Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan
Utama

Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan

Perubahan Keempat UU MK dinilai menunjukkan iktikad buruk pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan perubahan itu disusun melalui proses yang senyap, tertutup, tergesa-gesa, minim partisipasi publik, serta substansinya kental dengan kepentingan politik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit
Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nusyamsi. Foto: Istimewa
Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nusyamsi. Foto: Istimewa

Langkah DPR dan pemerintah yang menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (Perubahan Keempat UU MK) dalam Pembicaraan Tingkat I pada Senin (13/5), untuk selanjutnya dibahas ke Pembicaraan Tingkat II di rapat paripurna menjadi polemik. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai upaya itu sebagai cara melumpuhkan MK. 

Menurut Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nusyamsi, langkah DPR dan Presiden merupakan bentuk autocratic legalism yang merusak demokrasi dan independensi MK. Melalui Perubahan Keempat UU MK, DPR dan Presiden berupaya mendepak sejumlah hakim konstitusi yang tak dikehendaki, yang selanjutnya akan menggantikannya dengan figur yang dapat menjadi perpanjangan tangan mereka.

Penilaian tersebut bukan tanpa alasan. Fajri mengatakan hal tersebut tercermin dari rangkaian persoalan prosedural dan substansi. Jika dilihat dari sisi prosedural pembentukan perubahan keempat UU MK, setidaknya ada lima persoalan yang mencerminkan adanya upaya melumpuhkan  MK.

Baca Juga:

Apa saja? Mulai dari perencanaan perubahan Keempat UU MK yang tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dan tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2024 ataupun dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024; dan pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa.

“Proses ini tidak melibatkan satu fraksi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan terdapat sejumlah anggota Komisi III DPR yang tidak mengetahui adanya pembahasan Perubahan Keempat UU MK pada Pembicaraan Tingkat I,” kata Fajri dalam keterangan tertulis, Rabu (15/5).

Kemudian, kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen perancangan undang-undang tak dapat diakses. Pokok-pokok pembahasan Perubahan Keempat UU MK tidak dipublikasikan secara luas sebelumnya, bahkan draf rancangan undang-undang dan naskah akademik pun tidak dapat diakses di kanal-kanal resmi DPR dan pemerintah; dan pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan Perubahan Keempat UU MK.

Keputusan ketatanegaraan yang bersifat signifikan ini, lanjut Fajri, tak seharusnya diambil di masa ini, sebab berpotensi menimbulkan persoalan legitimasi keputusan. Serta, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman.

Lalu, persoalan substansi perubahan keempat UU MK, di mana tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK dan melakukan pengkondisian jajaran hakim konstitusi dengan terlebih dahulu mengeluarkan hakim konstitusi yang tak dikehendaki oleh DPR dan Presiden.

Perubahan Keempat UU MK kembali mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Pada UU 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, hakim konstitusi menjabat sampai usia pensiun (70 [tujuh puluh] tahun) dengan maksimal masa jabatan 15 (lima belas) tahun, sedangkan pada Perubahan Keempat UU MK menjadi 10 (sepuluh) tahun. Masa jabatan hakim konstitusi telah melalui tiga perubahan dalam satu dekade terakhir, tetapi tidak terdapat justifikasi yang memadai terkait perubahan tersebut dan tidak dibarengi dengan pengetatan penegakkan etik hakim.

Kemudian Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. Praktik ini merupakan intervensi semena-mena dari lembaga pengusul dan bukan praktik ketatanegaraan yang wajar. Hal ini dapat menghambat independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK, sebab hakim konstitusi akan dependen pada kehendak lembaga pengusul.

“MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta berkedudukan sejajar dengan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul, sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan,” tegasnya.

Tak hanya itu, dalam pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan personil Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul. Upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya.

Sementara dalam Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan untuk menyaring hakim konstitusi incumbent, yaitu dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.

“Pembersihan” tersebut ditujukan kepada lima hakim konstitusi, terutama terhadap tiga hakim konstitusi yang sebelumnya menyampaikan dissenting opinion pada Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 karena tidak sejalan dengan pemangku kekuasaan, yaitu Saldi Isra, Eni Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Rinciannya sebagai berikut: Saldi Isra telah menjabat selama tujuh tahun, diusulkan oleh Presiden; Eni Nurbaningsih telah menjabat selama enam tahun, diusulkan oleh Presiden; Suhartoyo telah menjabat selama sembilan tahun, diusulkan oleh Mahkamah Agung; Arief Hidayat telah menjabat selama sebelas tahun, diusulkan oleh DPR; dan Anwar Usman telah menjabat selama 13 (tiga belas) tahun, diusulkan oleh Mahkamah Agung.

Untuk melanjutkan sisa masa jabatan, lanjut Fajri, kelima hakim konstitusi tersebut harus memperoleh restu dari lembaga pengusul, yang mana sarat akan konflik kepentingan. Persoalan prosedural dan substantif dari Perubahan Keempat UU MK menunjukkan niat buruk DPR dan Presiden untuk meruntuhkan pilar-pilar demokrasi dan konstitusi yang dicitrakan pada MK.

Atas dasar tersebut, PSHK mendesak hal-hal berikut: pertama, DPR dan Presiden menghentikan pembahasan Perubahan Keempat UU MK karena substansi rancangan undang-undang sama sekali tidak ditujukan untuk memperkuat kewenangan dan kelembagaan MK; kedua, fraksi dan anggota Komisi III yang tidak dilibatkan dalam Pembicaraan Tingkat I bersikap tegas untuk menolak proses pembahasan dan pengesahan Perubahan Keempat UU MK; dan ketiga MK secara tegas mengingkari Perubahan Keempat UU MK, terutama terkait klausul evaluasi hakim konstitusi oleh lembaga pengusul karena mengganggu independensi dan imparsialitas hakim konstitusi.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi pada masa reses sudah mendapatkan izin pimpinan DPR. "Itu sudah saya cek, ada izin pimpinannya," kata Sufmi Dasco Ahmad di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5), dikutip dari Antara.

RUU tentang MK, kata dia, telah disetujui Komisi III DPR RI bersama Pemerintah untuk dibawa ke Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI. Persetujuan itu diambil pada hari Senin (13/5) dalam rapat kerja bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Polhukam) dan Komisi III DPR.

"Keputusan sudah diambil antara Pemerintah dengan DPR, tinggal dilanjutkan di paripurna," ujarnya.

Dengan masa sidang yang masih panjang, Dasco optimistis RUU tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dapat disahkan menjadi undang-undang.

Tags:

Berita Terkait