Wrongful Conviction, Masalah dalam Penegakan Hukum Pidana
Berita

Wrongful Conviction, Masalah dalam Penegakan Hukum Pidana

Korban salah hukum dapat mengajukan kompensasi ke pengadilan. Bentuknya: gugatan atau permohonan?

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Kompensasi

Orang-orang yang sudah terlanjur dihukum dan menjalani pidana penjara padahal bukan pelaku kejahatan seyogianya diberikan hak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti kerugian. Akbar menjelaskan, Indonesia mengenal mekanisme ganti kerugian dalam KUHAP. Pasal 95 KUHAP menyebutkan tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang sah atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. “Kalau ada kekeliruan dalam upaya paksa, penghentian penyidikan, hingga kesalahan penghukuman, yang bersangkutan bisa mengakses ganti kerugian,” jelas Akbar kepada hukumonline.

Peraturan Pemerintah (PP) No.  27 Tahun 1983 (tentang pelaksanaan KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman No. 983 Tahun 1983 juga mengatur sedikit tentang hal ini. Intinya orang bersangkutan harus mengajukan permohonan ke pengadilan dan nanti bisa dikeluarkan penetapan oleh ketua pengadilan untuk diteruskan ke Kementerian Kehakiman (kini Menteri Hukum dan HAM), dan Kementerian Keuangan. Cuma, kata Akbar, ada persoalan yang muncul setelah PP No. 92 Tahun 2015 terbit sebagai pengganti PP No. 27 Tahun 1983.

PP No. 92 Tahun 2015 seolah mengubah norma dalam Pasal 96 KUHAP dengan mengatur bahwa pemberian ganti kerugian dapat dilakukan via putusan atau penetapan. Dalam KUHAP hanya diputus melalui penetapan, sekarang dibuka kemungkinan untuk putusan. Akibatnýa, acaranya menjadi kabur apakah harus melakukan gugatan atau permohonan.

Lempar-lemparan antar institusi terjadi karena mekanisme yang banyak dipilih adalah via gugatan perdata sehingga isu yang muncul antara lain tidak ada anggaran yang direncanakan dalam DIPA POLRI/Kejaksaan untuk ganti kerugian, termasuk Kemenkeu yang menjadi turut tergugat. Kasus ini muncul dalam gugatan ganti kerugian oleh orang tua korban penganiayaan terhadap kepolisian. Meskipun gugatan korban menang di tingkat kasasi, Polri melempar tanggung jawab terhadap Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara.

Lebih lanjut Akbar menjelaskan bahwa KUHAP juga sebenarnya agak rancu ketika Pasal 95 ayat (5) menyatakan pemeriksaan terhadap ganti kerugian menggunakan acara praperadilan. Akibatnya, permohonan menjadi tidak populer dan banyak menggunakan pengajuan gugatan perdata yang akhirnya justru mempersulit akses ganti kerugian tersebut. Prosesnya menjadi sangat lama.

(Baca juga: Euthanasia dan Ancaman Pasal 344 KUHP).

Agar wrongful conviction tidak berulang, Akbar mengusulkan adanya mekanisme akuntabilitas dalam setiap pengambilan keputusan, khususnya yang bersifat pro-justitia. Akuntabuilitas harus ditingkatkan secara signifikan. “Perlu didorong kontrol yang bersifat pre-factum (sebelum pengambilan keputusan pro-justitia) sehingga ada pertanggungjawaban penyidik dan penuntut umum dalam setiap tingkat perkara. Ini harus diletakkan ke pengadilan agar objektif,” jelasnya.

Selanjutnya, equality of arms dalam sistem peradilan pidana harus diwujudkan. Artinya, memberikan akses yang sama besarnya kepada terdakwa atau penasehat hukum terhadap proses acara pidana dan akses terhadap barang dan alat bukti. Khusus mengenai bukti, harus dibuat ketentuan yang mewajibkan penyidik dan penuntut umum melaporkannya kepada hakim sebagai bagian dari pertimbangan untuk melanjutkan perkara. Jika penyidik dan penuntut umum memiliki alat dan barang bukti, terdakwa dan penasihat hukumnya harus juga diberikan akses yang sama besarnya terhadap hal tersebut.

Selain itu, saran Akbar, pemberian bantuan hukum yang optimal harus dilakukan sesegera mungkin. Di dalamnya termasuk peningkatan kapasitas penasehat hukum, memastikan adanya keterwakilan penasehat hukum pada tahap awal sistem peradilan pidana, dan meningkatkan lagi upaya pro bono dari advokat.

Tags:

Berita Terkait