Mengenali Istilah Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial
Terbaru

Mengenali Istilah Presidential Threshold dalam Sistem Presidensial

Dalam sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dalam sistem pemilunya masih menganut sistem presidential threshold yang hingga kini masih terus dipersoalkan di MK melalui pengujian Pasal 222 UU Pemilu.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pemilu. Foto: RES
Suasana di depan gedung MK saat sengketa pemilu. Foto: RES

Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi melalui sistem perwakilan. Indonesia adalah salah satu negara hukum yang mewujudkan demokrasi dengan sistem perwakilan itu. Dalam sejarah ketatanegaraan, Indonesia pernah menerapkan sistem parlementer yang kemudian berubah menjadi sistem presidensial pasca reformasi. Hal tersebut berdampak pada sistem kepemiluan dengan menganut sistem presidential threshold dalam sistem pemerintahannya.

Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Sistem presidensial ini dapat dikatakan pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara jelas. Akibat sistem ini posisi antara eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Melalui bukunya berjudul Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (2007), Jimly Asshiddiqie mengemukakan sembilan karakter dalam sistem presidensial. Menurut Jimly Assiddiqie, terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Presiden merupakan kekuasaan eksekutif tunggal yang tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.  

Selanjutnya, presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara; presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif atau sebaliknya; presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen. Selain itu, eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlementer.

(Baca Juga: Presidential Threshold Dinilai Melemahkan Sistem Presidensial)

Jimly Assiddiqie pun menjelaskan prinsip-prinsip dalam sistem presidensial diantaranya presiden dan wakil presiden satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif yang tertinggi di bawah UUD; Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang secara politik tidak bertanggung jawab kepada MPR atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya; Presiden dan wakil presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi.

Para menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, sehingga bertanggung jawab kepada presiden, tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Untuk membatasi kekuasaan presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat untuk menjamin stabilitas pemerintahan; ditentukan pula masa jabatan presiden lima tahunan, tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.

Lalu apa dan bagaimana posisi presidential threshold dalam sistem pemerintahan presidensial? Istilah presidential threshold berasal dari bahasa Inggris. Secara etimologi, kata presidential menurut Oxford Dictionary memiliki makna relating to a president of presidency atau dapat dipahami berhubungan dengan presiden.

Sedangkan kata threshold memiliki arti the still of a doorway; the entrance to a house or building; any place or point of entering or beginning. Secara sederhananya dapat dipahami sebagai ambang batas atau ambang dari sebuah permulaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ambang batas memiliki arti tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.

Dalam Konstitusi Indonesia, Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.” Dalam pasal 6A ayat (5) UUD Tahun 1945 menjelaskan mengenai tata cara pelaksanaan Pilpres yakni tata cara pelaksanan pemilihan presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Namun, UUD Tahun 1945 tidak mengatur tata cara pelaksanaanya secara jelas.

Aturan tersebut memberi kewenangan pembentuk UU untuk membuat peraturan yang komprehensif berkaitan dengan tata cara pelaksanaan pilpres. Dalam naskah akademik rancangan UU Pemilu disebutkan ambang batas pemilihan presiden untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang efektif. Dalam Pemilu 2019 lalu diharapkan dengan adanya ambang batas presidensial dapat memperkokoh sistem presidensial yang dianut Indonesia.

Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini yakni UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengatur persyaratan pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu terkait adanya ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden. Perolehan kursi sebanyak 20% di parlemen atau perolehan suara nasional sebanyak 25% berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya menjadi persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam artikel Klinik Hukumonline berjudul “Arti Presidential Threshold dalam Pemilu yang ditulis Feri Amsari disebutkan ambang batas atau threshold dipahami dalam fungsi dan kegunaanya sebagai batas minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu. Penerapan threshold untuk mengurangi jumlah peserta pemilu, jumlah partai politik yang duduk di lembaga perwakilan, dan jumlah partai politik atau kelompok partai politik dalam pencalonan presiden dan wakil presiden.

(Baca Juga: Arti Presidential Threshold dalam Pemilu)

Menurut Jimly Asshidiqie, dalam makalahnya berjudul “Memperkuat Sistem Pemerintahan Presidensial (2011)” pengaturan ambang batas (threshold) yakni mekanisme yang digunakan dalam sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai. Presiden membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen. Sebab, tanpa dukungan mutlak, presiden sangat mungkin menjadi kurang decisive (penentu) dalam upaya menggerakan jalannya pemerintahan dan pembangunan.

“Dengan adanya sistem threshold ini, dalam jangka panjang diharapkan dapat menjamin penyederhanaan jumlah partai politik di masa yang akan datang. Makin tinggi angka ambang batasnya diasumsikan semakin cepat pula upaya mencapai penyederhanaan jumlah partai politik,” kata Jimly dalam makalahnya.   

Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/PUU-VII/2009 mengenai presidential threshold merupakan kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Presidential threshold dianggap tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena tidak menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, serta tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik.

Sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 ketentuan mengenai Presidential Threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Istilah kebijakan hukum terbuka ini dimaknai sebagai suatu kebebasan pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan hukum terkait presidential threshold ini. Karena itulah, dalam sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dalam sistem pemilunya masih menganut sistem presidential threshold yang hingga kini masih terus dipersoalkan di MK melalui pengujian Pasal 222 UU Pemilu.

Tags:

Berita Terkait