Jabatan Ketua MPR Diperebutkan, Begini Pandangan Pakar
Utama

Jabatan Ketua MPR Diperebutkan, Begini Pandangan Pakar

Pimpinan MPR seharusnya tidak memiliki beban masa lalu, tidak terlibat korupsi, memiliki rekam jejak yang baik, negarawan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'Negosiasi Kursi Ketua MPR yang Merusak Sistem Presidensial' di Jakarta, Selasa (30/7). Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam diskusi bertajuk 'Negosiasi Kursi Ketua MPR yang Merusak Sistem Presidensial' di Jakarta, Selasa (30/7). Foto: AID

Pasca Pemilu 2019, posisi kursi Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menarik perhatian yang seolah diperebutkan para elit politik. Sebab, kursi Pimpinan MPR sangat diminati baik bagi koalisi maupun oposisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019-2024. Konon, katanya jabatan pimpinan MPR ini dapat membangun kekuatan politik yang lebih besar lima tahun mendatang yang berpengaruh pada Pemilu 2024. 

 

Meski pasca amandemen UUD 1945 MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, tetapi akhir-akhir ini para politisi saling bernegosiasi untuk memperebutkan jabatan tersebut. Lalu, apakah sebenarnya alasan di balik digandrunginya jabatan pimpinan/ketua MPR? 

 

Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember (PUSKaPSI) Bayu Dwi Anggono mengatakan selama ini umumnya yang menduduki pimpinan MPR ialah elit politik terpilih. Sebelum perubahan UUD 1945, MPR memiliki kewenangan luar biasa dan memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.

 

“Saat ini pun kewenangan MPR tetap memiliki kewenangan luar biasa,” kata Bayu dalam sebuah diskusi media bertajuk “Negosiasi Kursi Ketua MPR yang Merusak Sistem Presidensial” di Warung Upnormal Raden Saleh, Jakarta, Selasa (30/7/2019). Baca Juga: Menyisipkan Empat Pilar dalam Pertunjukan Wayang

 

Ia mencontohkan salah satu kewenangan MPR melantik dan memberhentikan presiden dan wakil presiden melalui usulan DPR dan putusan MK. “Tetapi, keputusan MPR dalam memberhentikan presiden dan wakil presiden dapat berbeda dengan MK, yang akhirnya pemberhentian presiden dan wakil presiden diputuskan oleh MPR. Sehingga, MPR memiliki kekuasaan yang luar biasa besar,” kata Bayu.

 

Menurutnya, sesuai Pasal 5 UU No. 17 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), MPR memiliki kewenangan strategis. Seperti, memasyarakatkan Ketetapan MPR; memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945 dan pelaksanaanya, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika; mengkaji sistem ketatanegaraan; dan menyerap aspirasi masyarakat berkaitan pelaksanaan UUD 1945.

 

“Tentu ini membuat elit politik bersaing, yang ujung-ujungnya agar kepentingannya diadopsi oleh MPR,” kata dia.

 

Tak hanya itu, Bayu menilai posisi ketua MPR menjadi rebutan politisi disebabkan oleh posisi strategis MPR yang lebih dekat dengan presiden. Sebab, banyak agenda presiden yang berhubungan langsung dengan MPR, ketimbang menteri. “MPR lebih sering berinteraksi dengan presiden, makanya banyak yang ingin menduduki posisi ketua MPR,” tutur dia.

 

Apalagi, Bayu menilai agenda MPR mendatang ialah melakukan perubahan (amandemen V) UUD 1945, dimana MPR dapat menambah, menghilangkan, atau mengurangi kewenangan lembaga negara, seperti KY, MK, MA. Bahkan, lembaga negara yang selama ini kewenangannya belum masuk dalam UUD 1945 dapat dimasukkan. “Semua hal itu menjadi kekuatan politik dan dapat menjadi citra yang bagus bagi electoral Pemilu 2024. Jadi bisa dipahami, perubahan UUD 1945 ke depan adalah MPR, bukan presiden, sehingga posisi ketua MPR sangat diminati dan strategis,” tegasnya.

 

Politik transaksional

Koordinator Korupsi Politik ICW Donal Fariz pun mengamini semua pandangan Bayu. Ia menilai baik partai koalisi maupun oposisi tertarik menjadi Ketua MPR, seolah-olah menjadi anak tangga untuk menduduki R1 di Tahun 2024. “Ini bukan tidak mungkin menjadi politik transaksional,” kata Donal.

 

Bagi Donal, politik transaksi tidak hanya terjadi pada level birokrasi ke bawah, tetapi juga birokrasi menengah keatas. Semakin tinggi kedudukan birokrasinya, maka semakin tinggi transaksionalnya. “Terlebih, anggaran MPR yang besar menggiurkan bagi politisi untuk mendudukinya. Jadi, KPK perlu monitoring transaksi politik pemilihan pimpinan MPR ini karena dapat menimbulkan transaksional jual beli jabatan,” kata Donal.

 

Direktur Pusat Kajian Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan politik transaksional harus dihindari seminimal mungkin. Feri berpendapat adanya dua koalisi besar di pemerintahan saat ini perlu dipertahankan guna berjalannya fungsi check and balance.

 

Bayu menyarankan agar pimpinan MPR tidak boleh diisi politisi yang mempunyai kepentingan pertarungan dalam Pemilu 2024, tetapi harus figur yang dapat berpikir untuk kepentingan bersama membangun negara dan menjaga keutuhan negara. “Jadi, pimpinan MPR harus diisi oleh figur politisi negarawan untuk mengemban kewenangan besar, bukan politisi yang mempunyai proyeksi bertanding di Pemilu 2024,” lanjutnya.  

 

“Jika MPR tidak dipimpin politisi negarawan, akan menjadi kendaraan politik pimpinan MPR dan kehilangan ‘roh’ sebagai pemersatu segala aliran politik yang berbeda,” kata dia.

 

Menurut Bayu, semua partai politik mempunyai kesempatan yang sama menjadi ketua MPR karena aturannya dinamis. Namun, Bayu menyarankan agar ketua MPR diduduki oleh suara partai terbanyak pada hasil Pemilu 2019. “Jika ketua MPR tidak dapat dukungan mayoritas secara permanen, akan sulit menjalankan roda parlemen. Jadi, ketua MPR tetap perlu dukungan partai mayoritas untuk menjalankan roda parlemen,” tegasnya.

 

Donal pun menilai sosok ketua MPR haruslah orang yang tidak mempunyai beban masa lalu, seperti korupsi dan tindak pidana lain. “Kita berharap partai politik tidak menyodorkan nama-nama calon yang pernah bersinggungan (terlibat) kasus hukum. Jadi, penting track record-nya. Sebab, ini pemimpin lembaga negara, fungsinya sangat strategis. Kita berharap partai politik tidak usulkan nama yang pernah terlibat kasus korupsi,” harapnya.

 

Dosen STIH Jentera Bivitri Susanti mengingatkan pemilihan ketua MPR, tidak boleh dibagi-bagi dengan cara karena presiden sudah dari kelompok A, maka otomatis ketua MPR dari kelompok B. “Aturan mainnya bukan begitu, sistem presidential tidak mengenal bahwa oposisilah yang menduduki jabatan ketua MPR, tidak perlu ada pengkotak-kotakan seperti itu,” kata Bivitri.

Tags:

Berita Terkait