Isu Monopoli dan Kepailitan di Tengah Holding BUMN Tambang
Holding BUMN Tambang

Isu Monopoli dan Kepailitan di Tengah Holding BUMN Tambang

Hilangnya status “Persero” dalam Anggaran Dasar Perseroan PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk memiliki konsekuensi hukum berupa hilangnya keistimewaan antara lain menjadi subjek yang tunduk terhadap ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Foto: YOZ
Foto: YOZ

PT Antam Tbk, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk resmi ‘melepas’ status Persero yang selama ini disandang. Perubahan status dari Persero menjadi Non-Persero dalam Anggaran Dasar perseroan tersebut menyusul persetujuan mayoritas pemegang saham saat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar November 2017 lalu ternyata memiliki sejumlah konsekuensi hukum.

 

Peneliti bidang Hukum Ekonomi pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, mengatakan bahwa penambahan penyertaan modal negara terhadap tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan mengakibatkan status PT Antam (ANTM) Tbk, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Timah Tbk (TINS) masing-masing sebagai Perseroan Terbatas (PT) yang tunduk sepenuhnya pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

 

“Ketika perusahaan itu jadi ‘PT biasa’, beberapa keistimewaan itu jadi hilang meskipun berstatus Perusahaan Terbuka (Tbk),” kata Aziz kepada Hukumonline, Selasa (28/11).

 

Pengalihan Saham Seri B milik ANTM sebesar 65%, PTBA sebesar 65,02% dan TINS sebesar 65% kepada PT Indonesia Asahan Aluminium sebagai induk usaha (Holding) yang diteken Menteri BUMN Rini M Soemarno pada akhir November 2017 kemarin ternyata memiliki beberapa konsekuensi dari segi hukum. Selain status ketiganya menjadi anak perusahaan dari induk Holding BUMN Industri Pertambangan, Aziz mengatakan ketiganya tidak dapat lagi mendapat ‘keistimewaan’ khususnya terkait isu kepailitan dan persaingan usaha seperti saat masih menyandang status sebagai BUMN Persero.

 

Terkait persaingan usaha, Aziz berpendapat anggota Holding BUMN Industri Pertambangan berpotensi dianggap melakukan monopoli sepanjang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Merujuk dua pasal tersebut, Aziz menilai hanya BUMN ataupun lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah dengan undang-undang (UU) yang hanya diberikan hak untuk dapat melakukan monopoli.

 

“Itu bergantung pemerintah soal penugasan khusus itu. [Prinsipnya] mesti ada penugasan dari pemerintah,” kata Aziz.

 

Anggota Badan Pengurus dari Lembaga Komisaris dan Direksi Indonesia (LKDI), Agustinus Haryono, juga sependapat bahwa hilangnya status BUMN Persero yang sebelumnya dimiliki tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan memiliki konsekuensi hukum terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999. Sebagai jalan keluarnya, ia mengusulkan pemerintah menerbitkan aturan khusus yang menegaskan mengenai status hukum anak usaha BUMN atau anggota Holding BUMN Industri Pertambangan tersebut sebagai subjek yang dikecualikan terhadap ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.

 

“Tentunya secara hukum yang berlaku maka PT tersebut tunduk pada UUPT [UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas] dan sudah tidak tunduk dengan UU BUMN [UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara], kecuali nantinya Pemerintah mengeluarkan peraturan khusus mengenai status hukum anak-anak usaha yang sudah bukan lagi Persero tersebut,” kata Agustinus.

 

Bila melihat secara utuh bunyi Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999: “Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”. Terdapat dua frasa penting yang menjadi kunci apakah anak usaha atau anggota Holding BUMN Industri Pertambangan diperbolehkan melakukan monopoli. Kedua frasa tersebut, yakni “diatur dengan Undang-undang” dan “dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah”.

 

(Baca Juga: BUMN Tidak Boleh Berlindung di Balik Hak Monopoli)

 

Ningrum Natasha Sirait, dkk dalam Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha terbitan The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) (2010), berpendapat bahwa pengertian diatur “dengan undang-undang” merupakan syarat legal dari negara untuk melakukan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan atas barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Dengan demikian, praktik monopoli dan/atau pemusatan kegiatan oleh negara tersebut hanya dapat dilakukan setelah diatur terlebih dahulu dalam undang-undang (UU), bukan melalui peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang misalnya Peraturan Pemerintah (PP).

 

“Undang-undang tersebut harus mencantumkan secara jelas tujuan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan serta mekanisme pengendalian dan pengawasan negara dalam penyelenggaraan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan tersebut, sehingga tidak bisa mengarah pada praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,” tulis Ningrum.

 

Sedangkan, frasa “dibentuk atau ditunjuk pemerintah”, Ningrum dari sumber yang sama, menyebutkan bahwa frasa badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah memiliki ruang lingkup yang luas termasuk di dalamnya adalah badan atau lembaga perdata yang tidak memilki keterkaitan dengan tugas dan fungsi negara. Yang menjadi pertanyan adalah, apakah status tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan dapat dikategorikan sebagai pihak yang “dibentuk atau ditunjuk pemerintah”?

 

Ningrum menjelaskan, prosedur dan persyaratan penunjukkan badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah sehingga tidak mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, hal tersebut berlaku sepanjang BUMN ataupun badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah tidak melimpahkan kembali hak penyelenggaraan monopolinya atau pemusatan kegiatannya baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain.

 

Dalam konteks Holding BUMN Industri Pertambangan, PT Inalum (Persero) merupakan induk holding BUMN dan berstatus sebagai BUMN. Apabila PT Inalum melimpahkan hak penyelenggaraan monopolinya atau pemusatan kegiatan baik sebagian maupun seluruhnya kepada ANTM, PTBA, ataupun TINS, dapatkah diartikan bahwa hak penyelenggaraan tersebut menjadi hilang?

 

“Maka terkait penyelenggaraan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara, Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 menentukannya secara sistematis dengan tetap mendasarkan pada alasan-alasan yang rasional berupa pertimbangan profesionalitas, legalitas, dan efektivitas pencapaian sasaran tujuan penyelenggaraan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan,” tulis Ningrum.

 

Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999

Urutan-Urutan yang Menjadi Acuan Pemerintah Menentukan Pihak Penyelenggara Monopoli dan/atau Pemusatan Kegiatan yang Berkaitan dengan Produksi dan/atau Pemasaran Barang dan/atau Jasa yang Menguasasi Hajat Hidup Orang Banyak serta Cabang Produksi yang Penting bagi Negara, sebagai berikut:

1. Diselenggarakan oleh BUMN

2. Diselenggarakan oleh BUMN dan badan yang dibentuk pemerintah

3. Diselenggarakan oleh BUMN dan lembaga yang dibentuk pemerintah

4. Diselenggarakan oleh Badan yang dibentuk pemerintah

5. Diselenggarakan oleh Lembaga yang dibentuk pemerintah

6. Diselenggarakan oleh BUMN dan badan yang ditunjuk pemerintah

7. Diselenggarakan oleh BUMN dan lembaga yang ditunjuk pemerintah

8. Diselenggarakan oleh Badan yang ditunjuk pemerintah

9. Diselenggarakan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah

Sumber: Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha, NLRP (2010)

 

Ketua Umum Asosiasi Advokat Persaingan Usaha Indonesia (Indonesian Competition Lawyer Association/ICLA), Asep Ridwan berpendapat bahwa Holding BUMN Industri Pertambangan sesungguhnya memang menempatkan tiga anggota Holding BUMN sekaligus induk Holding itu sendiri dalam posisi yang rawan lantaran berada dalam posisi monopoli ataupun posisi dominan. Sehingga,  kondisi tersebut rawan menjadi pantauan otoritas persaingan usaha, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

 

“Hal ini karena biasanya KPPU cenderung sering memantau perusahaan-perusahaan yang punya posisi monopoli atau dominan di pasar,” kata Asep kepada Hukumonline, Rabu (6/12).

 

Asep menjelaskan, secara prinsip monopoli tidak dilarang sepanjang praktik tersebut tidak  menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Sesuai ketentuan Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999, praktik monopoli ataupun pemusatan kegiatan harus dilakukan berdasarkan undang-undang. Namun, selama ini penyelenggaraan atau pelaksanaan oleh BUMN ataupun badan lain yang ditunjuk pemerintah dilakukan melalui Peraturan Pemerintah. Bahkan, kata Asep, setiap pembentukan BUMN juga melalui Peraturan Pemerintah yang mana hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2003.  

 

Sesuai Pasal 2A ayat (7) PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan PT, kata Asep, tiga anggota Holding BUMN Pertambangan tetap diperlakukan seperti BUMN apabila mendapatkan penugasan dari pemerintah. apalagi secara historis ketiganya merupakan perusahaan yang berstatus BUMN.Dan apabila anak usaha BUMN mendapatkan penugasan dari pemerintah, ketiganhya bisa dikecualikan berdasarkan Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni dalam rangka menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

“Meski demikian, memang ada dampaknya dari sisi competition law, dimana anak BUMN bisa tidak masuk lagi pengeculian berdasarkan Pasal 51 apabila tidak ada penunjukan atau penugasan khusus dari pemerintah. Jadi frasa “undang-undang” itu dalam rangka pengecualian untuk monopoli atau pemusatan kegiatannya. Sedangkan konteks untuk pembentukan BUMN atau lembaga yang dibentuknya, tetap dapat dilakukan melalui PP dan bahkan selama ini pembentukannya memang melalui PP,” kata Asep.

 

Merujuk Pasal 33 UUD 1945, cabang-cabang produksi yang penting atau menguasai hajat hidup orang banyak, kata Asep, memang terdapat monopoli negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan BUMN dan bersama anak-anak usaha BUMN. Dengan kata lain, dalam konteks tersebut memang ada monopoli tetapi monopoli di sini adalah monopoli karena peraturan (by regulation).

 

“Yang penting, sekarang perusahaan-perusahaan tersebut jangan melakukan Praktik Monopoli untuk menghindari investigasi competition authority [otoritas persaingan], karena banyak contoh kasus sekalipun dia  BUMN akan tetap ketika melakukan praktik monopoli dan/atau menyalahgunakan posisi monopili, tetap dapat dijerat oleh competition authority,” kata Asep.

 

Hukumonline.com

Keterangan: Skema inbreng saham negara pada ANTM, PTBA, dan TINS kepada INALUM.

 

Terkait hilangnya status “Persero”, Kementerian BUMN menepis bahwa hal tersebut tidak menghilangkan konsekuensi bagi tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan untuk melaksanakan berbagai macam pelayanan kepada masyarakat. Staf Khusus Menteri BUMN, Wianda Pusponegoro mengatakan, anggota Holding BUMN akan tetap menjalankan peran sebagai BUMN sekalipun RUPSLB telah menyetujui perubahan Anggaran Dasar Perseroan dari Persero menjadi non-Persero.

 

Menurutnya, anggota Holding BUMN dapat berkolaborasi dengan induk Holding dalam rangka mencipkatan nilai tambah melalui akselerasi hilirisasi tambang dengan sinergi antar anggota Holding BUMN Industri Pertambangan. Mengutip Pasal 2A ayat (7) PP Nomor 72 Tahun 2016, Wianda mengatakan ketentuan tersebut menjadi kunci di mana anak perusahaan BUMN diperlakukan sama seperti BUMN diantaranya mendapat penugasan dari pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum, dan mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau pemerintah.

 

“Sesuai PP Nomor 72 Tahun 2016, kendali pemerintah melalui Saham Seri A maupun PT Inalum. Dan mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau pemerintah termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagiamana diberlakukan bagi BUMN (Persero),” kata Wianda kepada Hukumonline, Selasa (5/12).

 

Hukumonline.com

Sumber: Kementerian BUMN

 

Tak sekadar isu persiangan usaha, hapusnya status “Persero” tiga anggota Holding BUMN Industri Pertambangan mengapus ‘keistimewaan’ dalam hal kepailitan. Selama menyandang status BUMN Persero, permohonan pernyataan pailit hanya dapat dimohonkan sepanjang dapat izin dari Menteri Keuangan. Isu Kepailitan merupakan konsekuensi hukum badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas sehingga pemerintah harus memitigasi anggota Holding BUMN Industri Pertambangan untuk terhindar dari kepailitan.

 

“Kalau masih BUMN mau dipailitkan, siapapun mesti izin Menteri Keuangan. Sektor mana juga harus dilihat, kalau jasa keuangan harus ada izin OJK,” kata Aziz.

 

Persero sendiri merupakan BUMN yang modalnya terbagi atas saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki negara dan memiliki tujuan utama untuk mengejar keuntungan. Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 mengatur, modal persero merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta penyertaan modal negara dalam rangka pendirian dan penyertaan pada BUMN bersumber dari APBN. Implikasi hukumnya, pemisahan kekayaan negara pada Persero tidak dapat dikatakan sebagai keuangan publik.

 

Dengan demikian, seketika status hukumnya berubah menjadi uang persero yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan UU Nomor 40 Tahun 2007. Sehingga, Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang mengatur larangan penyitaan terhadap barang-barang milik negara atau daerah atau yang dikuasai negara atau daerah tidak berlaku pada BUMN Persero. Patut diketahui, prinsip pemisahan kekayaan BUMN dari keuangan negara pun dipertegas lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 77/PUU-IX/2011, di mana kedudukan BUMN sama seperti perseroan lainnya.

 

(Baca Juga: MK Rombak Aturan Piutang BUMN)

 

Menurut Nien Rafles Siregar dalam Kepalitian BUMN: Dualisme Sikap Pengadilan (2015), menyebutkan bahwa pada praktiknya telah terjadi dualisme putusan atas hak mengajukan permohonan pailit terhadap Persero karena pemahaman yang tidak cermat dari majelis hakim pemeriksa terhadap ketentuan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta penjelasannya. Letak ketidakcermatan tersebut pada frasa “tidak terbagi atas saham”, yang diartikan juga sebagai Persero yang sahamnya dimiliki 100% negara sehingga permohonan pailit hanya dapat diajukan Menteri Keuangan.

 

“Ketidakcermatan majelis hakim pemeriksa juga terlihat pada pemahaman kekayaan dari Persero yang merupakan milik negara yang hanya bertumpu pada UU Perbendaharaan Negara tanpa menghubungkannya dengan peraturan perundangan terkait lain sehingga berakibat tidak dapat dilakukan penyitaan dan tidak dapat dipailitkan,” tulis Nien.

 

Nien menjelaskan, BUMN Persero tidak termasuk dalam lingkup Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004, sepanjang dimaknai menggunakan pendekatan argumentum a contrario. Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan secara langsung oleh debitor sendiri, kreditor atau para kreditornya. Hal tersebut juga dipertegas Pasal 11 UU 19 Tahun 2003, di mana prinsip-prinsip yang berlaku buat perseroan terbatas juga berlaku kepada BUMN Persero.

 

“Pasal 104 ayat (1) UU PT juga memberi hak kepada direksi perseroan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap diri perseroan. Mekanisme yang dilakukan: direksi wajib lebih dahulu memperoleh persetujuan RUPS. Selama tidak ada persetujuan RUPS, direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit,” tulis Managing Partner firma hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP).

 

RUPS adalah organ perseroan yang tertinggi. Dalam BUMN Persero, kedudukan menteri yang mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara dalam hubungannya dengan RUPS dipengaruhi oleh jumlah kepemilikan saham. Apabila saham Persero dimiliki 100% oleh negara, maka kedudukan menteri bertindak selaku RUPS. Sebaliknya, jika saham yang dimiliki negara kurang dari 100% karena privatisasi, kedudukan menteri hanya selaku pemegang saham bersama dengan pemegang saham lainnya.

 

Namun, menurut Nien, kepemilikan 100% saham oleh negara tidak berarti permohonan pernyataan pailit hanya diajukan Menteri Keuangan sebagaimana Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 karena berdasarkan anggaran dasar telah ditentukan bentuk dan usahanya sebagai PT Persero sehingga permohonan pailit dapat diajukan oleh siapapun layaknya permohonan pailit perseroan swasta. Mesti dicatat, peran pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan tetap ada sepanjang adanya fasilitas negara yang digunakan oleh Persero.

 

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana akibat dari pernyataan palilit terhadap BUMN? Masih menurut Nien, perlakuan aset persero harus dibedakan dari perusahaan swasta, di mana dalam persero terdapat dua kepemilikan aset, yaitu aset negara dan aset milik persero. Merujuk Pasal 1 butir 11 dan 50 UU Perbendaharaan Negara tegas bahwa “barang milik negara” tidak dapat disita. Kata Nien, sepanjang barang tersebut dikuasai persero dipinjamkan oleh negara dan negara memperoleh dari APBN atau perolehan yang sah, berarti tidak dapat disita.

 

“Barang yang dikuasai perum/persero sepanjang dapat dibuktikan bukan milik negara, dapat disita. Sebaliknya, sekalipun aset itu dikuasai perum atau persero, apabila ternyata terbukti milik negara, yang tidak dapat disita adalah “barang milik negara”,” kata Nien.

 

Sayangnya, dalam penerapan terdapat dualism sebagaimana putusan-putusan pengadilan baik di tingkat pertama, kasasi, hingga peninjauan kembali. Catatan Nien, tedapat putusan yang menyatakan persero dapat dimohonkan pailit oleh kreditor yang memenuhi syarat, namun ada pula putusan yang menyatakan permohonan hanya dapat dimohonkan menteri keuangan. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA) terkait permohonan palilit terhadap PT Dirgantara Indonesia (Persero) dalam perkara Nomor:075K/Pdt.Sus/2007.

 

Sekadar mengingatkan, tiga mantan pegawai PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebelumnya mengajukan pailit dan permohonan tersebut dikabulkan majelis hakim Pengadilan Niaga dan PTDI dinyatakan pailit pada 4 September 2007. PTDI mengajukan kasasi dan MA mengabulkan permohonan kasasi tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa PTDI yang keseluruhan modalnya dimiliki negara dan merupakan objek vital industri sehingga permohonan pailit hanya dapat dilakukan menteri keuangan.

 

Padahal, menurut Nien, merujuk Pasal 1 butir 2 dan 4 UU BUMN bahwa BUMN yang dikuasai negara seluruhnya dan tidak terbagi atas saham adalah BUMN berbentuk Perum. Secara faktual, PTDI bukanlah BUMN Perum melainkan BUMN Persero. Begitu pula dengan putusan pailit PT Iglas (Persero) sebagaimana Putusan Nomor 111 PK/Pdt.Sus/2009, majelis juga mengabaikan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Nomor 37 Tahun 2004 yang memberi batasan bahwa BUMN yang tidak dapat dimohonkan pailit secara langsung oleh krediturnya adalah BUMN yang kepemilikan seluruhnya dikuasai negara dan tidak terbagi atas saham.

 

“Hakim pada Pengadilan Niaga maupun MA hendaknya mencermati meskipun saham persero dimiliki 100 persen oleh negara, tidak berarti perseroan tersebut merupakan Perum dan permohonan pailit hanya dapat diajukan Menteri Keuangan. Hakim juga harus dapat memahami bahwa kepemilikan negara adalah terbatas pada kepemilikan sahamnya di Persero tersebut, bukan pada aset Perseroan, sehingga aset Perseroan dapat dilakukan sita umum (kepailitan),” kata Nien.

 

Tags:

Berita Terkait