Jaga Penerimaan Negara di Tengah Pandemi, Transaksi Elektronik Dikenai Pajak
Utama

Jaga Penerimaan Negara di Tengah Pandemi, Transaksi Elektronik Dikenai Pajak

Pengenaan pajak berlaku untuk barang tidak berwujud atau jasa, seperti Zoom dan Netflix.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mengalami perlambatan dan penurunan penerimaan negara, peningkatan belanja negara, sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, social safety net, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa untuk menghadapi situasi ini pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra-ordinary) dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.

 

Dalam upaya pencegahan penyebaran Covid-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk menangani Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

 

Perppu ini berisi kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra ordinary) untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitass sistem keuangan, termasuk memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun.

 

Namun di balik melonjaknya anggaran negara untuk mencegah Covid-19, penerimaan negara di sektor perpajakan dipastikan mengalami penurunan. Sri Mulyani menegaskan penerimaan Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan tarif PPh, serta PNBP juga mengalami penurunan sebagai dampak jatuhnya harga komoditas.

 

Untuk itu, guna membantu sektor penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah memutuskan untuk mengambil kebijakan di sektor pajak, selain pemberian insentif. Kebijakan perpajakan tersebut adalah pengenaan pajak untuk seluruh transaksi elektronik yang tidak berwujud atau jasa, sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 Perppu 1/2020.

 

(Baca: Perppu Stabilitas Jasa Keuangan, OJK Bisa “Paksa” Lembaga Jasa Keuangan Merger)

 

Menurut Sri Mulyani, kebijakan ini diambil oleh pemerintah mengingat terjadinya peningkatan transaksi elektronik selama social/physical distancing. Hal ini juga menjadi bagian untuk menjaga basis pajak pemerintah.

 

“Selama ada pembatasan mobilitas orang, sangat besar pergerakan transaksi elektronik. Pemajakan ini dilakukan untuk menjaga basis pajak pemerintah. Saat ini semua serba online, makanya menyasar online,” kata Sri Mulyani dalam streaming konferensi pers di Jakarta, Rabu (1/4).

 

Sri Mulyani mengingatkan bahwa pemajakan ini tidak hanya berlaku untuk pelaku usaha online di dalam negeri, namun juga berlaku untuk pelaku usaha online luar negeri yang memiliki significant economic presence di Indonesia walaupun belum menjadi Bentuk Usaha Tetap (BUT).  Adapun bentuk pengenaan pajaknya adalah pemungutan dan penyetoran PPN atas impor barang tidak berwujud dan jasa oleh platform LN. Selain itu pengenaan pajak kepada SPLN yang memiliki significant economic presence di Indonesia dengan perdagangan melalui sistem elektronik.

 

“Ini juga berlaku untuk subyek pajak luar negeri yang memiliki significant economic presence di Indonesia walaupun tidak BUT. Seperti ZOOM itu banyak digunakan di Indonesia sekarang, dan Netflix tetap bisa jadi subyek pajak luar negeri,” tambahnya.

 

Sekadar catatan, dalam RUU Omnibus Law Perpajakan pemerintah juga memasukkan perusahaan-perusahaan digital yang tidak ada di Indonesia, namun mendapatkan income dari Indonesia seperti Netflix dan Amazon.

 

Pasal 4

  1. Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:

     b. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);

Pasal 6

  1. Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b berupa:
  1. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); dan
  2. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
  1. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
  2. Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, danf atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  3. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
  4. Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pembeli barang atau penerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
  5. Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan.
  6. Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
  1. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu;
  2. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlahtertentu; dan/atau
  3. pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.
  1. Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik.
  2. Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar Indonesia melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.
  3. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.
  4. Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
  5. Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai:
  1. tata cara penunjukan, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
  2. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (71), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10);dan
  3. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 

Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengapresiasi pemerintah terkait Perppu No. 1 Tahun 2020. Dia menilai Perppu 1/2020 menurut cukup komprehensif, holistik, fokus, dan terukur. Perppu ini sangat jelas dan kuat menunjukkan respon cepat dan tepat atas situasi dan kondisi yang darurat dan luar biasa. Perppu ini, lanjutnya, menunjukkan kemampuan berkoordinasi dan bersinergi yang bagus.

 

“Ke depan, ini jadi model yang perlu diduplikasi dengan cepat ke semau sektor. Lugasnya, Perppu ini menunjukkan semangat dan komitmen untuk mengatasi persoalan yang luar biasa berat, dengan cara luar biasa. Sinyal bahwa Pemerintah memahami persoalan dan punya langkah antisipasi yang terukur inilah yang dibutuhkan publik dan pasar,” katanya.

 

Namun dia mengingatkan bahwa kebijakan ini membutuhkan aturan turunan yang detail dan implementasi yang konsisten dan efektif di lapangan. Yustinus mencatat beberapa pokok gagasan yang penting dalam Perppu ini yakni pelebaran defisit untuk mengantisipasi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar, penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran, penambahan pengeluaran, penggunaan dari SAL dan sumber lain yang dimiliki negara, menerbitkan Surat Utang Negara, menetapkan sumber pembiayaan lain, memberikan pinjaman kepada LPS, melakukan refocussing/realokasi/pemotongan/penundaan anggaran tertentu, dan penyederhanaan mekanisme.

 

Khusus untuk bidang perpajakan, Yustinus menilai juga sudah cukup responsif. Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22% untuk Tahun Pajak 2020. Pemajakan atas kegiatan PMSE, baik PPN maupun PPh, juga cukup beralasan, baik dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi. Meski di tataran implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif, dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD yang akan dituntaskan.

 

Untuk perpanjangan jangka waktu permohonan/penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. Ini akan mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, mengurangi risiko penularan covid-19, memberi kelonggaran dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan.

 

“Tinggal dalam implementasinya lebih luwes, menyesuaikan masa tanggap darurat Pemerintah dan kesesuaian dengan Indikator Kinerja Utama. Pengaturan WFH juga perlu diselaraskan dan dimodifikasi, agar tepat sasaran dan tujuan, termasuk memikirkan aspek keselamatan pegawai,” tambahnya.

 

Dan hal penting lainnya adalah komitmen Pemerintah mengevaluasi insentif yang telah diberikan dan akan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan.

 

“Saya memuji kemauan mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak. Sejak awal, saya pun cukup keras dan nyaring mendorong perluasan insentif ini. Tentu ini kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan/penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cashflow perusahaan dan individu. Hal konkret yang di depan mata menjadi ancaman survival,” ujarnya.

 

Tak hanya itu, pemberian kewenangan kepada Menkeu untuk membuat kebijakan terkait fasilitas kepabeanan, khususnya terhadap impor barang-barang yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19 ini akan jadi terobosan penting, di tengah rumitnya regulasi impor dan tumpang tindih kewenangan di lapangan.

 

Kebijakan ini, diracik dengan upaya Kementerian Perekonomian melakukan orkestrasi kebijakan sektoral yang partisipatoris akan berdampak positif bagi upaya penanganan Covid-19. Misalnya, percepatan produksi ventilator, bed rumah sakit, masker, APD, dan lainnya.  

 

Tags:

Berita Terkait