Jadi Polemik di Masyarakat, Presiden Minta Menkes Turunkan Biaya Tes PCR
Terbaru

Jadi Polemik di Masyarakat, Presiden Minta Menkes Turunkan Biaya Tes PCR

Mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia tentu berdampak pada upaya Pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: RES
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Foto: RES

Polemik mengenai mahalnya harga pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) di Indonesia kembali mencuat setelah adanya informasi terkait perbandingan tarif PCR di India. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menurunkan biaya pemeriksaan RT-PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction). Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan pengetesan (testing) Covid-19 yang terus dilakukan pemerintah.

“Salah satu cara cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR. Dan, saya sudah berbicara dengan Menteri Kesehatan mengenai hal ini, saya minta agar biaya tes PCR ini berada di kisaran antara Rp450-550 ribu,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, seperti dilansir situs Setkab, Minggu (15/8).

Selain itu, Presiden juga meminta agar hasil tes tersebut dapat diketahui dalam waktu kurang dari 24 jam. “Saya minta agar tes PCR bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1×24 jam. Kita butuh kecepatan,” katanya.

Untuk diketahui, dalam sejumlah pemberitaan diketahui bahwa Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000. Sedangkan di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan No.HK.02.02/I/3713/2020 menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900.000 atau sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.

Mahalnya tarif pemeriksaan PCR di Indonesia tentu berdampak pada upaya Pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19. Banyaknya kasus pasien Covid-19 tanpa gejala dan mahalnya tarif pemeriksaan, menghambat sejumlah warga untuk melakukan tes PCR secara mandiri. Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Kesehatan, mahalnya tarif pemeriksaan karena bahan baku untuk tes PCR masih bergantung pada impor dan harga reagen yang mahal. (Baca: Pengguna Alat Tes Swab Bekas Dinilai Kategori Percobaan Pembunuhan Berencana)

Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam penelitiannya menemukan dua permasalahan. Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada Pelaku Usaha untuk produk test kit dan reagent laboratorium. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepaeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR.

Tidak adanya biaya impor barang tentu akan mempengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR. Yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR.

Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh Pelaku Usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000. Setidaknya ada 6 (enam) merek reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak tahun 2020, seperti: Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure, dan Liverifer.

Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh Pelaku Usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat. Kementerian Kesehatan pun tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh Pelaku Usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR.

“Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah, dalam keterangan persnya.

Dari sejumlah permasalahan tersebut, kata Wana, ICW mendesak agar Kementerian Kesehatan segera merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR. Kemudian, Kementerian Kesehatan segera membuka informasi mengenai komponen penetapan tarif PCR kepada publik. “Kementerian Kesehatan juga harus memberikan subsidi terhadap pemeriksaan PCR yang dilakukan secara mandiri,” ujar Wana.

Sementara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai keinginan pemerintah menurunkan harga tes PCR Covid-19 penting dalam mendorong peningkatan upaya tracing. "Saya rasa penurunan harga tersebut penting, mengingat mahalnya harga tes PCR untuk deteksi Covid-19 merupakan salah satu yang dikeluhkan oleh masyarakat," ujar Eko seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, saat ini masyarakat membutuhkan tes PCR atau tes pemeriksaan Covid-19 lainnya seperti antigen sebagai persyaratan untuk menjalankan kegiatan atau aktivitas keseharian mereka. "Kalau kemudian harga tes PCR tersebut lebih mahal dibandingkan harga tes PCR di negara-negara lainnya, memang seharusnya harga tes PCR di Indonesia bisa ditekan," katanya.

Menurutnya, hasil pemeriksaan tes PCR saat ini menjadi alat atau perangkatpenting sebagai acuan paling utama untuk bisa menentukan status seorang individu apakah positif Covid-19 atau tidak.

Arahan Presiden RI agar harga tes PCR diturunkan agar terjangkau masyarakat juga dinilai dapat meningkatkan upaya tracing Covid-19 di tengah masyarakat. “Harusnya bisa, upaya tracing Covid-19 di Indonesia kurang. Dengan demikian adanya penurunan harga tes PCR tersebut diharapkan upaya tracing bisa lebih banyak,” ujar ekonom INDEF tersebut.

Tags:

Berita Terkait