Iuran BPJS Kesehatan Tidak Pantas Naik?
Utama

Iuran BPJS Kesehatan Tidak Pantas Naik?

Masyarakat menjadi pihak yang harus menanggung kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Foto: MJR
Acara diskusi rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Foto: MJR

Tarif iuran Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (JKN-BPJS) Kesehatan akan meningkat dibandingkan sebelumnya per Januari 2020. Kenaikan ini menimbulkan berbagai penolakan karena dianggap memberatkan masyarakat sebagai peserta yang harus membayar lebih besar iuran tersebut.

 

Ketentuan tarif BPJS tersebut diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Nantinya, perlu Perpres baru untuk menyesuaikan kenaikan tarif untuk seluruh kategori peserta BPJS Kesehatan.

 

Perlu diketahui terdapat berbagai kategori peserta BPJS Kesehatan, antara lain Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang biayanya ditanggung pemerintah sepenuhnya. Kategori Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P) yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN)/TNI/Polri. Kategori Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU) yang umumnya karyawan swasta, dan kategori Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang biayanya dibayar secara mandiri.

 

Kenaikan tarif yang telah disepakati pemerintah:

  1. PBI kenaikan dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa.
  2. ASN/TNI/Polri mengalami penyesuaian dari semula iuran 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga dengan tanggungan pemerintah 3 persen dan 2 persen ditanggung ASN/TNI/Polri menjadi 5 persen dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi dan tunjangan penghasilan bagi PNS daerah dengan batasan gaji maksimal Rp 12 juta. Sebanyak 4 persen ditanggung pemerintah dan 1 persen ditanggung ASN/TNI/Polri.
  3. PPU-BU mengalami penyesuaian semula 5 persen dari total upah dengan batas atas Rp 8 juta dengan tanggungan pemberi kerja sebesar 4 persen dan 1 persen ditanggung pekerja. Berubah menjadi 5 persen dari total upah dengan batas atas Rp 12 juta dengan tanggungan 4 persen oleh pemberi kerja dan 1 persen ditanggung pekerja.
  4. PBPU mengalami kenaikan pada kelas 3 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa. Kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa. Dan, kelas 1 naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160.000 per jiwa.

 

Keberatan kenaikan tarif iuran ini disampaikan Ombudsman RI selaku lembaga pengawas publik pemerintah. Anggota Ombudsman RI Dadan Suparjo Suharmawijaya mengatakan, terdapat berbagai aspek yang harus diperbaiki dari program JKN BPJS ini. Menurutnya, kenaikan tarif tersebut memberatkan masyarakat selaku peserta BPJS. Terlebih lagi, dia menyoroti masyarakat yang membayar iuran tersebut secara mandiri atau PBPU sebagai kenaikannya sangat signifikan.

 

“Kalau yang bayar secara mandiri dan PBI ini harus dilakukan secara gradual. Sebab terdapat berbagai persoalan-persoalan lain yang membuat BPJS Kesehatan terus defisit,” jelas Dadan saat dijumpai di Jakarta, Kamis (13/9).

 

Dia mengatakan pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan kenaikan tarif iuran tersebut dapat menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan yang selama ini terjadi setiap tahunnya. Kemudian, kenaikan iuran ini juga seharusnya meningkatkan pelayanan tersebut sehingga masyarakat tidak semakin kecewa dengan kenaikan ini.

 

“Lalu apakah rencana pemerintah ini menyelesaikan defisit BPJS Kesehatan sekaligus menjadikan layanan kesehatan menjadi lebih baik? Tentunya dengan rencana menaikkan iuran peserta ini tidak jadi beban bagi masyarakat dan tidak memberatkan,” tambahnya.

 

(Baca: Ini Usulan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

 

Persoalan birokrasi atau pola pelayanan BPJS Kesehatan juga dianggap cenderung menyulitkan masyarakat. Sehingga, masyarakat harus berkali-kali mendatangi layanan kesehatan seperti klinik atau rumah sakit untuk mendapatkan tindakan medis serupa. Hal ini dianggap Ombudsman merupakan salah satu penyebab membengkaknya tagihan BPJS Kesehatan.

 

Tidak hanya itu, Ombudsman juga mendapati perilaku fraud atau kecurangan pada BPJS Kesehatan yang semakin memperparah defisit BPJS Kesehatan. Kemudian, penagihan yang dinilai tidak beretika juga dilakukan oknum BPJS Kesehatan kepada masyarakat.

 

“Ada yang dilupakan terkait kemampuan warga negara terkait dengan kemampuan membayar. Ada temuan di Depok, mereka (BPJS Kesehatan) door to door memanfaatkan Ketua RT RW menagih iuran BPJS Kesehatan. Lalu, di Tasikmalaya, ada orang Janda beranak satu dipaksa pinjam ke Koperasi untuk bayar BPJS Kesehatan. Akhirnya, ibu itu harus bayar BPJS juga bayar ke koperasi juga,” jelas Dadan.

 

(Baca: Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan Diharap Jadi Skenario Terakhir)

 

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin), dr Yul Rizal menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini akan memberatkan masyarakat. Dia mengkhawatirkan kenaikan ini menyebabkan masyarakat semakin enggan menjadi peserta BPJS Kesehatan.

 

“Akan banyak orang enggak mau bayar karena tadinya dia sanggup sekarang menjadi tidak,” pungkas Rizal.

 

Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini datang dari Dewan Jaminan Sosial Nasional. Anggota DJSN, Angger P Yuwono menilai sudah selayaknya setiap dua tahun sekali iuran BPJS Kesehatan mengalami penyesuaian. Hal ini mempertimbangkan semakin meningkatnya biaya medis.

 

Selain itu, dia juga menyoroti kecenderungan masyarakat yang hanya membayar BPJS Kesehatan saat ingin berobat. Kemudian, ketika penyakitnya sudah sembuh peserta tersebut tidak membayar secara rutin kembali. Hal ini dianggap menjadi salah satu penyebab utama terjadinya defisit BPJS Kesehatan.

 

(Baca: Anomali Kenaikan Tunjangan Direksi BPJS Kesehatan)

 

Atas kondisi tersebut, pihaknya berharap kenaikan iuran ini dapat diterapkan untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan. Dia memperkirakan apabila tanpa kenaikan maka defisit BPJS Kesehatan terakumulasi menjadi Rp 133 triliun sampai selama 2019-2021. “Kenapa iuran naik sebesar itu untuk keberlanjutan BPJS Kesehatan. Selain itu iuran juga sudah tidak naik selama 4 tahun dan pemerintah sudah berkontribusi 61 persen pembiayaan,” jelas Angger.

 

Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (Kepala Biro KLI) Kementerian Keuangan, Nufransa menegaskan dalam menaikkan iuran ini, pemerintah mempertimbangkan 3 hal utama yaitu kemampuan peserta dalam membayar iuran (ability to pay), upaya memperbaiki keseluruhan sistem JKN sehingga terjadi efisiensi, serta gotong royong dengan peserta pada segmen lain.

 

“Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan,” jelas Nufransa.

 

Untuk itu, lanjut Nufransa, jika ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula Kelas 1 menjadi Kelas 2 atau Kelas 3; atau dari Kelas 2 turun ke Kelas 3.

 

Namun Nufransa memastikan, kenaikan iuran BPJS ini akan diiringi dengan perbaikan sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, serta strategic purchasing.

 

Nufransa juga menyampaikan, bahwa rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), (Kemenkes), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden (Perpres).

 

Nufransa juga mengklarifikasi alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS. Ia menyebutkan, di antara penyebab utama defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.

 

Menurut Nufransa, banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal, dan setelah sembuh, peserta berhenti membayar iuran atau tidak disiplin membayar iuran.

 

Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan peserta mandiri hanya 53,7 persen. Artinya, 46,3 persen dari peserta mandiri tidak disiplin membayar iuran alias menunggak. Sejak 2016 – 2018, besar tunggakan peserta mandiri ini mencapai sekitar Rp15 triliun.

 

“Pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional dan usulan untuk mendisiplinkan peserta yang menunggak iurannya, khususnya peserta mandiri,” jelas Nufransa.

 

Sepanjang 2018, total iuran dari peserta mandiri adalah Rp8,9 triliun, namun total klaimnya mencapai Rp27,9 triliun. Dengan kata lain, claim rasio dari peserta mandiri ini mencapai 313 persen. Dengan demikian, seharusnya kenaikan iuran peserta mandiri lebih dari 300 persen.

 

Tags:

Berita Terkait