Jadi Advokat Pendamping Terpidana Mati, Antara Happy dan Frustasi
Berita

Jadi Advokat Pendamping Terpidana Mati, Antara Happy dan Frustasi

Cerita tentang advokat yang berusaha meloloskan klien dari eksekusi mati.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Warga menolak hukuman mati. Foto: HOL
Warga menolak hukuman mati. Foto: HOL

Terpidana mati akan mengalami perasaan campur aduk ketika mengetahui permohonan grasinya ditolak Presiden, atau ketika waktu eksekusi mati sudah disampaikan secara resmi. Sebaliknya, kalau eksekusi mati yang dijatuhkan pengadilan bias berubah karena alasan tertentu, rasa bahagia bukan hanya menyelimuti terpidana, tetapi juga kuasa hukumnya.

Berdasarkan cerita yang dihimpun hukumonline dari beberapa advokat dan aktivis, ternyata tidak mudah bagi mereka untuk memperjuangkan nasib klien yang sudah dijatuhi hukuman mati. Kadangkala, ‘keberhasilan’ yang sudah di depan mata, buyar begitu saja ketika klien menghembuskan nafas terakhir sebelum permohonan grasinya dikabulkan.  “Tantangannya sangat berat dan sulit,” begitu kata Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, di Jakarta, Rabu (17/10).

Al Araf salah satu advokat yang mendampingi terpidana mati kasus narkotika asal Pakistan, Zulfiqar Ali. Aparat menangkap Ali medio November 2004 di rumahnya yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Jaksa menuntut Ali dengan hukuman seumur hidup. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang memutus Ali bersalah melakukan tindak pidana menyerahkan narkotika golongan I jenis heroin dan menjatuhkan hukuman mati.

Peneliti Imparsial, Evitarossi S Budiawan, mengatakan sejak awal pemeriksaan di kepolisian Zulfiqar mengalami kekerasan, tidak mendapat pendamping hukum dan penerjemah yang layak. Pria kelahiran Lahore, Pakistan, itu dipaksa mengakui heroin seberat 300 gram yang disita aparat dari terpidana mati lainnya bernama Gurdip Singh ketika ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta 29 Agustus 2004 sebagai miliknya. Ali bersikukuh barang haram itu bukan miliknya.

(Baca juga: Dua Hal Ini Sulitkan Kejaksaan Eksekusi Terpidana Mati).

Kepada aparat kepolisian yang memeriksanya, Gurdiph Singh, mengklaim heroin yang dibawanya itu milik Ali. Kemudian hari ia menarik kembali pernyataannya secara resmi di hadapan majelis hakim PN Tangerang saat menjadi saksi untuk Ali. Gurdiph mengaku menyebut nama Ali karena dia tidak kenal banyak orang, dan ketika itu dirinya mengalami penyiksaan. Sayangnya, pengakuan Gurdiph yang intinya menegaskan heroin itu bukan milik Ali tidak dipertimbangkan majelis hakim.

Upaya hukum yang dilakukan Ali mulai dari banding, kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK) pertama dan kedua kandas. Ali tidak ingin mengajukan grasi karena yakin tidak bersalah. Jika mengajukan Grasi, Ali merasa dirinya berarti mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Kondisi kesehatan Ali makin buruk sejak masuk lembaga pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan.

Evitarossi menceritakan Ali sering masuk keluar Rumah Sakit (RS) di Purwokerto untuk mendapat penanganan kesehatan. Ali mengalami Hepatitis B, kemudian makin buruk menjadi Sirosis Hati. Perempuan yang disapa Eva itu menjelaskan tim kuasa hukum mengupayakan Ali untuk ditahan dan dirawat di Jakarta agar Ali lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan. Upaya itu berhasil dan Ali dirawat di RS Pengayoman di Lapas Cipinang. Saat melakukan medical check up, dokter mendiagnosa Ali mengidap kanker hati, umurnya diperkirakan hanya bertahan paling lama 6 bulan lagi.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan nyawa Ali yakni melakukan transplantasi hati. Eva mengatakan dokter yang menangani Ali merekomendasikan transplantasi hati itu dilakukan di luar negeri, Cina atau Singapura, karena peluang keberhasilannya lebih besar daripada di Indonesia. Tidak mudah bagi kuasa hukum untuk mengupayakan Ali agar dapat dibawa ke luar negeri untuk menjalani pengobatan. Ada berbagai prosedur rumit yang harus dipenuhi, salah satunya mendapat grasi.

Melalui diskusi panjang dengan kuasa hukum, akhirnya Ali mau memohon grasi kepada Presiden dengan alasan demi kemanusiaan. Eva mengatakan tim kuasa hukum bergerak cepat karena kondisi kesehatan Ali makin buruk. Selaras itu berbagai dukungan agar Ali dibebaskan dari hukuman mati mengalir dari dalam dan luar negeri.

Eva memaparkan Balitbang Kementerian Hukum dan HAM melakukan investigasi terhadap kasus Zulfikar sekitar tahun 2009. Komnas HAM periode 2012-2017 melayangkan surat rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo agar Ali mendapat grasi, surat serupa juga dilayangkan Komnas HAM periode 2017-2020. Presiden RI ketiga, B.J Habibie ikut melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo mendesak Presiden menerbitkan grasi untuk Ali. Dukungan terhadap Ali juga dilakukan masyarakat, pemerintah, dan senat Pakistan.

Al Araf sempat bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka dan menyampaikan langsung kasus Ali. Selaras itu Menteri Hukum dan HAM sudah merekomendasikan kepada Presiden untuk memberikan grasi. Sayangnya, Mahkamah Agung (MA) tak kunjung menerbitkan pertimbangan grasi kepada Presiden. Eva mengatakan Ali tak sanggup lagi menunggu lama, kesehatannya makin buruk dan menghembuskan nafas terakhir 31 Mei 2018.

(Baca juga: MA Diminta Terbitkan Pertimbangan Permohonan Grasi Zulfiqar Ali).

Al Araf mengatakan perjuangan untuk membebaskan Ali dari hukuman mati sedikit lagi sampai di ujung jalan. Tapi nasib berkata lain, belum sempat grasi itu terbit Ali sudah lebih dulu meninggal. Pria yang disapa Aal itu mengaku gembira ketika kerja keras yang dilakukan selama ini berhasil menghindari Ali dari eksekusi mati. Harapan juga muncul ketika kuasa hukum bersama elemen masyarakat sipil berhasil menggalang dukungan untuk Ali. Tapi kegembiraan itu berubah menjadi kesedihan karena grasi untuk Ali belum terbit.

“Ini yang membuat kami gembira tapi juga sedih dan frustasi karena sekian lama mengadvokasi dan sudah ada sinyal positif Presiden akan mengabulkan grasi, tapi Ali harus meninggal karena sakit,” urai Aal, panggilan Al Araf.

Menurut Aal menangani kasus terpidana mati sangat sulit dan berliku. Strategi hukum yang ditempuh tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme normatif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tekanan politik dan dukungan masyarakat sipil sangat signifikan mempengaruhi proses penanganan kasus terpidana mati.

Aal mengatakan Ali menyampaikan beberapa pesan terakhir pada saat menjelang eksekusi mati sekitar Juli 2016 dan ketika sakit sekitar Mei 2018. Ali menyampaikan bahwa kita harus tetap berjuang untuk menghapus hukuman mati di Indonesia supaya kasus serupa tidak terjadi lagi. Agar tidak ada lagi orang yang tidak bersalah tapi dijatuhi hukuman.

Sampai saat ini Imparsial masih mendesak MA untuk segera menerbitkan pertimbangan grasi kepada Presiden. Grasi itu penting bagi keluarga untuk mengajukan rehabilitasi nama baik Ali.

(Baca juga: Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati).

Pengalaman serupa dalam mendampingi terpidana mati pernah dialami Koordinator Advokasi KontraS, Putri Kanesia. Ketika mendampingi terpidana mati asal Riau, Yusman Telaumbanua, Putri harus menghadapi bermacam tantangan berat. Melalui putusan bernomor:08/Pid.B/2013/PN-GS, majelis hakim gunung Sitoli menjatuhkan vonis pidana mati terhadap Yusman karena dianggap bersalah melakukan pembunuhan berencana. Dalam putusan itu usia Yusman tertulis 19 tahun (lahir 1993).

Putri mengatakan banyak kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani Yusman. Saat menjalani proses pemeriksaan di kepolisian, sampai persidangan usia Yusman diperkirakan masih di bawah umur. Saat itu Yusman juga tidak mendapat pendamping hukum yang layak. Penasihat hukum Yusman ketika itu dalam pembelaan lisan (pledoi) yang disampaikan di pengadilan malah meminta Yusman dihukum mati. Mengingat usia Yusman masih anak, harusnya proses persidangan Yusman di dampingi Balai Pemasyarakatan (Bapas).

Putri sempat frustasi mencari cara bagaimana membuktikan bahwa Yusman masih di bawah umur. Yusman dan keluarganya tidak punya dokumen kependudukan. Salah satu bukti yang menunjukan Yusman masih berusia anak yakni buku catatan kelahiran milik sebuah Gereja di Riau. Dalam buku itu Yusman tertulis dengan nama panggilan ‘Ucok,’ lahir tahun 1996. Buku itu menurut Putri tidak cukup kuat untuk membuktikan usia Yusman, harus dicari bukti lain yang lebih valid.

Untungnya, KontraS berhasil bertemu dengan dokter forensik gigi dari Universitas Padjajaran Bandung. Putri mengatakan dokter itu mau memberikan bantuan dengan alasan demi kemanusiaan. Tapi untuk memboyong Yusman ke Bandung tidak mudah, mengingat Yusman terpidana mati, dia harus mendapat pengawalan khusus dari pihak lapas dan kepolisian. Kuasa hukum harus menempuh proses administrasi yang rumit dan berbiaya tidak murah untuk membawa Yusman ke Bandung.

(Baca juga: Harapan dari Bekas Lokasi Eksekusi Mati di Era Kolonial).

Sepekan setelah dokter forensik gigi Unpad memeriksa Yusman, Putri mengatakan hasilnya menunjukan usia Yusman saat itu (17 November 2015) yaitu 18-19 tahun. Jika dihitung mundur pada saat peristiwa pembunuhan berencana yang dituduhkan kepada Yusman di tahun 2012, usia Yusman ketika itu sekitar 15-16 tahun. “Hasil pemeriksaan ini membuktikan usia Yusman masih di bawah umur,” ujarnya.

Frustasi yang sebelumnya mendera Putri dan kuasa hukum lainnya seolah pecah setelah mendapat hasil pemeriksaan dari dokter forensik gigi itu. Mereka optimis bukti itu cukup valid untuk membuktikan usia Yusman yang masih di bawah umur. Bergegas tim kuasa hukum menjadikan hasil pemeriksaan itu sebagai novum untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tapi upaya itu tidak mudah, Putri mengatakan pihaknya menggunakan banyak cara untuk meyakinkan PN Gunung Sitoli agar menerima pendaftaran PK perkara Yusman.

Tantangan lainnya, Putri melanjutkan, kuasa hukum harus membawa Yusman ke PN Gunung Sitoli untuk menjalani sidang pemeriksaan. Untuk membawa Yusman ke PN tingkat pertama itu tidak mudah dan berbiaya mahal, untungnya Kementerian Hukum dan HAM bersedia membantu. Kemudian sekitar Januari 2017 MA menerbitkan putusan PK yang diajukan Yusman, dalam petikan putusan itu majelis menganulir hukuman mati menjadi 5 tahun penjara.

Putri menyikapi putusan itu antara gembira dan kecewa. Gembira karena Yusman berhasil lolos dari hukuman mati, dan kecewa karena majelis tidak memutus bebas padahal hukum acara yang dilalui Yusman salah, tidak sesuai amanat UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Putri melihat dalam putusan itu majelis PK menganggap Yusman tidak melaporkan peristiwa pembunuhan yang dilihatnya kepada aparat berwenang sehingga dikenakan 5 tahun penjara.

“Yusman bebas setelah menjalani 4,5 tahun masa tahanan dipotong remisi 17 Agustus. Yusman bebas 17 Agustus 2017,” urai Putri.

Menurut Putri keberhasilan kasus Yusman ini juga didukung oleh kampanye yang selama ini dilakukan elemen masyarakat sipil di tingkat nasional dan internasional. Awalnya, tidak ada media yang tertarik untuk mengangkat kasus Yusman. Setelah kampanye dilakukan secara terus-menerus akhirnya kasus Yusman menjadi sorotan publik.

Bagi Putri kasus Yusman ini dapat dijadikan pembelajaran yang baik untuk semua pihak yakni prinsip kehati-hatian harus diutamakan sebelum menjatuhkan vonis hukuman mati. Prinsip itu wajib dijalankan oleh aparat penegak hukum, termasuk pendamping hukum. Jika pendamping hukum salah mengambil strategi, dampaknya fatal yakni nyawa klien. “Dibandingkan perkara lain, menangani kasus pidana mati jauh lebih sulit. Beban berat bagi saya karena jika salah melangkah taruhannya nyawa klien, ini yang membuat frustasi,” paparnya.

Putri menjelaskan kasus Yusman bukan yang pertama diadvokasi KontraS. Advokasi pernah dilakukan KontraS bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil terhadap terpidana mati asal Brazil, Rodrigo Gularte. Rodrigo divonis mati dalam perkara narkotika. Berbagai upaya telah dilakukan tim kuasa hukum untuk membuktikan Rodrigo mengalami gangguan kejiwaan. Hal itu diperkuat hasil pemeriksaan dokter pribadi Rodrigo di Brazil.

Menurut Putri KUHP mengatur ada penghapusan pidana bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. Sayangnya majelis hakim PK tidak mengakui bukti itu dengan alasan hasil pemeriksaan itu dilakukan oleh dokter di Brazil, bukan dokter di Indonesia. PK kedua yang diajukan tim kuasa hukum juga kandas, alhasil Rodrigo dieksekusi mati pada gelombang kedua. Kegagalan itu sempat membuat Putri frustasi dan tidak percaya diri untuk menangani perkara terpidana mati lainnya.

Tapi keraguan Putri itu mulai hilang ketika dia melihat minimnya akses terhadap bantuan hukum yang layak untuk terpidana mati. Tidak banyak advokat yang mau menangani perkara hukuman mati. “Jika kami tidak mendampingi terpidana mati, kami khawatir ada orang seperti Yusman, dia tidak bersalah tapi dihukum mati kemudian tidak ada yang membantu,” ujarnya.

Sampai saat ini KontraS masih mendampingi sedikitnya 3 terpidana mati yaitu Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo. Mereka berdua dijerat hukuman mati dalam kasus pembunuhan. Kemudian kakak ipar Yusman, Rasula Hia.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti KontraS dan Imparsial mendesak pemerintah untuk melakukan moratorium dan menghapus hukuman mati. Imparsial mencatat periode 2005-2008 ada 16 eksekusi terpidana mati, tahun 2013 ada 5 orang, dan periode 2015-2016 sebanyak 18 orang. Sampai saat ini 143 negara sudah menghapus hukuman mati, dan 55 negara masih menerapkan hukuman mati termasuk Indonesia.

Tags:

Berita Terkait