Public Interest Lawyer, Segudang Misi Sedikit Atensi
Fokus

Public Interest Lawyer, Segudang Misi Sedikit Atensi

Untuk pertama kalinya jaringan pengacara publik menyelenggarakan konperensi nasional. Di pundak mereka dibebankan segudang misi kemanusiaan. Butuh dukungan yang lebih besar.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Soal minimnya advokat profesional yang mau mengabdikan dirinya pada isu-isu publik tak ditampik salah seorang penggagas PIL-Net, Indriaswati Dyah Saptaningrum. Dari sekitar 20 ribuan advokat di seluruh Indonesia, baru sekitar satu persen yang mau mengabdikan dirinya membela kepentingan publik pada pencari keadilan. Katakanlah mengadvokasi kepentingan hukum kaum miskin yang jumlahnya mencapai 32,53 juta orang.

 

Inisiator lain PIL-Net, Abdul Haris Semendawai, mempertegas sinyalemen Indryaswati. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini menilai tidak banyak orang yang mau membela kepentingan publik. Organisasi profesi advokat pun belum sepenuhnya menegakkan kode etik sehingga pengawasan terhadap kewajiban memberi bantuan hukum probono belum maksimal. Walhasil, advokat lebih memilih menangani isu-isu privat yang lebih mendatangkan materi. “Lebih melayani kepentingan klien yang mampu,” tegas Semendawai.

 

Segudang misi

Upaya membangun jaringan para pengacara publik sebenarnya sudah lama dirintis. Nama PIL-Net sudah muncul pada pertengahan 2006 lalu. Setahun kemudian, para pengacara ini melangsungkan rapat kerja, disusul acara serupa tahun berikutnya. Tetapi pertemuan-pertemuan tersebut belum sebesar dan seluas Konperensi Nasional 3-5 Agustus lalu.

 

Perluangan jaringan menjadi suatu keniscayaan lantaran PIL-Net membawa beban yang tidak ringan. Di tengah beragam keterbatasan, para pengacara publik mengemban misi sosial yang cakupan dan dampaknya sangat luas. Tantangannya pun tidak ringan. Mewakili kepentingan publik acapkali membuat pengacara publik berhadapan secara vertikal dengan Pemerintah atau pemegang kekuasaan. Tim Advokasi Tragedi Nunukan, sekumpulan pengacara publik, yang mempersoalkan penanganan TKI di Nunukan Malaysia 2003 silam, harus berhadapan dengan beberapa instansi sekaligus, mulai dari Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Sosial.

 

Semakin kompleksnya persialan masyarakat kian menambah beban misi yang harus diemban PIL. Isu konvensional seperti lingkungan hidup dan hak asasi manusia masih terus bermunculan, kini muncul isu-isu baru. Katakanlah perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus konsumen, menurut Jimly Asshiddiqie, para pengacara publik tak lagi berhadapan secara vertikal dengan penguasa. Pengacara publik (mewakili kepentingan konsumen) berhadapan dengan pengusaha. “Hubungan hukumnya sudah bersifat horizontal,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

 

Jimly berharap para pengacara publik mulai melirik persoalan-persoalan publik yang didasari hubungan hukum horizontal tersebut. “Bukan hendak menghilangkan tanggung jawab negara, melainkan memperluas dimensi hak asasi manusia,” ujarnya. Isu-isu konsumen di mata Jimly akan menjadi pusat perhatian besar ke depan.

 

Don K. Marut memberikan contoh lain yang masih luput dari perhatian advokat dan pengacara publik. “Banyak perjanjian utang luar negeri yang sebenarnya merugikan kepentingan publik,” kata Direktur Eksekutif INFID itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: