Jabatan Fungsional TNI Bukan untuk Kementerian-Lembaga
Berita

Jabatan Fungsional TNI Bukan untuk Kementerian-Lembaga

Karena penempatan perwira aktif TNI di kementerian/lembaga diatur terpisah melalui Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang terbatas hanya 10 kementerian/lembaga. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menganggap lahirnya Perpres Nomor 37 Tahun 2019 untuk mengatasi penumpukan perwira TNI.

Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Syafruddin menegaskan pengaturan jabatan fungsional TNI dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan ditempatkan di kementerian atau lembaga, melainkan ditempatkan di internal TNI dan tidak menduduki jabatan struktural.

 

"Tidak ada pemikiran, wacana untuk menggeser TNI/Polri masuk ke ranah seperti dulu, itu sudah lewat dan tidak dibutuhkan. Tidak ada wacana itu," kata Syafruddin di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/7/2019) seperti dikutip Antara.

 

Mantan Wakil Kepala Polri itu melanjutkan jabatan fungsional TNI tersebut dibutuhkan sesuai keahlian, seperti tim analisis dan tenaga ahli sesuai dengan latar belakang keilmuan/keahlian yang dimiliki. "Karena memang yang namanya dinamika, perkembangan situasi, kebutuhan, tantangan global, perlu tenaga ahli, tenaga teknis di bidang yang lebih spesifik," ujarnya.

 

Syafruddin mengharapkan masyarakat tidak salah memahami isi Perpres Nomor 37 Tahun 2019 yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo itu. Dia menerangkan penempatan perwira aktif TNI di kementerian/lembaga diatur terpisah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Baca Juga: Perpres Jabatan Fungsional TNI Terbit, Begini Isinya

 

Misalnya, Pasal 47 ayat (2) UU TNI disebutkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara; pertahanan negara; sekretaris militer presiden; intelijen negara (BIN); sandi negara (LSN).  Selain itu, lembaga pertahanan nasional (Lemhamnas); dewan ketahanan nasional; search and rescue (SAR) nasional; narkotika nasional (BNN), dan mahkamah agung (MA).

 

Penempatan itu pun berdasarkan permintaan pimpinan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintahan nondepartemen (kementerian) serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen tersebut.

 

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menerangkan jabatan fungsional TNI diisi oleh perwira yang memiliki keahlian dan keterampilan untuk mengakselerasi unit kerja/organisasi sesuai Perpres Nomor 37 Tahun 2019. "Kalau di fungsional siapa saja bisa disitu karena yang diperlukan adalah keahliannya, fungsinya menduduki jabatan itu memberi akselerasi terhadap organisasi atau tidak," ujarnya di Jakarta.

 

Menurut dia, jabatan fungsional itu dibutuhkan karena unit kerja tertentu mengalami "miskin" secara struktur SDM, namun memerlukan banyak tenaga fungsional. Ia memberi contoh lembaga pendidikan secara struktur hanya memiliki seorang komandan dan wakil komandan dengan pangkat bintang dua atau mayor jenderal dan brigadir jenderal (brigjen).

 

"Tapi bisa saja secara fungsional, orang yang ahli di bidang mata pelajaran tertentu bisa saja di sana ditempatkan tapi posisinya fungsional," ujarnya.

 

Berbasis kebutuhan dan kompetensi 

Terpisah, Imparsial bersama Koalisi Masyarakat Sipil mengusulkan solusi jangka panjang untuk mengatasi penumpukan perwira tinggi di TNI setelah terbitnya Perpres Nomor 37 Tahun 2019 ini. "Kami mendorong pemerintah memikirkan penataan sistem promosi yang berbasis pada kebutuhan dan kompetensi," kata Direktur Imparsial Al Araf di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

 

Ia menyebutkan perekrutan anggota TNI harus disesuaikan dengan anggota yang akan pensiun. Solusi jangka panjang lain, lanjut dia, mulai dari program zero growth dalam perekrutan, pengetatan seleksi sekolah, atau pendidikan lanjutan perwira tinggi di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI yang harus proporsional dengan jabatan yang ada. Selain itu, ada sistem yang mengutamakan jasa dalam promosi karier dan jabatan.

 

Usulan ini lantaran Imparsial bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menganggap lahirnya Perpres Nomor 37 Tahun 2019 bisa menjadi salah satu solusi jangka pendek dalam mengatasi penumpukan perwira TNI. Namun, lanjut dia, perlu strategi mencegah terjadinya penumpukan jumlah perwira tinggi nonjob pada masa mendatang.

 

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhamad Isnur mengutip data dari Asisten Personalia Mabes TNI menyebutkan per Desember 2018 terjadi kelebihan perwira TNI. Ia menyebutkan kelebihan perwira tinggi level bintang satu hingga tiga mencapai 156 orang dan 1.069 level kolonel.

 

Untuk perwira yang berada di luar struktur atau yang berada di kementerian dan lembaga, lanjut dia, mencapai 265 perwira tinggi dan 697 kolonel. “Untuk level prada hingga letkol terjadi kekurangan mencapai 126.897 orang atau baru terisi 76,92 persen,” kata Isnur.

 

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perpres Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI. Perpres ini merupakan ketentuan pelaksana dari Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit TNI.

 

Dikutip dari laman resmi Setkab, Perpres ini menyebutkan pejabat fungsional TNI berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja/organisasi yang bersangkutan ditugaskan. Pejabat fungsional TNI sebagaimana dimaksud mempunyai pangkat paling tinggi sama dengan pangkat kepala unit kerja/organisasi.

 

Terdapat dua jabatan fungsional TNI yakni jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Jenjang jabatan fungsional keahlian terdiri atas ahli utama, ahli madya, ahli muda dan ahli pertama. Sementara jenjang jabatan fungsional keterampilan terdiri atas penyelia, mahir, terampil dan pemula. Seluruh tugas, pokok dan fungsi masing-masing jabatan itu dijelaskan dalam Perpres tersebut.

 

Misalnya, ahli utama adalah jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis global, strategis regional, dan/atau strategis nasional yang mensyaratkan kualifikasi profesionalisme tingkat tinggi. Prajurit TNI yang menduduki jabatan ahli utama berpangkat paling rendah Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/Marsekal Pertama TNI dan berpangkat paling tinggi Mayor Jenderal/Laksamana Muda/Marsekal Muda TNI.

 

Sedangkan ahli madya adalah jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat strategis sektoral yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi. “Prajurit TNI yang menduduki jabatan ahli madya berpangkat paling rendah Letnan Kolonel dan berpangkat paling tinggi Kolonel,” demikian bunyi kutipan Pasal 8 ayat (2) Perpres ini.

 

Adapun ahli muda merupakan jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat taktis operasional yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat lanjutan. Prajurit TNI yang menduduki jabatan ahli muda berpangkat paling rendah Mayor dan berpangkat paling tinggi Letnan Kolonel.

 

Untuk ahli pertama merupakan jenjang jabatan fungsional keahlian yang tugas dan fungsi utamanya bersifat teknis operasional yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat dasar. Prajurit TNI yang menduduki jabatan ahli pertama berpangkat paling rendah Kapten dan berpangkat paling tinggi Mayor. Dan seterusnya.

Tags:

Berita Terkait