Isu HAM Belum Prioritas, Tantangan Penyelesaiannya Makin Berat
Berita

Isu HAM Belum Prioritas, Tantangan Penyelesaiannya Makin Berat

Pemerintah lebih fokus terhadap isu ekonomi seperti pembangunan infrastruktur dan isu nasionalisme sempit.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Salah satu acara di Komnas HAM, sebelum ada pergantan komisioner. Foto: ADY
Salah satu acara di Komnas HAM, sebelum ada pergantan komisioner. Foto: ADY

Periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah berjalan sekitar tiga tahun. Namun, masih banyak janji Nawacita yang belum terwujud, salah satunya di bidang HAM yaitu menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai tantangan penegakan HAM ke depan semakin berat karena pemerintah lebih fokus setidaknya pada tiga hal. Pertama, pemerintah berupaya memajukan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur. Cuma, dari 10 prioritas pembangunan nasional dalam rencana kerja pemerintah (RKP) 2018 tidak ada yang bersinggungan dengan perlindungan HAM. Menurut Usman HAM merupakan hal esensial terhadap pembangunan ekonomi agar hasilnya bisa dinikmati semua orang dan tidak ada kelompok tertentu yang tertinggal.  “Tanpa adanya perlindungan HAM bagi semua orang, program pembangunan ekonomi tidak akan berjalan mulus,” kata Usman dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (04/12).

Minimnya perlindungan HAM dalam pembangunan itu menurut Usman dapat dilihat dari sejumlah proyek seperti praktik eksploitatif terhadap buruh perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan. Kemudian, pembangunan yang mengancam kehidupan masyarakat seperti kasus penolakan petani Pati dan Rembang, Jawa Tengah, terhadap pabrik semen.

(Baca juga: Begini Catatan Penegakan HAM Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK).

Kedua, politisasi identitas, marak digunakan sebagai senjata dalam suatu kompetisi politik baik daerah dan pusat. Bukan hanya itu, Usman menilai politisasi identitas menjadi bahan bakar praktik intoleransi di masyarakat. Pemerintah mengakui meningkatnya intoleransi beragama dan Presiden Jokowi menganggap ada ancaman terhadap kebhinekaan. Namun, langkah yang ditempuh untuk menangani persoalan itu berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat karena menggunakan sentimen nasionalisme sempit. Misalnya, menerbitkan Perppu Ormas pada Juli 2017.

Usman menduga intoleransi akan semakin parah tahun depan karena akan ada perhelatan Pilkada dan menjelang Pemilu 2019. Seperti Pilkada Jakarta 2017, terjadi mobilisasi massa untuk menyebarkan pesan intoleransi yang memonopoli tafsir moralitas keagamaan, itu dianggap efektif untuk memenangkan kandidat tertentu.

Ketiga, jargon persatuan yang mengorbankan kemerdekaan sipil dan berpeluang melanggar hak dasar warga negara yang dianggap tidak’pancasilais.’ Usman melihat Presiden Jokowi mempopulerkan politik pancasila untuk menyatukan seluruh masyarakat sebagai upaya ‘mempertahankan NKRI.’jargon ini kerap digunakan untuk pembenaran melawan gerakan separatis bersenjata atau kelompok yang menyuarakan aspirasi kemerdekaan secara damai serta melawan meningkatnya konservatisme agama di masyarakat.

Bahkan melalui Perppu Ormas pemerintah telah membubarkan HTI karena dianggap tidak sejalan dengan pancasila. Menurut Usman tindakan pemerintah itu melanggar kebebasan sipil karena membubarkan ormas tanpa proses pengadilan. Di Papua, institusi keamanan dinilai tidak mampu membedakan antara kelompok pro kemerdekaan bersenjata dengan kelompok yang mengekspresikan pandangan politiknya secara damai.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sidharto Danusubroto, mengatakan walau pemerintah punya kebijakan di bidang HAM tapi untuk saat ini pemerintah lebih fokus menangani masalah perlambatan ekonomi. “Isu yang paling dikhawatirkan pemerintah saat ini soal pembangunan.” ujarnya.

(Baca juga: Istana Klaim Terus Upayakan Penyelesaian Persoalan HAM Papua).

Ketua Badan Pengurus Amnesty International Indonesia, Todung Mulya Lubis, berharap pemerintah meningkatkan perhatiannya terhadap isu HAM. Dia mengingatkan para calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2014 menyatakan komitmen terhadap HAM, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Selama persoalan itu belum tuntas, Mulya yakin perjalanan Indonesia ke depan tidak akan berjalan mulus.

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yakni melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun komisi itu tidak bisa dibentuk karena UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR sudah dinyatakan oleh MK bertentangan dengan konstitusi. Walau begitu penyelesaian pelanggaran HAM berat bisa dimulai dengan pembentukan KKR di daerah seperti yang ada di Aceh. “Penyelesaiannya diharapkan bisa dilakukan melalui pembentukan KKR di tingkat lokal. Kalau itu berhasil bisa menjadi contoh daerah lain,” urai Mulya.

Tags:

Berita Terkait