Iuran OJK Diharapkan Tak Picu Conflict of Interest
Berita

Iuran OJK Diharapkan Tak Picu Conflict of Interest

Jika memungut iuran OJK harus berdiri di atas segala-galanya, bukan berdiri di atas pihak tertentu.

FAT
Bacaan 2 Menit
Iuran OJK Diharapkan Tak Picu Conflict of Interest
Hukumonline

Kebijakan pungutan iuran yang dibebankan kepada lembaga jasa keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih digodok dalam sebuah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Terkait pungutan ini, terdapat harapan dari sejumlah pihak kepada OJK selaku otoritas pengawas dan regulator.

Salah satunya datang dari Ketua Umum Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri. Ia mengatakan, meski OJK memungut iuran dari lembaga jasa keuangan, independensi otoritas harus tetap dijaga. Terlebih jangan sampai terjadi conflict of interest (konflik kepentingan) antara OJK dengan lembaga jasa keuangan yang diawasi.

“Kalau dipungut iuran, OJK harus berdiri di atas segala-galanya. Akan melukai rasa keadilan jika memungut tapi OJK berdiri di atas pihak lain (tertentu, red),” ujar Indra dalam sebuah seminar di Jakarta, Kamis (30/5).

Menurutnya, hal ini menjadi tantangan OJK selaku regulator dan pengawas. Indra yakin konflik kepentingan baik dalam wujud kebijakan dapat terjadi. Ia berharap prinsip kehati-hatian akan terjadinya konflik kepentingan menjadi pegangan OJK pada tiap menjalankan tugas dan fungsinya.

Sejalan dengan itu, lanjut Indra, OJK harus memberikan sanksi tanpa tebang pilih. Menurutnya, penegakan hukum terhadap lembaga jasa keuangan yang melanggar aturan dapat dilakukan otoritas tersebut. "Jadi konsepnya tidak bisa dikaitkan seolah-olah kalau dipungut, penegakan hukum tidak berjalan. Diharapkan independensi ini ada kualitas penegakan hukum dan kepastian hukum,” katanya.

Hal senada juga diutarakan Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Widjaja. Menurutnya, persoalan conflict of interest ini merupakan topik yang mendasar. Integritas baik dari regulator maupun pelaku industri sangat penting dalam hal ini. Biasanya, jika menyangkut kepentingan, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung kompromistis dan membiarakan terjadinya masalah.

“Integritas itu topik yang tinggi mungkin check and balance, whistle blower ketika benturan kepentingan ini dilanggar. Jika menyangkut kepentingan diri kita cenderung kompromis, membiarkan. Kuncinya introspeksi diri saja,” tutur Lily.

Anggota Dewan Komisioner OJK Nurhaida menegaskan meski memungut iuran dari, OJK akan mengedepankan independensi. Bahkan, jika terjadi pelanggaran penegakan hukum kepada lembaga jasa keuangan tak akan tembang pilih.

“Tetap kita kenakan sanksi. Karena penegakan hukum kita kaitkan dengan pasal-pasal ketentuan sanksi,” katanya.

Ia mengatakan, pengawasan lembaga jasa keuangan yang terintegrasi diharapkan dapat membuat pasar keuangan Indonesia menjadi lebih baik. Sehingga, bisnis yang dilakukan pelaku industri juga menjadi lebih baik.

“Kondisi nanti setelah adanya iuran, kita harapkan ke depan, pendapatan akan jadi meningkat. Itu yang diharapkan,” ujar Nurhaida.

Anggota Komisi XI DPR Nusron Wahid mengatakan, meski pungutan iuran diterapkan OJK, otoritas tersebut harus tetap independen. Menurut Nusron, yang merupakan mantan Ketua Panja UU OJK itu, berkaca dari pengalaman Korea dan Jepang, pungutan iuran tak mengganggu independensi regulator lembaga jasa keuangan di kedua negara tersebut.

“Korea dan Jepang juga iuran, tapi tidak mengganggu indepedensi yang ada. Perdebatan tentang iuran itu sebetulnya sudah selesai. Jadi tinggal bagaimana cari formula supaya iurannya enggak berat dan enggak besar,” ujar politisi dari Partai Golkar ini.

Atas dasar itu, Nusron menyarankan agar pungutan iuran oleh OJK tak berbasis aset, melainkan berbasis pada transaksi karena terdapat pelaku industri jasa keuangan yang memperoleh pendapatan jauh lebih kecil ketimbang industri yang lain.

“Bisa lebih fair. Kalau iuran berbasis aset, transaksinya sedang sepi lama-lama (aset, red) pokoknya akan habis untuk iuran,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait