Ironi Nurdin Abdullah
Berita

Ironi Nurdin Abdullah

Selain penerima penghargaan anti korupsi, Nurdin juga mengelak di depan wartawan namun mengaku saat pemeriksaan.

Aji Prasetyo
Bacaan 7 Menit
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: RES

Sudah berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan agar para kepala daerah amanah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin bagi rakyat, salah satunya tidak melakukan perbuatan korupsi. Namun berkali-kali pula KPK menangkap para “Raja Kecil” tersebut termasuk salah satunya yang baru saja terjadi Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Ironisnya, Nurdin merupakan penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 lalu ketika menjabat sebagai Bupati Bantaeng. BHACA adalah penghargaan yang diberikan organisasi tersebut bagi tokoh yang dianggap bersih dari praktik korupsi serta tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan termasuk memberi maupun menerima suap.

Pemilik akun twitter @BungHattaAward mengatakan bahwa dirinya begitu terkejut dan turut perihatin tentang berita yang menimpa Nurdin Abdullah. “Kini kami menunggu konferensi pers KPK mengenai hasil pemeriksaan 1x24 jamnya. Terima kasih atas perhatian kawan2 semua,” ujar pemilik akun twitter tersebut. (Baca Juga: “Fee Lawyer” Hotma Sitompul di Kasus Bansos Ditelisik KPK)

Selain menerima BHACA, Nurdin juga mempunyai sederet prestasi lainnya, sebut saja penerima penganugerahan sebagai Tokoh Perhutanan Sosial di tahun 2019 oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Paramakarya 2019 sebagai prestasi di bidang pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, penghargaan Anugerah Gatra 2019 Inovasi Pembangunan untuk Indonesia Maju, dan yang terbaru yaitu pada pertengahan Januari 2021 kemarin ia meraih penghargaan dari OJK RI karena berhasil menggerakkan ekonomi daerah bidang inklusi keuangan, dan penggerak financial technology (fintech) rangkaian pemulihan ekonomi nasional.

Namun kenyataan justru sebaliknya meskipun ini masih sebatas dugaan dan perlu pembuktian di persidangan. Namun setidaknya Nurdin dianggap KPK melakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dan gratifikasi oleh Penyelenggara Negara atau yang mewakilinya untuk pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020-2021.

Kepada wartawan usai diperiksa penyidik Nurdin mengelak dan menyalahkan anak buahnya Edy Rahmat selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulawesi Selatan, yang juga menjadi tersangka dalam perkara yang sama.Ternyata Edy itu melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Sama sekali tidak tahu, demi Allah demi Allah,” ucap Nurdin di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (28/2).

Meski membantah, Nurdin mengaku ikhlas menjalani proses hukum yang menjeratnya saat ini dan memohon maaf kepada masyarakat Sulsel.Saya ikhlas menjalani proses hukum karena memang kemarin itu tidak tahu apa-apa kita, saya mohon maaf,” ujar Nurdin sebelum memasuki mobil tahanan.

Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menganggap bantahan yang diucapkan tersangka merupakan hal biasa dan hak yang bersangkutan. “Kami tegaskan, KPK telah memiliki bukti yang kuat menurut hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi dimaksud. “Kami harap para tersangka dan pihak2 lain yang nanti kami panggil dan diperiksa dalam perkara ini agar kooperatif menerangkan fakta2 sebenarnya yang mereka ketahui dihadapan penyidik,” ujar Ali.

Bantahan yang disampaikan Nurdin tersebut juga bertolak belakang dari informasi yang diperoleh Hukumonline. Seorang penegak hukum berkata jika dalam pemeriksaan Nurdin justru mengakui penerimaan uang tersebut. “Ngelak ya biasa, wong penerimaan-penerimaan lainnya aja sudah diakuinya,” ujar penegak hukum tersebut.

Jalan masuk

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta penetapan Nurdin sebagai tersangka menjadi pintu masuk menelusuri aspek-aspek lain yang berkaitan. Pertama penelusuran aliran dana dari uang suap yang diduga diterima oleh Nurdin. KPK perlu menelusuri hal tersebut untuk membuktikan apakah ada pihak lain yang turut menikmati uang tersebut, baik individu, atau organisasi seperti partai politik. Jika terbukti, maka pihak-pihak tersebut patut untuk ikut dijerat.

Penelusuran itu menurut ICW menjadi penting mengingat biaya politik dalam kontestasi pemilu di Indonesia teramat mahal. Untuk menutupi kebutuhan pemilu, kandidat pejabat publik seperti kepala daerah kerap menerima bantuan dari pengusaha. Kandidat juga perlu memberikan mahar politik kepada partai politik. Sehingga saat menjadi pejabat publik, ia akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan “balas budi” ataupun memfasilitasi permintaan dari pihak-pihak tersebut. Upaya tersebut diantaranya adalah praktik-praktik korupsi.

Kedua, KPK perlu mendalami dugaan keterlibatan Nurdin dalam proyek-proyek infrastruktur lainnya. Nurdin pernah disebut-sebut memanfaatkan kewenangannya dalam memberikan AMDAL terhadap dua perusahaan pertambangan pasir, yaitu PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.

“Nurdin diduga menekan bawahannya agar perusahaan tersebut mudah mendapatkan AMDAL. Perusahaan tersebut lalu diketahui terafiliasi dengan dirinya dan berisikan orang-orang yang pernah menjadi tim sukses dalam kontestasi pilkada. Perusahaan itu juga diketahui akan memasok kebutuhan proyek infrastruktur Makassar New Port yang merupakan proyek strategis nasional,” ujar ICW dalam keterangan tertulisnya.

Kasus Nurdin, menurut ICW juga menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur secara keseluruhan. Pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang masif dan menyebar di seluruh Indonesia telah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo.

Namun kita perlu melihat bahwa nafsu untuk membangun infrastruktur justru dapat berimbas pada munculnya praktik-praktik korupsi yang meluas, bagi-bagi konsesi, serta kerugian bagi warga yang berlokasi di sekitar proyek infrastruktur.

Jadi tersangka suap

KPK sebelumnya menetapkan Nurdin sebagai tersangka kasus korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji dan gratifikasi oleh Penyelenggara Negara atau yang mewakilinya untuk pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020-2021.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan kronologis penetapan tersangka yang bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh timnya. Bermula pada Jumat 26 Februari 2021, Tim KPK menerima informasi dari masyarakat akan adanya dugaan terjadinya penerimaan sejumlah uang oleh Penyelenggara Negara yang diberikan oleh Agung Sucipto (AS) kepada Nurdin Abdullah (NA) melalui perantaraan Edy Rahmat (ER) sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan Nurdin.

Pukul 20.24 Wib, Agung bersama supirnya Irfan menuju ke salah satu rumah makan di Makassar dan setiba di rumah makan tersebut telah ada Edy yang telah menunggu. Dengan beriringan mobil, Irfan mengemudikan mobil milik Edy sedangkan Agung dan Edy bersama dalam satu mobil milik Agung menuju ke Jalan Hasanuddin Makassar. Dalam perjalanan tersebut, Adi menyerahkan proposal terkait beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2021.

“Sekitar pukul 21.00 Wib, IF kemudian mengambil koper yang diduga berisi uang dari dalam mobil milik AS dipindahkan ke bagasi mobil milik ER di Jalan Hasanuddin. Selanjutnya sekitar pukul 23.00 Wita, AS diamankan saat dalam perjalanan menuju ke Bulukumba sedangkan sekitar pukul 00.00 Wita, ER beserta uang dalam koper sejumlah sekitar Rp2 miliar turut diamankan di rumah dinasnya, dan pada sekitar Pukul 02.00 Wita, NA juga diamankan di rumah jabatan dinas Gubernur Sulsel,” kata Ketua KPK Firli Bahuri di kantornya.

Konstruksi perkara

Agung yang merupakan Direktur PT APB (PT Agung Perdana Bulukumba) disebut telah lama kenal baik dengan Nurdin berkeinginan mendapatkan beberapa proyek pekerjaan infrastruktur di Sulawesi Selatan TA 2021. Sebelumnya, ia juga telah mengerjakan beberapa proyek lain di Sulsel, di antaranya;

a. Peningkatan Jalan Ruas Palampang - Munte - Bontolempangan di Kab. Sinjai/Bulukumba (DAK Penugasan) TA 2019 dengan nilai Rp28,9 Miliar. b. Pembangunan Jalan Ruas Palampang - Munte - Bontolempangan (DAK) TA 2020 dengan nilai Rp15.7 Miliar. c. Pembangunan Jalan Ruas Palampang - Munte - Bontolempangan 1 1 Paket (APBD Provinsi) dengan nilai Rp19 Miliar. d. pembangunan Jalan Pedisterian dan Penerangan Jalan Kawasan Wisata Bira (Bantuan Keuangan Prov. Sul-Sel 2020 ke Kab. Bulukumba) TA 2020 dengan nilai proyek Rp. 20.8 Miliar. e. Rehabilitasi Jalan Parkiran 1 dan Pembangunan Jalan Parkiran 2 Kawasan Wisata Bira (Bantuan Keuangan Prov. Sul-Sel 2020 ke Kab. Bulukumba) TA 2020 dengan nilai proyek Rp7.1 Miliar.

Sejak bulan Februari 2021, telah ada komunikasi aktif antara Agung dengan Edy sebagai representasi dan sekaligus orang kepercayaan Nurdin untuk bisa memastikan agar Agung mendapatkan kembali proyek yang diinginkannya di tahun 2021. Dalam beberapa komunikasi tersebut, diduga ada tawar menawar fee untuk penentuan masing-masing dari nilai proyek yang nantinya akan kerjakan oleh Agung.

Sekitar awal Februari 2021, ketika Nurdin sedang berada di Bulukumba bertemu dengan Edy dan juga Agung yang telah mendapatkan proyek pekerjaan Wisata Bira. Nurdin di sana menyampaikan pada Edy bahwa kelanjutan proyek Wisata Bira akan kembali di kerjakan oleh Agung yang kemudian Nurdin memberikan persetujuan dan memerintahkan Edy untuk segera mempercepat pembuatan dokumen DED (Detail Engineering Design) yang akan dilelang pada APBD TA 2022.

“Di samping itu pada akhir Februari 2021, ketika ER bertemu dengan NA disampaikan bahwa fee proyek yang dikerjakan AS di Bulukumba sudah diberikan kepada pihak lain. Saat itu NA mengatakan yang penting operasional kegiatan NA tetap bisa di bantu oleh AS. AS selanjutnya pada tanggal 26 Februari 2021 diduga menyerahkan uang sekitar Rp2 Miliar kepada NA melalui ER. Selain itu NA juga diduga menerima uang dari kontraktor lain di antaranya Rp200 juta, pertengahan Februari 2021, NA melalui SB menerima uang Rp1 miliar, awal Februari 2021 NA melalui SB menerima uang Rp2.2 miliar,” terangnya.

Berdasarkan keterangan para saksi dan bukti yang cukup maka KPK menetapkan 3 orang tersangka, yaitu Nurdin dan Edy sebagai penerima disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sementara Agung sebagai pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan para tersangka selama 20 hari ke depan terhitung sejak tanggal 27 Februari 2021 sampai 18 Maret 2021. Nurdin ditahan di Rutan Cabang KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, Edy ditahan di Rutan Cabang KPK pada Kavling C1 dan Adi ditahan di Rutan Cabang KPK pada Gedung Merah Putih.

Tags:

Berita Terkait