Ironis, dari Ribuan Potensi Indikasi Geografis Indonesia Baru 67 Terdaftar di DJKI
Utama

Ironis, dari Ribuan Potensi Indikasi Geografis Indonesia Baru 67 Terdaftar di DJKI

DJKI akan mempermudah proses pendaftaran dari yang sebelumnya harus melengkapi dokumen yang tebalnya bak disertasi, sekarang cukup 5 sampai 7 lembar yang berisi analisis singkat soal IG yang akan didaftarkan.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Seminar Nasional Indikasi Geografis di Graha Pengayoman, Kemenkumham, Senin, (30/7). Foto: HMQ
Seminar Nasional Indikasi Geografis di Graha Pengayoman, Kemenkumham, Senin, (30/7). Foto: HMQ

Bicara tentang Indikasi Geografis (IG) berarti bicara soal nilai ekonomi potensial yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Bila nilai ekonomi tersebut diakui, dibina dan dikembangkan maka produk yang dihasilkan akan memiliki nilai tawar yang tinggi, baik pada tataran nasional maupun internasional. Terbukti, beberapa IG Indonesia yang bernilai ekonomi justru dilirik dan didaftarkan dalam prosedur pendaftaran merek di negara lain. Kopi Toraja misalnya, yang mereknya sudah didaftarkan oleh Key Coffee Co. di Jepang sejak 1974.

 

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Harris, menjabarkan setidaknya terdapat 3 alasan mengapa suatu produk berindikasi geografis (IG) harus didaftarkan. Pertama, berkaitan dengan perlindungan nama geografis. Artinya ketika suatu produk sudah terdaftar sebagai IG, maka tidak ada lagi yang boleh memakai nama geografis pada produk sejenis. Kedua, jaminan keaslian asal suatu produk. Ketiga, jaminan kualitas produk.

 

Contoh lain adalah Tenun Palembang. Menurut Freddy, ketika didaftarkan di IG, maka tenun itu hanya boleh diproduksi di wilayah Palembang dan oleh orang-orang yang hidup di wilayah Palembang, tidak boleh di produksi di luar wilayah itu sehingga akan ada keterbatasan supply dan demand yang nantinya akan berubah, di mana supply-nya pasti hanya itu saja sementara demand-nya akan tinggi.

 

Itulah yang terjadi pada Kopi Gayo, saat belum didaftarkan harganya Rp50 ribu paling tinggi, setelah didaftarkan harganya sudah Rp120 ribu. Sama dengan kopi Toraja, sekarang saya jamin tak bisa minum kopi toraja yang kualitas 1 di Indonesia karena kualitas 1 nya sudah ekspor semua. Begitulah IG ini bekerja,” ungkap Freddy dalam Seminar Nasional Indikasi Geografis di Graha Pengayoman, Kemenkumham, Senin, (30/7).

 

Freddy mengimbau sudah saatnya Indonesia melek Intelectual Property (IP). Menurutnya, AS, China, Jepang, Korea dan Eropa menjadi negara maju karena IP nya yang sangat kuat, hanya negara-negara berkembang yang masih bergantung pada kekayaan alam (natural resources). Bahkan China, kata Freddy, sudah melindungi obat-obatan tradisional mereka, sementara Indonesia belum. Mirisnya, sudah sejak 17 tahun UU Indikasi Geografis ini berlaku di Indonesia, tapi sampai saat ini juga belum banyak yang peduli.

 

“Tapi kalau ini nanti sudah diambil orang, diambil Malaysia misalnya, baru kita heboh. Jangan sampai tiba-tiba rendang, reog, songket palembang, songket pandai sikek dan macam-macam diakui negara lain, orang baru marah-marah ke DJKI. Padahal tidak pernah daftarkan IG nya ke kita,” tukas Freddy.

 

Ironinya, berdasarkan rilis yang dikeluarkan Kemenkumham ter-tanggal 30/07/2018, hingga saat ini baru 67 produk Indikasi geografis (IG) yang terdaftar di DJKI, di antaranya 61 produk Indonesia dan 6 produk dari luar negeri. Namun, Freddy tak menampik saat ditanya soal salah satu kelemahan yang membuat sedikitnya pendaftaran IG adalah rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi, ditambah lagi tidak tersedianya anggaran untuk mendaftar dari pemerintah daerah (pemda) khususnya dinas perdagangan atau pertanian.

 

Sebagai informasi tambahan, prosedur pendaftaran IG yang telah dirangkum dalam laman resmi DJKI berdasarkan PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis mengenai prosedur pendaftaran terdiri dari beberapa tahapan, yakni tahap pengajuan permohonan, pemeriksaan administratif, pemeriksaan subtantif, pengumuman, Oposisi pendaftaran, Pendaftaran, Pengawasan terhadap pemakaian Indikasi-Geografis dan tahapan Banding jika terjadi penolakan permohonan.

 

Merespons isu tersebut, Freddy mengungkapkan bahwa pihaknya akan mempermudah proses pendaftaran dari yang sebelumnya harus melengkapi dokumen yang tebalnya bak disertasi, sekarang akan dipangkas cukup 5 sampai 7 lembar yang berisi analisis singkat soal IG yang akan didaftarkan. Nantinya, sambung Freddy, ada 2 sertifikat terkait IG ini yang akan dikeluarkan DJKI, yakni sertifikat pendaftaran dan sertifikat perlindungan.

 

“Yang penting kami imbau masyarakat daftarkan dulu, tidak usah takut, nanti kami akan review dan juga nanti pendaftaran akan online per-17 Agustus. Setelah didaftar nanti kita bakal asistensi dan akan kita buatkan sertifikat. Jangan sampai orang Indonesia ini bangsanya sendiri dibikin susah sementara orang asing dibikin mudah,” tukas Freddy.

 

Yang penting dipahami, kata Freddy, ada 3 jenis Indikasi geografis, yakni sumber daya alam yang diolah manusia, Kerajinan dan Pengetahuan Tradisional. Jadi IG itu harus ada indikasi intelektualnya, jabar Freddy, tidak bisa yang betul-betul murni dari alam,” terangnya.

 

Salah satu contoh yang tidak termasuk produk IG adalah ikan patin yang ditangkap di sungai Musi. “Kecuali ikan yang ditangkap itu diberi makan dan dikembang biakkan oleh manusia dalam suatu penangkaran, maka penangkaran itu bisa dilindungi,” katanya.

 

(Baca: Perlindungan Indikasi Geografis Aset Nasional dari Pendaftaran oleh Negara Lain)

 

Adapun pihak yang bisa mendaftarkan IG ini, jelas Freddy, yakni pihak pengrajin dan Pemerintah Daerah setempat atau orang-orang (masyarakat) yang tinggal di daerah itu. Unsur kedaerahan yang sangat ditonjolkan dalam keunikan IG ini, dianggap Freddy sebagai bentuk nyata pemberdayaan ekonomi lokal yang diharapkan Presiden.

 

Saat ditanya soal bentuk perlindungan internasional yang akan didapatkan dari pendaftaran IG, Freddy menjawab bahwa kalau sudah terdaftar di DJKI nanti akan kita bawa ke World Intelectual Property Organization (WIPO). Baru antara 66-67 yang terdaftar ke DJKI, kalau ke WIPO nya kita lagi nunggu Peraturan Pemerintah tentang pendaftaran indikasi geografis luar negeri,” ungkap Freddy.

 

Lantas apa yang membedakan perlindungan warisan budaya yang didaftarkan pada Dirjen Warisan Budaya Kemendikbud RI dengan IG yang didaftarkan pada DJKI? Adakah tumpang tindih dalam hal ini?

 

Menurut Freddy, perbedaannya terletak pada aspek komersialisasinya. Budaya pendaftaran internasionalnya ditujukan kepada UNESCO melalui Ditjen Warisan Budaya Kemendikbud, tetapi kalau budaya tersebut ingin dikomersilkan maka pendaftarannya ditujukan kepada DJKI.

 

“Budaya itu juga perlu dilindungi secara komersial, contoh seperti tari-tarian kan orang bayar, mau mengundang tari-tarian ini kan tidak gratis. Jadi ketika ada transaksi ekonomi di situ, maka dia harus didaftarkan di kita (DJKI),” tukas Freddy.

 

Jadi, tegas Freddy, yang didaftarkan di Ditjen Warisan Budaya adalah persoalan budayanya, sedangkan DJKI persoalan komersialisasinya. Untuk itu, Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) dibutuhkan sebagai frontliner dalam penguatan promosi IG terdaftar ini.

 

Deputi Fasilitas HKI dan Regulasi Bekraf, Ari Julianto Gema, mengamini bahwa pihaknya telah diminta oleh DJKI untuk membantu dalam hal promosi agar produk IG Indonesia mendapatkan tempat dan berkembang baik di pasar dalam maupun luar negeri.

 

“Tidak menutup kemungkinan, kata Ari, jika memang banyak produk-produk potensi IG yang bisa didaftarkan kita bisa bantu di situ, karena banyak juga produk-produk Bekraf yang bahan baku salah satunya dari produk IG,” kata Ari.

 

Bentuk bantuan yang akan diberikan Bekraf seperti pengemasan. Menurut Ari, produk yang sudah terdaftar belum tentu laku di pasar. Untuk itu, dia menegaskan bahwa Bekraf akan bantuk agar pengemasan produk IG yang sudah terdaftar itu lebih bernilai jual, bernilai tambah, lebih menarik dan sebagainya. Tapi yang harus diingat, kata Ari, pengemasan itu hanyalah satu bagian dari kegiatan promosi, karena yang tak kalah penting dari promosi adalah menjadikan suatu produk berkualitas terlebih dahulu.

 

Prosesnya kalau masyarakat ingin ikut pengemasan di Bekraf, tentunya masyarakat harus punya IG terdaftar dulu baru bisa ikut program tersebut, kemudian diajukan melalui kelompok-kelompok pemilik IG nya, bukan perorangan tentunya. Karena indikasi geografis ini kan milik daerah tertentu,” jelas Ari.

 

Dalam Kegiatan yang sama, Menkopolhukam Wiranto mengakui betapa pentingnya perlindungan atas Indikasi geografis Indonesia. Wiranto menyebut sudah bukan saatnya Indonesia menggantungkan hidupnya pada natural resources (kekayaan alam) semata, mengingat kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah tidak akan pernah bisa menghidupi rakyat Indonesia hingga masa depan. Tebukti, kata Wiranto, persaingan global yang terjadi dewasa ini bukan lagi soal natural resources melainkan kompetisi antara human capital (sumber daya manusia).

 

Dalam suatu persaingan global, harus ada kesadaran perlindungan kekayaan alam dan budaya global akan indikasi geografis, banyak budaya kita yang coba dibajak negara lain, sekarang bagaimana kita mengolah secara maksimal dan melindungi indikasi geografis sebagai HKI,” jelas Wiranto.

 

Tags:

Berita Terkait