dan karya dengan senantiasa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan,” paparnya.  

Burhanuddin melihat hukum saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum yang bersifat legalistik formal daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat. Bahkan, sebagian besar kalangan masih memandang jika hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. (Baca Juga: Ketua MA: Ada Tantangan Memperkuat Implementasi Keadilan Restoratif)  

Dirinya tak menyangkal telah terjadi beberapa kali peristiwa penegakan hukum yang seringkali mencederai rasa keadilan masyarakat. Hal ini utamanya ketika terjadi peristiwa tindak pidana yang pelakunya masyarakat kecil dan perbuatan pidananya dianggap tidaklah tepat atau adil untuk dibawa ke pengadilan.

''Banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan di mana letak hati nurani aparat penegak hukum yang tega menghukum masyarakat kecil dan orang tua renta atas kesalahan yang dipandang tidak terlalu berat? Apakah semua perbuatan pidana harus berakhir di penjara? Kegelisahan inilah yang perlu ditinjau lebih dalam, bagaimana tujuan hukum dapat tercapai secara tepat untuk menyeimbangkan hukum yang tersurat dan tersirat," paparnya.

Ia menyebut beberapa kasus yang menarik perhatian masyarakat, seperti kasus nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian 3 buah kakao, kemudian divonis 1 tahun 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Kasus lain yang serupa adalah kasus kakek Samirin yang divonis bersalah 2 bulan 4 hari penjara karena mencuri getah karet yang harganya hanya sekitar Rp17.000.

Lebih lanjut, Burhanuddin memaparkan upaya mencari keadilan memang salah satu tujuan utama dari hukum. Tapi hal ini bukan berarti tujuan hukum yang lain, seperti kepastian hukum dan kemanfaatan menjadi terpinggirkan atau dinegasikan. Sementara hati nurani bukan tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Bila kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan hati nurani telah tercapai secara bersamaan, kata dia, keadilan hukum akan terwujud secara paripurna. "Adanya komponen hati nurani yang memiliki andil besar mewujudkan keadilan hukum ini, saya namakan sebagai Hukum Berdasarkan Hati Nurani," katanya menjelaskan.

''Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka hati nurani menjadi 'jembatan' untuk mencapai titik neraca keseimbangan.”   

Menurutnya, semakin tinggi nilai penggunaan hati nurani dalam upaya penegakan hukum, maka semakin tinggi pula nilai keadilan hukum yang dapat diwujudkan dalam penegakan hukum. Hukum tanpa keadilan adalah sia-sia dan hukum tanpa tujuan atau manfaat juga tidak dapat diandalkan.

Burhanuddin menegaskan penggunaan hati nurani dalam penegakan hukum di Indonesia telah dijamin dalam dua pasal konstitusi yakni Pasal 28E ayat (2) dan pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945. Berdasarkan dua pasal konstitusi tersebut, ia menilai setiap orang, termasuk para jaksa, berhak dan harus menggunakan hati nuraninya dalam setiap penegakan hukum.

Pasal 28E ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,….”

304 perkara dihentikan

Dalam kesempatan ini, ia juga menyampaikan sebagai Jaksa Agung, telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 22 Juli 2020. ''Peraturan ini lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang belum mengatur penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif,'' ujar Burhanudin.

Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Menurut dia, filosofi Peraturan Keadilan Restoratif itu untuk melindungi masyarakat kecil.

Dia pun berharap kehadiran Peraturan Kejaksaan ini dapat lebih menggugah hati nurani para jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum jika masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapat akses keadilan hukum.

"Saya yakin Peraturan Kejaksaan ini akan menjadi momentum mengubah 'wajah penegakan hukum di Indonesia'. Tidak akan ada lagi kasus seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang sampai ke meja hijau. Tidak akan ada lagi penegakan hukum yang hanya melihat kepastian hukumnya saja, dan tidak akan ada lagi hukum yang hanya tajam ke bawah," harapnya.

Berdasarkan hasil evaluasi sejak berlakunya Peraturan Kejaksaan itu, ada sebanyak 304 perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif antara lain tindak pidana penganiayaan, pencurian, lalu lintas. Dari data itu dapat disimpulkan hampir setiap hari satu perkara pidana diselesaikan melalui keadilan restoratif. (Baca Juga: Kejaksaan Hentikan 222 Perkara Lewat Keadilan Restoratif)

Dalam Peraturan Kejaksaan itu, ia menyebut terdapat beberapa asas yakni asas keadilan, kepentingan umum, pidana sebagai jalan terakhir, cepat, sederhana dan biaya ringan. Kemudian, mengedepankan kepentingan hukum, menghindari sebuah pembalasan, stigma negatif, kesusilaan dan ketertiban. Asas-asas keadilan restoratif ini semua dapat mencapai 3 tujuan hukum dengan hati nurani tanpa menegasikan satu sama lain.  

“Saya sebagai Jaksa Agung tidak membutuhkan jaksa yang pintar, tetapi tak bermoral. Saya juga tidak butuh jaksa yang cerdas, tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan jaksa yang pintar dan berintegritas.” 

Rektor Unsoed Prof Ir Suwarto mengatakan pengukuhan Prof Dr ST Burhanuddin merupakan kebanggaan bagi Universitas Jenderal Soedirman. "Kami mengusulkan (gelar profesor untuk ST Burhanuddin) karena atas prestasi beliau di bidang hukum," kata dia usai acara pengukuhan.  

Menurut dia, pengukuhan gelar profesor tersebut telah melalui prosedur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. "Tentunya beliau layak karena memiliki keistimewaan, suatu temuan baru, ide-ide baru, salah satunya adalah keadilan restoratif yang isinya tadi sudah disampaikan oleh beliau," katanya.

Wakil Rektor Unsoed Bidang Keuangan dan Umum Prof Hibnu Nugroho mengatakan ide besar dari Prof Dr ST Burhanuddin merupakan cukup memberikan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia. Menurut dia, hal itu disebabkan kebijakan penegakan hukum di Indonesia jika dilihat sejak tahun 1981 berorientasi pada pidana penjara.

“Karena itu, bapak, ibu bisa lihat bagaimana lapas (lembaga pemasyarakatan) itu penuh. Lapas over kapasitas sehingga negara belum mampu mengimbangi (memenuhi, red) sarana prasarana yang ada. Dengan demikian, pemikiran Pak Burhanuddin ini ke depan kalau terus dikembangkan. Insya Allah ke depan akan imbang, mengurangi over kapasitas lapas," katanya.

Tags:

Berita Terkait