Isu Ekonomi Lebih Populer dari HAM
Berita

Isu Ekonomi Lebih Populer dari HAM

Kondisinya disamakan dengan Orde Baru.

RZK
Bacaan 2 Menit
Pimred Majalah Tempo Wahyu Muryadi merasa terhormat, Majalah Tempo dinobatkan sebagai penerima YTHA 2012. Foto: Sgp
Pimred Majalah Tempo Wahyu Muryadi merasa terhormat, Majalah Tempo dinobatkan sebagai penerima YTHA 2012. Foto: Sgp

Untuk kali ketiga, Yap Thiam Hien Award (YTHA) jatuh pada institusi, bukan individu. Dalam acara penganugerahan yang digelar di Gedung BPPT, Jakarta, Kamis malam (13/12), dewan juri menetapkan Majalah Tempo sebagai penerima YTHA 2012. Sebelum Majalah Tempo, dua institusi lain yang pernah meraih YHTA adalah Kontras dan Urban Poor Consortium.

Sayangnya, keberhasilan Majalah Tempo meraih YTHA 2012 yang mengangkat tema “Kebenaran untuk Semua” terjadi di saat penegakan hukum tidak lagi menjadi isu populer di negeri ini. Keprihatinan ini diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis saat memberikan sambutan dalam acara penganugerahan YTHA 2012.

“Bulan madu hak asasi manusia itu hanya terjadi di tahun-tahun pertama Orde Reformasi, sama seperti zaman Orde Baru dimana bulan madu itu juga hanya terjadi di tahun-tahun pertama,” ujar Todung.

Salah satu alumnus YLBHI ini menyamakan kondisi sekarang dengan kondisi Orde Baru. Todung mengenang, ketika awal-awal Orde Baru, isu-isu penegakan HAM juga semarak. Namun, setelah itu kondisinya memburuk. Pelanggaran HAM terjadi dimana-mana, sementara masyarakat terlena dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi yang diusung pemerintahan Presiden (alm) Soeharto. Kondisi itu, kata Todung, kini berulang.

Saat ini, Todung melihat ada gejala HAM ingin dipinggirkan. Pelakunya, menurut dia, tidak lagi hanya pemerintah atau politisi, melainkan juga sebagian kalangan masyarakat yang merasa memonopoli kebenaran. Akibatnya, lanjut Todung, daftar pelanggaran HAM yang terjadi di negeri ini bukannya berkurang, tetapi justru bertambah.

“Tak heran jika pada Sidang Tahunan UN Human Rights Council, Indonesia mendapat lebih dari 150 catatan untuk ditindaklanjuti,” katanya. UN Human Rights Council bahkan menilai komitmen HAM Pemerintah Indonesia tak sejalan dengan bukti-bukti di lapangan, dimana banyak sekali pelanggaran HAM terjadi.

Rasa prihatin Todung secara khusus diarahkan ke media massa. Menurut dia, media nasional juga cenderung tidak menganggap HAM sebagai materi pemberitaan yang menarik. Sebagai contoh, Todung menyebut minimnya liputan media tentang kunjungan Special Rapporteur PBB, Navethelam Pillay, ke Indonesia untuk melihat pelanggaran HAM kelompok minoritas. Peristiwa kunjungan Navethelam tenggelam oleh maraknya pemberitaan tentang investasi dan pemberantasan korupsi.

Untungnya, tidak semua media ‘menganaktirikan’ isu-isu HAM. Todung memberi apresiasi yang tinggi kepada Majalah Tempo yang dia nilai menjadi salah satu media yang sangat berani, konsisten, dan tak pernah berhenti memberitakan kasus-kasus pelanggaran HAM. “Tak satupun berita pelanggaran HAM yang luput dari pemberitaan Tempo, dan semua ini membuat rakyat mengetahui bahwa pelanggaran HAM ternyata tak pernah berhenti.”     

Apresiasi yang diberikan Todung kepada Majalah Tempo ternyata juga diamini oleh para anggota dewan juri YTHA 2012. Makanya, Majalah Tempo dinobatkan sebagai penerima YTHA 2012. “Dewan Juri Yap Thiam Hien Human Rights Award sepakat memilih Tempo sebagai penerima Yap Thiam Hien Award 2012 untuk semua kerja jurnalistik terutama dalam bidang HAM,” kata Todung.

Anggota Dewan Juri, Siti Musdah Mulia menerangkan salah satu pertimbangan yang paling menentukan kenapa Majalah Tempo sebagai penerima YTHA 2012 adalah faktor waktu.

Dewan Juri, kata Musdah, mengapresiasi konsistensi Majalah Tempo yang dalam usianya yang memasuki 41 tahun, tiada henti-hentinya memberitakan isu-isu HAM. “Tempo menang waktu, makanya tidak salah jika namanya ‘Tempo’ (berarti waktu, red),” ujar Musdah.

Usia menerima trofi YTHA 2012, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Muryadi mengaku merasa terhormat. Namun, terkesan merendah, Wahyu menilai apa yang telah dilakukan Majalah Tempo sebenarnya belum ada artinya jika dibandingkan dengan para tokoh HAM seperti Marsinah dan Munir yang rela mengorbankan nyawa demi perjuangan penegakan HAM.

Diakui Wahyu, apa yang dikatakan Todung memang benar. Berita-berita HAM memang cenderung dianggap tidak ‘seksi’ dan kurang disukai para pemasang iklan. Namun, Majalah Tempo bertekad akan tetap memberitakan isu-isu HAM. Majalah dengan moto “Enak Dibaca dan Perlu” ini menjadikan HAM sebagai pilihan berita utama.

“Bagi kami, mengungkap kebenaran jauh lebih penting dari segala-segalanya,” tegas Wahyu.

Tags: