Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum
Berita

Staatsnoodrecht dalam Pandangan Tiga Tokoh Hukum

Jika negara dalam keadaan darurat, maka hukum yang berlaku adalah hukum darurat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kolase Mr Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Herman Sihombing, dan Prof. Jimly Asshiddiqie. Foto: Istimewa
Kolase Mr Iwa Kusuma Sumantri, Mr. Herman Sihombing, dan Prof. Jimly Asshiddiqie. Foto: Istimewa

Indonesia termasuk salah satu negara yang paling rawan bencana. Potensi bencana bukan saja berasal dari alam, tetapi juga kondisi sosial. Krisis moneter 1997-1998, misalnya, dapat dipandang sebagai salah satu bencana yang membutuhkan penanangan darurat. Dengan kondisi demikian, seharusnya perhatian para ahli hukum terhadap hukum kebencanaan atau hukum tata negara darurat terbilang minim.

Itu pula yang disayangkan para hukum tata negara Jimly Asshiddiqie. Perundang-undangan nasional disusun dalam asumsi keadaan normal. Padahal, keadaan darurat itu dapat muncul sewaktu-waktu. Karena itu, ia meminta kalangan akademisi dan civitas akademika hukum menaruh perhatian dan melakukan kajian untuk menyusun hukum dalam kondisi darurat.

Jimly satu dari sedikit akademisi hukum Indonesia yang menaruh perhatian pada masalah ini. Penelusuran hukumonline menemukan nama lain, akademisi Universitas Padjadjaran yang juga pahlawan nasional Mr Iwa Kusuma Sumantri, dan akademisi Universitas Andalas Padang Mr Herman Sihombing. Berikut pandangan mereka bertiga tentang hukum tata negara darurat (staatsnoodrecht).

Mr Iwa Kusuma Sumantri

Dalam bukunya ‘Ilmu Hukum dan Keadilan’ (1956), pahlawan nasional yang pernah menjadi akademisi di Universitas Padjadjaran Bandung, Mr Iwa Kusuma Sumantri, mendefinisikan hukum darurat sebagai hukum yang sengaja diadakan dalam dan untuk keadaan darurat, yakni keadaan yang sempit dan genting, keadaan yang sangat membahayakan.

(Baca juga: ‘Revolusi Hukum’ ala Mr Iwa Kusuma Sumantri).

Menurut Sumantri, hukum darurat biasanya termuat dalam undang-undang darurat. Undang-undang darurat itu dibuat oleh Pemerintah dengan syarat-syarat: keadaan mendesak; keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara; utuk mengatasi keadaan dan kesulitan-kesulitan yang timbul dari keadaan bahaya tersebut; tidak ada kesempatan buat membicarakan dengan parlemen (dan Senat); dan undang-undang hanya berlaku selama ada bahaya. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, kata dia, undang-undang yang dibuat pemerintah melanggar sistem demokrasi, melanggar prinsip kerakyatan dan biasanya melanggar hak asasi manusia.

Hukum darurat disusun dan berlaku untuk ‘mengatasi kegentingan’, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya pada waktu kegentingan itu. Dengan ciri demikian, maka ternyata bahwa hukum yang masih dibiarkan berlaku dari masa penjajahan Belanda bukan hukum darurat; ia masih dianggap perlu berlaku dan belum sempat dihapuskan karena belum ada gantinya; ciri untuk mengatasi kegentingan sama sekali pada hukum yang demikian.

Ciri untuk mengatasi kegentingan untuk menolak bahaya itu dengan sendirinya menimbulkan keistimewaan kepada sifat hukum darurat. Umumnya keadaan genting itu menimbulkan kesempitan dalam segala lapangan. Jadi, hukum darurat tidak sama seperti hukum positif biasa, tetapi ia bersifat istimewa sempit dank eras. Hukum darurat seringkali bertentangan dengan kesadaran keadilan umum. Tetapi kesadaran keadilan seringkali berubah dalam keadaan genting dan sempit. Maka, sangat mungkin bahwa hukum darurat pun sesuai atau agak sesuai juga dengan kesadaran keadilan umum yang berubah-ubah out, menyesuaikan dengan kenyatakaan. Ada kebutuhan keadilan baru.

Penyusunan hukum darurat sangat bergantung pada pemerintah dan alat kekuasaannya pada masa genting. Jika mereka berasal dari orang yang tidak menghargai hak orang lain, dan lebih mementingkan kedudukannya, maka keadaan genting itu akan mempengaruhi jiwa mereka  sehingga sama sekali tak mengindahkan jiwa rakyat, kemerdekaan rakyat, dan bisa membahayakan jalannya negara. Tidak akan sesuai dengan keadilan.

Jadi, hukum darurat harus disesuaikan dengan kesadaran keadilan umum. Keadaan darurat tidak boleh dipergunakan sebagai alasan untuk mengadakan peraturan dan tindakan sewenang-wenang. Jika hukum darurat dan pelaksanaannya tidak adil dan memperkosa hak-hak rakyat, maka rakyat lama kelamaan akan mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah darurat sehingga justru membahayakan kedudukan negara dan pemerintgahan itu sendiri.

Mr. Herman Sihombing

Herman Sihombing adalah Guru Besar Universitas Andalas Padang. Ia salah seorang ahli hukum tata negara yang secara khusus membuat karangan ‘Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia (1996). Buku karyanya ini sering dikutip dalam pembahasan tata negara darurat.

(Baca juga: Mengenang Profesor Herman Sihombing, Orang Batak di Ranah Minang).

Herman mendefinisikan hukum tata negara darurat sebagai rangkaian pranata dan wewenang negara secara luar biasa dan istimewa, untuk dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya dapat menghapuskan darurat atau bahaya yang mengancam, ke dalam kehidupan biasa menurut perundang-undangan dan hukum yang umum dan biasa.

Menurut Prof. Herman, unsur-unsur dalam Hukum Tata Negara darurat adalah (i) adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa; (ii) upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada; (iii) kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal; dan (iv) wewenang luar biasa dan hokum tata negara darurat berlaku untuk sementara waktu saja sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi.

Dijelaskan pula bahwa hokum tata negara darurat sangat penting dalam kehidupan bernegara, dan itu sebabnya diatur dalam setiap konstitusi. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan Presiden menyatakan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 184 Konstitusi RIS mengatur keadaan yang sama dengan menentukan dua macam jenis atau tingkatan keadaan bahaya yakni keadaan perang dan keadaan darurat perang. UUDS 1950 lebih kurang sama mengatakan “dengan UU ini Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dan keadaan bahaya dan akibat pernyataan itu diatur lebih lanjut dalam UU. Sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, keadaan bahaya diatur dalam UU No. 74 Tahun 1957 dan UU No. 6 Tahun 1946, plus beberapa aturan Regeling SOB Staatblad Tahun 1939 No. 582. Setelah kembali ke UUD disusunlah UU No. 23 Tahun 1959, yang semula berbentuk Perppu.

(Baca juga: 3 Aturan Ini Jadi Rujukan Utama dalam Hukum Tata Negara Darurat).

Kapan keadaan darurat berakhir? Pernyataan keadaan bahaya dan penghapusan keadaan bahaya harus diumumkan ke masyarakat. Misalnya Keppres No. 225 Tahun 1957 tanggal 17 Desember 1957 tentang pernyataan seluruh wilayah RI dalam keadaan bahaya menurut UUKB 1957. Keadaan bahaya berakhir dalam artian formil maupun materiil sebab adakalanya dipandang oleh penguasa  ada bahaya secara sungguh-sungguh, tetapi dapat dihadapi oleh alat kekuasaan biasa. Maka keadaan demikian tidak dinyatakan dalam bahaya.  Sebaliknya masih ada bahaya secara nyata, tetapi menurut pertimbangan pemerintah keadaan itu dipandang sudah tidak berbahaya lagi, maka hal itu dihapuskan saja. Jadi, soal bahaya atau tidak berbahaya, dari sudut ini tidak semata-mata soal yuridis, tetapi sangat besar soal politik.

Dalam UU No. 23 Tahun 1959 dinyatakan ada tiga tingkatan bahaya atau darurat. Karena itu, ada beberapa kemungkinan dalam penghapusan bahaya, yakni: penghapusan keadaan perang, jika seluruh atau sebagian saja wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan perang; penghapusan darurat militer, jika ada wilayah yang dinyatakan darurat militer; dan penghapusan darurat sipil jika di daerah tertentu dinyatakan bahaya darurat sipil.

Ia menegaskan bahwa tidak mungkin pernyataan penghapusan darurat militer, padahal di daerah itu hanya berstatus darurat sipil. Lalu, apakah menghapus keadaan bahaya itu semata-mata hak prerogatif presiden? Prof. Herman berpendapat tidak. Akibat penghapusan keadaan bahaya: negara kembali ke keadaan normal, yakni kepada keadaan semula seperti sebelum ditetapkannya keadaan bahaya.

Berkaitan dengan akibat keadaan bahaya yang kemudian berakhir, berlaku suatu prinsip hukum: het verkregen rechten, erkend is (the vested right is recognized). Artinya, apa yang sudah diperoleh dalam peraturan lama tetap diakui dalam situasi baru oleh hukum baru.

Jimly Asshiddiqie

Ketua Mahkamah Konstitusi (Agustus 2003-Maret 2009) ini menulis buku ‘Hukum Tata Negara Darurat’ dan diterbitkan pada 2007. Dalam sebuah diskusi di Depok 15 April lalu, Jimly menawarkan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk menerbitkan kembali buku tersebut karena isinya masih relevan. Indonesia, kata dia, adalah daerah rawan bencana.

Pengertian keadaan darurat di berbagai negara berbeda-beda, termasuk dalam hal kriteria suatu keadaan dikualifikasi sebagai keadaan darurat. Dalam UUD 1945 ada dua istilah yang relevan digunakan yakni keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua istilah ini merujuk pada kondisi yang sama, yaitu keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal.

Menurut Jimly, seberat apapun persoalan darurat yang terjadi, sudah seharusnya dapat diatasi dengan instrumen hukum ada untuk menjamin berjalannya fungsi-fungsi kekuasaan yang melindungi kepentingan seluruh rakyat.  Jika tidak ada jalan lain yang mungkin, barulah diterapkan keadaan darurat. Hukum yang berlaku di negara darurat itu, kata Jimly, adalah hukum yang bersifat darurat (martial law, etat de siege).  

Di Indonesia, keadaan darurat dibedakan menurut tingkatan bahayanya, yakni darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. UU No. 23 Tahun 1959 menggunakan tiga kriteria untuk menentukan suatu keadaan darurat. Pertama, keamanan dan ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam sehingga tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Indonesia dengan cara apapun. Ketiga, hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau doikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.

Jimly berpendapat sistem norma hukum yang digunakan di negara dalam keadaan normal dan negara dalam keadan tidak normal harus berbeda. Dalam keadaan bahaya atau darurat, norma hukum normal tidak dapat diterapkan sebagai instrument untuk mengatasi keadaan. Diperlukan norma hukum tersendiri yang dapat mengatasi keadaan darurat. Termasuk dalam hal peran alat-alat kelengkapan negara.

Dalam seminar tentang hukum tata negara darurat, 15 April lalu, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Qurrota Ayuni, mengutip pandangan Jimly yang menyebutkan bahwa parlemen punya peran untuk membatasi keadaan darurat melalui berbagai keterlibatan. Pertama, bentuk pengawasan yang ketat dalam menentukan adanya suatu keadaan darurat. Kedua, membentuk kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu. Ketiga, memantau pelaksanaan kewenangan pemerintahan eksekutif yang mengatasi keadaan tidak normal itu. Keempat, menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan kewenangan eksekutif dalam keadaan darurat itu. Kelima, jika diperlukan parlemen dapat menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat atau meminta presiden untuk mengakhirinya.

Tags:

Berita Terkait