Ironi KPK, Protes Korting Putusan MA Tapi Terima Vonis Rendah Koruptor
Berita

Ironi KPK, Protes Korting Putusan MA Tapi Terima Vonis Rendah Koruptor

​​​​​​​KPK juga kerap menuntut rendah para terdakwa korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Sidang pembacaan putusan dengan cara daring (online) mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sebagai terdakwa. Foto: RES
Sidang pembacaan putusan dengan cara daring (online) mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah sebagai terdakwa. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkali-kali mengungkapkan kekecewaannya atas potongan yang diberikan Mahkamah Agung terhadap para terpidana tindak pidana korupsi pada tingkat Peninjauan Kembali (PK). KPK bahkan menyebut hal itu adalah fenomena yang memprihatinkan dan menjadi trend bagi MA untuk memangkas hukuman koruptor yang mengajukan PK.

“Bagi KPK ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa,” kata Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam tanggapannya mengenai dikuranginya hukuman Anas Urbaningrum dari 14 tahun menjadi 8 tahun.

Namun pernyataan itu seolah bertolak belakang terhadap respon KPK atas dua perkara yang baru saja diputus di Jawa Timur. KPK menerima putusan hakim atas perkara korupsi mantan Kepala Dinas Bina Marga Kabupaten Sidoarjo Sunarti Setyaningsih yang divonis penjara selama 1,5 tahun denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp225 juta.

Hanya satu pertimbangan memberatkan yang dialamatkan majelis yaitu perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, di mana Terdakwa sebagai ASN melakukan tindak pidana korupsi dan tidak mempedomani peraturan yang ada. Berbanding terbalik dengan empat pertimbangan meringankan yaitu berlaku sopan, jujur, belum pernah dihukum, punya tanggungan keluarga dan belum menikmati uang korupsi.

“Terdakwa terima, JPU terima (putusan),” kata Ali Fikri memberikan ringkasan putusan termasuk sikap yang diambil Terdakwa maupun penuntut umum atas perkara tersebut. (Baca: Potongan Hukuman Anas Urbaningrum dan "Utang" MA ke KPK)

Sikap yang diambil penuntut umum memang wajar jika dilihat dari lamanya tuntutan yang diberikan penuntut terhadap Sunarti yang hanya 2 tahun denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp225 juta. Ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap dari pihak swasta yang bertentangan dengan Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian juga kepada Saiful Ilah, mantan Bupati Sidoarjo dalam perkara korupsi yang sama. Penuntut hanya meminta majelis menghukumnya selama empat tahun denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti sebanyak Rp250 juta. Majelis hakim pun menghukumnya dengan pidana penjara selama tiga tahun dengan jumlah denda dan uang pengganti yang sama. Atas perkara ini Saiful memilih banding dan penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.

Ada tiga berbanding tiga pertimbangan memberatkan dan meringankan majelis. Untuk memberatkan perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam penanggulangan tindak pidana korupsi, tidak berterus terang dalam memberi keterangan, berstatus ASN/ Penyelenggara Negara. Sementara meringankan belum pernah dipidana, telah berusia lanjut dan sebagai bupati yang telah berjasa dan mensejahterajan Sidoarjo.

Saat ditanya mengapa KPK menerima vonis rendah untuk Sunarti, Ali menjawab jika itu sudah sesuai dengan pasal yang dituntut oleh penuntut umum. “Kalau ancaman maksimal 5 tahun lalu dituntut 4 tahun itu sama enggak kalau ancaman tuntutan 20 tahun dan di tuntut 19 tahun?” jawab Ali. (Baca: 12 Pejabat KPK Dilantik, Dikhawatirkan Terjadi Loyalitas Ganda)

Jika dilihat melalui pasal yang dikenakan, dua Terdakwa dalam perkara ini sama-sama terbukti melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Sementara pasal yang didakwakan yaitu Pasal 12 huruf b UU Pemberatasan Tipikor yang ancaman hukuman minimal adalah 4 tahun denda Rp200 juta dan maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Hukuman rendah

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai sepanjang 2019, pengadilan menjatuhkan hukuman rendah terhadap koruptor. Menurut ICW, rata-rata koruptor hanya dipidana selama 2 tahun 7 bulan bulan. Dan jika putusan pengadilan masih menghukum ringan pelaku korupsi, maka dikhawatirkan pemberian efek jera tidak pernah akan terealisasi dengan baik.

Selain hukuman ringan, menurut ICW, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan, termasuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa perkara korupsi SKL BLBI serta Sofyan Basir mantan Dirut PT PLN yang menjadi terdakwa terkait suap proyek PLTU Riau-1.

ICW mengkategorikan hukuman 0 hingga 4 tahun sebagai vonis ringan, lebih dari 4 tahun hingga 10 tahun vonis sedang, dan hukuman lebih dari 10 tahun sebagai vonis berat. Kurnia memaparkan, dari pemantauan yang dilakukan sepanjang 2019 terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan dengan 1.125 terdakwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 842 terdakwa korupsi divonis ringan. (Baca: Kasasi KPK dan Pertimbangan Hakim Bebaskan Legal Manager Perusahaan Sawit)

Di tahun sebelumnya, menurut Kurnia hanya sekitar 173 terdakwa yang divonis sedang, sembilan terdakwa divonis berat. Bahkan, kata Kurnia, terdapat 41 terdakwa yang divonis bebas dan 13 terdakwa yang divonis lepas. “Tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2019 belum menunjukkan keberpihakan sepenuhnya pada sektor pemberantasan korupsi. Hal ini dikarenakan dalam temuan rata-rata vonis terhadap terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara saja," kata Kurnia beberapa waktu lalu.

Rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah dari rata-rata tuntutan yang disampaikan penuntut umum baik dari Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rata-rata tuntutan Kejaksaan 3 tahun 4 bulan penjara, sementara dari tuntutan Jaksa KPK selama 5 tahun 2 bulan. Secara rinci, Kurnia memaparkan, dari total 911 terdakwa yang dituntut Kejaksaan, sebanyak 604 dituntut ringan, 276 sedang, dan 13 berat. Sementara KPK menuntut 197 terdakwa, dengan 51 terdakwa dituntut ringan, 72 sedang, dan 6 berat.

Sedangkan untuk putusan, kasus yang ditangani Kejaksaan rata-rata divonis 2 tahun 5 bulan penjara. Sedangkan perkara korupsi yang ditangani KPK rata-rata divonis 4 tahun 1 bulan penjara. “Lalu untuk vonis ringan, ketika penuntutnya adalah KPK sebanyak 63 terdakwa dan Kejaksaan sendiri sejumlah 722 terdakwa. Vonis yang dikategorikan berat untuk KPK sendiri sebanyak 2 terdakwa dan Kejaksaan 5 terdakwa,” katanya.

Tags:

Berita Terkait