Pricing Policy untuk Migas Belum Jelas
Berita

Pricing Policy untuk Migas Belum Jelas

Kebijakan migas yang tidak berpihak pada rakyat dituding sebagai penyebab kenaikan TDL.

Tif
Bacaan 2 Menit
<i>Pricing Policy</i> untuk Migas Belum Jelas
Hukumonline

 

Hal senada disampaikan anggota Komisi VII DPR Ami Taher. Politisi dari F-PKS ini menyatakan bahwa DPR akan mendesak agar Pemerintah prioritas pada kebutuhan dalam negeri, tidak hanya untuk ekspor. Menurut ia, Indonesia menjual terlalu murah ke luar negeri.

 

Kita bisa lihat contoh ketimpangan kebijakan migas ini di NAD. Rakyat NAD dan pimpinan pabrik pupuk PIM menemui kami karena melihat gas diambil dari bumi mereka tapi pasokan gas mereka sulit dipenuhi pemerintah, kata Ami.

 

Nengah menilai industri perlu diperhatikan. Selama ini, lanjut ia, tarif yang selalu dilindungi adalah tarif sosial dan tarif rumah tangga. Padahal, kata Nengah, sebanyak 77 persen rakyat Indonesia merupakan orang miskin dan rasio kelistrikan hanya 53 persen, artinya 47 persen masyarakat belum pakai listrik.

 

Jadi, masyarakat yang makan nasi aking tidak pakai listrik dan tidak secara langsung mendapat pengaruh kenaikan TDL. Bahwa akan ada multiplier effect itu pasti. Kalau kita bicara atas nama rakyat maka rakyat yang belum pakai listrik yang harus dipikirkan, kata Nengah.

 

GM Distribusi Jawa Barat dan Banten PT PLN Murtaqi menjelaskan bahwa perhatian PLN adalah listrik harus tetap menyala. Hal ini penting untuk kesejahteraan masyarakat dan landasan pertumbuhan ekonomi. Ia menambahkan bahwa TDL merupakan domain pengambilan keputusan publik oleh Pemerintah dan PLN tidak pada posisi menaikkan TDL. Sekarang Pemerintah sedang bahas itu bersama DPR. Dari hasil pembahasan DPR disepakati perlu ada audit PLN dan dilakukan BPK. tiap tahun BPK sudah audit PLN, termasuk audit efisiensinya. Karena jika terjadi efisiensi harus ditindaklanjuti PLN. Sebaiknya kita tunggu saja hasil audit BPK ini.

 

Hendri Saparini dari Econit menilai bahwa jika TDL dinaikkan, sudah pasti akan terjadi PHK. Yang harus diperhitungkan, lanjut ia, adalah industrial base yang mengecil yang tidak bisa dikembalikan dalam jangka pendek. Ia menjelaskan bahwa sekali ada yang tutup seperti industri cor logam, maka investor tidak akan mudah kembali.

 

Ini sesuatu yang harus diperhitungkan, tidak hanya sekarang ini cost untuk TDL berapa. Tapi juga secara nasional apa kira-kira biaya nasional yang harus ditanggung, kata Hendri.

 

Dalam hal pengelolaan energi, lanjut ia, seharusnya kenaikan BBM itu pilihan terakhir. Namun Pemerintah menjadikannya sebagai pilihan pertama. Ia khawatir kenaikan TDL yang semestinya menjadi pilihan terakhir juga akan dijadikan sebagai pilihan pertama. Padahal seharusnya kenaikan TDL baru dilakukan setelah efisiensi dan upaya-upaya pengalihan sumber energi sudah dilakukan.

 

Dengan isu TDL yang akan dinaikkan, Hendri menilai Pemerintah sedang berupaya melakukan apapun untuk meningkatkan penerimaan sehingga masalah strategis nasional menjadi terabaikan. Ia mencontohkan pengalihan dana dari BI ke bank komersil. Menurut ia, pola pengambilan kebijakan oleh tim ekonomi Pemerintah bukan hanya membahayakan dalam jangka pendek, tapi juga dalam jangka panjang, karena banyak hal yang tidak dipertimbangkan secara masak.

Pengamat ketenagalistrikan Nengah Sudja menilai pricing policy untuk migas masih belum jelas. Ia mencontohkan kenaikan BBM pada Oktober lalu yang mencapai 3 kali dari harga BBM 2004. Ia menyatakan keheranannya dengan kenaikan yang tidak dilakukan bertahap. Setelah berbicara dengan para pengambil keputusan, lanjut ia, terungkap bahwa keputusan kenaikan BBM langsung tersebut diambil berdasarkan pertimbangan politik. Yaitu kalau dinaikkan sekali maka inflasi juga hanya sekali.

 

Padahal kalau dinaikkan empat kali secara bertahap, inflasi pasti lebih kecil, tidak sebesar sekarang. Kita tidak berpikir teknis ekonomis, tapi politis, yang prinsipnya tidak jelas. Kenaikan itu juga tidak diikuti kenaikan listrik, padahal itu sangat terkait. Terlihat kita berpikir tidak utuh, sepotong-sepotong, tegas Nengah dalam seminar bertema "Kontroversi Kenaikan Tarif Dasar Listrik Telaah Sebab Akibat" di Ruang GBHN, Nusantara V, Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (22/1).

 

Nengah setuju bahwa kebijakan migas harus dibuka. Menurut ia, sampai sekarang tidak ada yang tahu berapa harga yang diberikan pada Malaysia untuk membeli gas dari Indonesia. Ia menilai harus ada badan pengawas energi yang mengawasi hal itu.

 

Sekarang pricing policy kita berpihak kemana. Kalau perlu tarif listrik industri diturunkan. Itu bentuk dumping, untuk mendukung pertumbuhan, meningkatkan persaingan dan kesempatan kerja, ucap Nengah.

Tags: