Izin Edar Albothyl Dibekukan, Ini Sanksi Bagi yang Masih Nekat Mengedarkan
Berita

Izin Edar Albothyl Dibekukan, Ini Sanksi Bagi yang Masih Nekat Mengedarkan

Berdasarkan kajian, aspek keamanan obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat dan diputuskan tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, THT, sariawan dan gigi.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membekukan izin edar obat yang biasa digunakan sebagai antiseptik serta untuk sariawan, Albothyl. BPOM membekukan izin edar Albothyl dalam bentuk cairan obat luar konsentrat hingga perbaikan indikasi yang diajukan disetujui. Demikian siaran pers di laman resmi BPOM, Kamis (15/2).

 

Sementara untuk produk sejenis akan diberlakukan hal yang sama. Diketahui, Albothyl merupakan obat bebas terbatas berupa cairan obat luar yang mengandung policresulen konsentrat dan digunakan untuk hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan, serta penggunaan pada kulit, telinga, hidung, tenggorokan (THT), sariawan, gigi dan vaginal (ginekologi).

 

Terkait pemantauan Albothyl dalam dua tahun terakhir, BPOM menerima 38 laporan dari profesional kesehatan yang menerima pasien dengan keluhan efek samping obat Albothyl untuk pengobatan sariawan. Di antara efek samping serius yaitu sariawan yang membesar dan berlubang hingga menyebabkan infeksi.

 

Dalam siaran pers tersebut dinyatakan bahwa BPOM, ahli farmakologi dari universitas dan klinisi dari asosiasi profesi terkait telah melakukan pengkajian aspek keamanan obat yang mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat dan diputuskan tidak boleh digunakan sebagai hemostatik dan antiseptik pada saat pembedahan serta penggunaan pada kulit, THT, sariawan dan gigi.

 

“BPOM mengimbau profesional kesehatan dan masyarakat menghentikan penggunaan obat tersebut,” tulis siaran pers tersebut.

 

Untuk diketahui, segala jenis obat yang beredar di masyarakat telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. (Baca Juga: Ini Dia Inpres Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan)

 

Pasal 106:

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Dalam UU tentang Kesehatan, pemerintah juga mewanti-wanti dan mencantumkan sanksi bagi yang memproduksi, menjual atau pengedar obat yang memasarkan obat tanpa izin edar.

Pasal 196

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197

Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

 

Dalam siaran persnya tersebut, BPOM juga mengimbau bagi profesional kesehatan yang menerima keluhan dari masyarakat terkait efek samping penggunaan obat dengan kandungan policresulen atau penggunaan obat lainnya, dapat melaporkan kepada BPOM melalui website www.e-meso.pom.go.id.

 

(Baca Juga: YLKI: Perilaku Masyarakat Picu Peredaran Obat Ilegal)

 

Untuk masyarakat yang terbiasa menggunakan Albothyl guna mengatasi sariawan dapat menggunakan obat pilihan lain yang mengandung benzydamine HCl, povidone iodine satu persen atau kombinasi dequalinium chloride dan vitamin C.

 

Bila sakit berlanjut, masyarakat agar berkonsultasi dengan dokter atau apoteker di sarana pelayanan kesehatan terdekat. BPOM menyatakan secara rutin melakukan pengawasan keamanan obat beredar di Indonesia melalui sistem farmakovigilans untuk memastikan obat beredar tetap memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu.

 

Kepada PT Pharos Indonesia selaku produsen Albothyl dan industri farmasi lain yang memegang izin edar obat mengandung policresulen dalam bentuk sediaan cairan obat luar konsentrat, BPOM menginstruksikan untuk menarik obat dari peredaran selambat-lambatnya satu bulan sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Pembekuan Izin Edar.

 

Menanggapi keputusan BPOM, PT Pharos Indonesia selaku pemegang izin edar Albothyl akan mengikuti instruksi dari BPOM untuk segera menarik produk Albothyl dari seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dilakukan dengan berkoordinasi bersama BPOM. “Kami menghormati keputusan BPOM yang membekukan izin edar Albothyl hingga ada persetujuan perbaikan indikasi,” kata Direktur Komunikasi PT Pharos Indonesia, Ida Nurtika.

Kecolongan

Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai Badan Pengawas Obat dan Makanan kecolongan dalam kasus Albothyl yang telah dibekukan izin edarnya. "Semua jenis dan merek obat harus didaftarkan terlebih dahulu ke BPOM sebelum diproduksi dan diedarkan. Proses itu melalui berbagai uji yang dilakukan BPOM," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

 

Dengan berbagai proses uji yang dilakukan BPOM, Tulus menilai seharusnya kejadian tersebut tidak terjadi. Kejadian itu, katanya, menunjukkan bahwa BPOM belum melakukan pengawasan secara ketat terhadap obat dan makanan.

 

"Berbeda dalam masalah kehalalan suatu obat atau makanan yang bisa saja disalahgunakan setelah didaftarkan ke BPOM," tuturnya.

 

Selain menyoroti pengawasan BPOM, Tulus juga menilai bisa jadi permasalahan yang dialami PT Pharos Indonesia, pembuat Albothyl, ada unsur persaingan usaha yang tidak sehat. Oleh karena itu, BPOM juga harus memeriksa kembali merek obat dari pembuat lainnya serta melakukan pengawasan pascaedar secara lebih ketat dan serius.

 

"Jangan sampai BPOM terjebak irama gendang produsen untuk persaingan usaha yang tidak sehat," ujarnya. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait