IUP yang Tak Penuhi Syarat Permen ESDM 48/2017 Bakal Dibekukan
Berita

IUP yang Tak Penuhi Syarat Permen ESDM 48/2017 Bakal Dibekukan

Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut dilakukan bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) pada Kementerian Hukum dan HAM.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Diskusi ICW dengan tema “Perbaikan Pengelolaan Batubara di Indonesia: Mencegah Kerugian Negara dari Sektor Batubara”. Foto: NNP
Diskusi ICW dengan tema “Perbaikan Pengelolaan Batubara di Indonesia: Mencegah Kerugian Negara dari Sektor Batubara”. Foto: NNP

Pemerintah sangat serius memperbaiki tata kelola industri mineral dan batu bara (minerba). Sejumlah upaya dilakukan untuk membuat industri lebih transparan, salah satunya persyaratan pengungkapan informasi penerima manfaat yang sebenarnya (Beneficial Owner) bagi perusahaan tambang yang meminta perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP).

 

Tenaga Ahli Madya Kedeputian Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekologi Strategis pada Kantor Staf Presiden (KSP), Abraham Wirotomo, mengatakan bahwa permohonan perpanjangan IUP akan diperketat dan ditambah dengan syarat tambahan berupa penyampaian pihak penerima manfaat dari entitas usaha bersangkutan. Hal tersebut menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Enegeri dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 48 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pengusahaan Sektor ESDM.

 

“Dengan kerjasama Kementerian Hukum dan HAM, IUP yang masih bermasalah, belum clean and clear bisa di-freeze sama pemerintah izinnya,” kata Bram –sapaan akrabnya- usai diskusi “Perbaikan Pengelolaan Batubara di Indonesia: Mencegah Kerugian Negara dari Sektor Batubara” yang digelar di Jakarta, Senin (20/11).

 

Data Kementerian ESDM per Januari 2017, tercatat 9.443 IUP di seluruh Indonesia. Sebanyak 6.240 IUP telah melakukan perbaikan dan 3.203 masih bermasalah atau berstatus non CnC. Dengan kata lain, ribuan IUP yang berstatus non CnC berpotensi akan dibekukan sepanjang tidak memenuhi syarat yang diatur Permen ESDM Nomor 48 Tahun 2017 terutama terkait dengan informasi Beneficial Owner serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) badan usaha.

 

Apalagi beberapa waktu belakangan ditemukan banyaknya pelaku usaha asal Indonesia yang memiliki perusahaan cangkang (shell company) dalam laporan investigasi jurnalis internasional bertajuk Offshore Leaks, Panama Papers, hingga yang terakhir Paradise Paper yang membuat pemerintah tidak dapat mengetahui siapa pemilik sebenarnya dari suatu perusahaan terutama yang tengah memohonkan perpanjangan IUP.

 

“Kita nggak harus penindakan secara pidana atau perdata, pemerintah bisa mem-freeze kalau tidak sesuai dengan prasyarat dengan surat Edaran kemarin,” kata Bram.

 

Sekadar mengingatkan, upaya pemerintah merapikan IUP merupakan bagian dari upaya Koordinasi dan Supervisi (Korsup) yang lakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2014 di 12 Provinsi yang kemudian dilanjutkan ke 19 provinsi lainnya pada Desember tahun yang sama. Upaya memperbaiki tata kelola pertambangan minerba berangkat dari hasil Kajian KPK pada 2011 yang menyimpulkan ada sejumlah permasalahan dalam tata kelola sektor minerba, yakni pengembangan sistem data dan informasi minerba, penataan Kuasa Pertambangan (KP) /IUP, dan pengoptimalan penerimaan negara.

 

(Baca Juga: Sejumlah Persoalan Membayangi Korsup Minerba)

 

Dua belas instansi mulai dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai masyarakat sipil turut dilibatkan yang pada akhirnya berhasil mencabut izin-izin yang tidak memenuhi ketentuan , kewajiban keuangan yang selama ini diabaikan pelaku usaha, penegakan aturan, dan pengawasan yang diperketat dengan melibatkan berbagai pihak. Ketidakterbukaan informasi Beneficial Owner dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi dan pendapatan negara, salah satunya dari peluang penghindaran pajak (tax avoidance) oleh wajib pajak.

 

Bram mengatakan, pemerintah juga masih menyusun Peraturan Presiden (Perpres) sebagai pondasi hukum pelaksanaan Beneficial Owner karena implementasinya akan meningkatkan tingkat investasi suatu negara. Dengan Perpres ini, pemerintah memilliki pondasi serta basis data sehingga membuat skema Beneficial Owner dapat diimplementasikan. Sayangnya, Bram masih belum bisa memastikan kapan aturan tersebut secara resmi akan dikeluarkan setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo.

 

“[Rancangan] Perpres sudah masuk di Sekretariat Negara. Kita tunggu saja, kira-kira prosesnya seperti apa,” kata Bram.

 

Permasalahan Data

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi kerugian negara terkait dugaan ekspor batu bara yang tidak dilaporkan lantaran adanya perbedaan data di dalam negeri dari sejumlah instansi kementerian/lembaga terkait. Berdasarkan hasil penelusuran ICW selama 2006-2016, ditemukan indikasi unreporting transaksi ekspor batubara sebesasr 27,062 miliar dollar atau setara Rp 365,3 triliun.

 

“Hal ini berdampak pada indikasi kerugian negara baik dari kewajiban perusahaan batubara untuk pajak penghasilan maupun royalti (DHPB) sebesar Rp 133,6 triliun,” kata Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyasdi Jakarta, Senin (20/11).

 

Firdaus mencontohkan, perbedaan data penjualan batubara terjadi antara institusi seperti Kementerian Perdagangan, BPS, dan Kementerian ESDM, di mana dalam periode 2006-2016, terdapat perbedaan hingga sekitar 520 juta ton. Hal tersebut menjadi loophole sehingga berimplikasi terhadap potensi penerimaan negara yang selama ini subsektor minerba masih menjadi salah satu kontributor utama dalam khususnya Penerimaan Negara dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

 

(Baca Juga: Negosiasi Rampung, Amandemen 13 PKP2B Ditandatangani)

 

Data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan mencatat, per 17 November 2017, PNBP minerba mencapai Rp 35 triliun. Jumlah tersebut melampaui 7% dari angka yang ditargetkan pada tahun 2017 Rp 32,7 triliun. Angka PNBP tersebut berasal dari 3 jenis penerimaan, yakni royalti sebanyak Rp 19,8 triliun (56,6 %), penjualan hasil tambang Rp 14,7 triliun (42 %) dan iuran tetap mencapai Rp 500 miliar (1,4 %). Tingginya angka PNBP tersebut didorong peningkatan pengawasan, kepatuhan perusahaan melunasi tunggakan, dan harga komoditas batubara itu sendiri.

 

Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan 29% di mana realisasi PNBP minerba tahun tersebut sebesar Rp 27,1 triliun. Adapun angka PNBP minerba yang dicatatkan tahun 2015 mencapai Rp 23,8 triliun. Sementara Catatan ICW, transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan periode 2006-2016 disinyalir yang terbesar ke China dengan nilai sekitar 5,31 miliar dolar AS, ke Jepang (3,80 miliar dolar) dan Korea Selatan (2,66 miliar dolar).

 

"Terkait besarnya indikasi kerugian negara, maka sudah seharusnya pemerintah menaruh perhatian sangat serius dan segera membenahi celah yang berindikasi kepada kerugian negara dari batubara," kata Firdaus.

 

Direktur Penegakan Hukum pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Yuli Kristiyono, mengatakan bahwa isu ini bukanlah hal yang baru dan sedang diaudit karena pihaknya juga membutuhkan dukungan data dari berbagai instansi terkait lainnya. Ia mengemukakan, pihaknya sudah turun ke sejumlah provinsi dalam rangka memberikan sosialisasi kepatuhan pengusaha pertambangan dan setelah sosialisasi ada peningkaan penerimaan negara dalam sektor batubara.

 

“Intinya kita tunggu data mikro, dari ESDM dan perdagangan. Syukur KPK bisa supervisi kembali,” kata Yuli.

 

Tags:

Berita Terkait