Isu Hubungan Pusat-Daerah dalam UU Cipta Kerja
Kolom

Isu Hubungan Pusat-Daerah dalam UU Cipta Kerja

Tak bisa dipungkiri pula bahwa sentralisasi dalam konteks demokrasi ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.

Bacaan 4 Menit
Agung Hermansyah. Foto: Istimewa
Agung Hermansyah. Foto: Istimewa

Pengesahan UU Cipta Kerja (UU No.11/2020) oleh Presiden Jokowi setidaknya memiliki maksud baik untuk memberikan kepastian hukum deregulasi dan debirokratisasi. Beleid ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, devisa, penyediaan lapangan kerja, alih teknologi dan pengetahuan.

Di sisi lain, membereskan segala persoalan perizinan dan investasi di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penyederhanaan perizinan bukanlah soal normatif semata. Hal ini berkaca dari pengalaman beberapa beleid deregulasi perizinan yang sudah ada, seperti Perpres No.97/2014 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Perpres No.91/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, dan PP No.24/2018 tentang online single submission (OSS). Namun tetap saja pelayanan perizinan masih jauh dari optimal.Para investor masih saja merasakan prosedur yang berbelit-belit, calo, dan banyaknya sekat-sekat pintu yang harus dilalui.

Permasalahan yang sama terus saja muncul. Penuturan dari seorang corporate lawyer, Ahmad Fikri Assegaf, bahwa dari pengalamannya membantu investor bergelut dengan berbagai masalah investasi. Paling tidak ada tiga tantangan besar di bidang hukum untuk investor asing maupun domestik.

Pertama, produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibanding negara pesaing (seperti Vietnam) dan peraturan ketenagakerjaan dari sudut pandang pengusaha kurang seimbang. Kedua, tumpang tindih peraturan antara pusat dan daerah. Ketiga, masalah perizinan yang super ruwet dan banyak prosedur (Hukumonline, 7/5/2020). Sektor perizinan merupakan kasus korupsi terbesar kedua yang ditangani KPK. 

Meskipun UU Cipta Kerja bermaksud baik memutus benang kusut masalah perizinan dan investasi. Maksud baik tidak serta merta diikuti tindakan yang baik (Destina tantum pro factis non habentur). UU dalam tataran normatif selalu bertolak belakang dengan eksekusi dan fakta yang terjadi di lapangan.

Resentralisasi Kebijakan

UU Cipta Kerja menyuguhkan fenomena tarik-menarik kepentingan (spanning of interest) antara pusat dan daerah. Beberapa klaster UU dalam UU Cipta Kerja seperti Minerba (Pasal 5 UU No.3/2020), Lingkungan Hidup (Pasal 63 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2)), Tata Ruang (Pasal 15, dan Pasal 34A) dan Ketenagakerjaan (Pasal 88) yang semula diberikan porsi kewenangan pemerintah daerah ditarik kembali menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Fenomena tersebut bukanlah hal baru dalam khazanah ketatanegaraan Indonesia. Menurut Bagir Manan, dalam perkembangan negara kesejahteraan (walfare state), tidak hanya mendorong laju desentralisasi, tetapi juga dijumpai arus balik yang kuat ke arah sentralisasi.

Seperti contohnya dalam UU No.4/2009, kewenangan minerba diatur secara vertikal, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota punya porsi masing-masing. Namun, dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah kabupaten/kota direduksi, ditarik menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Lalu, UU No.3/2020 menghapus kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan minerba. 

Adapun kelebihan sentralisasi menurut J. In het Veld adalah:

  1. Sentralisasi menjadi landasan kesatuan kebijaksanaan lembaga atau masyarakat.
  2. Sentralisasi dapat mencegah nafsu memisahkan diri dan dapat meningkatkan rasa persatuan.
  3. Sentralisasi meningkatkan persamaan dalam perundang-undangan, pemerintah, dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah yang bersifat serupa.
  4. Dalam sentralisasi terdapat hasrat lebih mengutamakan umum daripada daerah, golongan atau perorangan, dan masalah keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak.
  5. Tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi satu kesatuan yang besar.
  6. Sentralisasi meningkatkan daya guna dan daya hasil  dalam penyelenggaraan pemerintahan, meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian.

Namun, di balik kelebihannya tersebut, tak bisa dipungkiri pula bahwa sentralisasi dalam konteks demokrasi ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya, di antaranya: (1) menambah beban pemerintah pusat, (2) kegagalan mendapatkan manfaat dari keuntungan tertentu untuk diamankan dari bentuk-bentuk desentralisasi yang berbeda, (3) energi dan waktu yang paling mampu menghilang, (4) hilangnya bahan, perlengkapan, dan personalia yang berketerampilan, (5) ketidakseimbangan pembangunan antara pusat dan daerah, dan (6) menimbulkan kebuntuan di daerah ketika menghadapi masalah yang mendesak dan membutuhkan tindakan cepat.

Pada prinsipnya, tidak ada kewenangan yang absolut. William Pitt menukilkan bahwa unlimited power corrupts the possessor yang berarti kekuasaan tanpa batas mampu melahirkan perbuatan korup bagi pemegangnya. Itu sebabnya, setiap kewenangan dibatasi oleh ruang, waktu, dan subtansi. Pemerintah pusat memiliki keterbatasan yang nyata untuk mengetahui segala macam kepentingan dan kebutuhan masyarakat daerah diseluruh tanah air.

Konflik Agraria

Isu sumberdaya alam adalah isu yang paling sensitif dalam hubungan pusat-daerah. Keberadaan UU Cipta Kerja yang menarik/menghapuskan kewenangan pemerintah daerah adalah bukti penyelenggaraan otonomi daerah yang setengah hati. Pendekatan kekuasaan membuat daerah tidak lebih dari sekedar penonton di rumah sendiri yang menyediakan lahan bagi kepentingan pemerintah pusat dan penanam modal.

Terkonsentrasinya penguasaan sumberdaya alam di tangan segelintir para elit, membuat hubungan antara pusat-daerah menjadi bergejolak. Hal inilah yang menyebabkan meletusnya konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada 2019 terdapat 279 letusan konflik agraria dengan melibatkan 420 desa di berbagai provinsi. Akibatnya, angka kemiskinan meningkat, hak-hak masyarakat (terutama masyarakat adat) terpinggirkan, terjadinya kriminalisasi, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan di daerah.

Sentralisasi kebijakan sumberdaya alam juga berdampak pada ketidakadilan dalam distribusi manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh daerah dari pengelolaan sumberdaya alamnya. Daerah-daerah penghasil sumberdaya alam dan penyumbang terbesar dalam penerimaan negara, justru bukan penerima subsidi terbesar dari pemerintah pusat. Misalnya Riau, penyumbang terbesar APBN dengan rata-rata 32,5%, tetapi hanya menerima bantuan/subsidi paling kecil 0,46% per tahun dari pemerintah pusat (Sri Soemantri:1999).

Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara pusat-daerah, menimbulkan kecemburan sosial, dan prasangka negatif yang dapat merusak hubungan pusat-daerah. Yang paling bahaya adalah menelurkan gagasan memerdekakan diri (separatisme). Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan separatisme di Aceh (GAM), Riau (GRM), dan Papua (OPM) salah satunya dilatarbelakangi oleh ketimpangan dalam pengelolaan sumberdaya alam antara pusat dan daerah.

Dan pada akhirnya, Gugatan judicial review di MK menjadi obat terakhir (ultimum remedium) bagi para pencari keadilan. UU yang cacat secara moralitas hukum tidak memiliki tempat untuk dipertahankan. Para Hakim MK dituntut wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (judicial activism). MK harus memutus Pasal, ayat, atau bila perlu membatalkan keseluruhan UU yang inkonstitusional. Het recht wekelijkden (Putusan Hakim yang sesuai dengan kesadaran, kebutuhan, dan nilai-nilai keadilan masyarakat adalah hukum dalam makna yang sebenarnya).

*)Agung Hermansyah, Advokat dan Peneliti Hukum di Pekanbaru

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait