Investor Tunggu Susunan Kabinet Jokowi-JK
Berita

Investor Tunggu Susunan Kabinet Jokowi-JK

Jadi salah satu faktor domestik penyumbang lemahnya rupiah, selain ada faktor eksternal.

FAT
Bacaan 2 Menit
Joko Widodo dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi. Foto: RES
Joko Widodo dan Jusuf Kalla di Rumah Transisi. Foto: RES
Sikap investor yang menunggu hasil penyusunan kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi salah satu faktor domestik penyumbang lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini diutarakan oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara di Jakarta, Selasa (7/10).

Menurut Tirta, sikap menunggu dari pelaku investor ini masuk sebagai faktor domestik melemahnya rupiah. Selain mengenai hasil penyusunan kabinet, pelaku investor juga menunggu program kerja pemerintahan ke depan termasuk kebijakan penyesuaian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Rupiah secara rata-rata melemah 1,57 persen (month to month) dari bulan sebelumnya menjadi Rp11898 per dolar AS. Secara point to point (ptp), rupiah terdepresiasi sebesar empat persen dan ditutup pada level Rp12.185 per dolar AS,” kata Tirta.

Selain faktor domestik, lanjut Tirta, pelemahan rupiah juga dipengaruhi faktor eksternal, yakni normalisasi kebijakan The Fed yang membuat kenaikan Fed Funds Rate lebih awal dari yang diperkirakan. Faktor eksternal lainnya adalah perlambatan ekonomi Tiongkok serta dinamika global.

“BI akan terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya,” kata Tirta.

Mengenai rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, BI telah menghitung dampak inflasi yang akan terjadi. Namun, hasil hitung-hitungan BI tersebut belum bisa diungkapkan ke publik. “Hitung-hitungan sudah ada, antisipasi, skenarionya jika pemerintah naikkan harga BBM. Tetapi belum bisa di-share sekarang,” katanya.

Ia yakin target inflasi tahun 2014 sebesar 4,5 plus minus satu persen dapat tercapai jika tak ada lagi kenaikan administer price yang lain. Menurut Tirta, target tersebut sudah memperhitungkan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) dan LPG 12 kilogram. “Kalau tidak ada kenaikan administer yang lain, masih bisa tercapai, kami cukup optimis,” katanya.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Solikhin, mengatakan terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, BI akan reaktif. Simulasi hitung-hitungan telah dilakukan Bank Sentral. Misalnya, jika naik Rp1000 bisa menyumbang angka inflasi sebesar 1,1 persen.

Jika kenaikan mencapai Rp3000, maka angka inflasi akan terkerek tiga kali lipatnya. Meski begitu, lanjut Solikhin, seluruh dampak kenaikan harga BBM bersubsidi akan direspon oleh BI secara proporsional. Tujuannya, agar target angka inflasi pada tahun 2015 tetap tercapai.

“Yang penting BI akan respon secara proporsional. Bagaimana capaian inflasi tahun 2015 bisa tercapai dengan baik,” tutur Solikhin.

Ia mengatakan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi bersifat jangka pendek. Sekitar dua atau tiga bulan. Setelah itu, dampaknya akan hilang. Jika kenaikan harga BBM bersubsidi dilakukan pada bulan November, maka, shock yang dirasa masyarakat hanya terjadi hingga bulan Desember. Sehingga pada bulan Januari angka inflasi akan kembali turun.

“Sehingga akhir tahun akan kembali ke kisaran normal. BI akan upayakan inflasi berada pada angka empat plus minus satu persen,” tutup Solikhin.

Sebelumnya, dalam rapat dewan gubernur (RDG) BI pada 7 Oktober 2014 diputuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50 persen, dengan suku bunga lending facility dan suku bunga deposit facility masing-masing tetap pada level 7,50 persen dan 5,75 persen. Kebijakan ini konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi ke sasaran 4,5 persen plus minus satu persen pada 2014 dan empat persen plus minus satu persen pada 2015.
Tags:

Berita Terkait