Kasus yang dianggap tindak pidana kesopanan yang masih bersifat debatable antara seni, kebebasan berekspresi, atau erotis memang belum kunjung selesai di Indonesia. Kasusnya sering mengambang dan hilang disingkirkan oleh berita lainnya. Bahkan, mungkin sengaja diambangkan. Karena, persepsi masing-masing kelompok sangat mungkin berbeda. Utamanya dua arus besar, yakni kaum seniman dan kelompok religius.
Penilaian masyarakat secara umum pun terhadap kesopanan bisa jadi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Kesusilaan atau pun kesopanan bagi kelompok tertentu bukanlah sesuatu yang statis. Kita tunggu hakim sebagai pemegang otoritas untuk memberikan penafsiran erotis atau tidak yang bersifat kontekstual -- bahkan mungkin tentatif -- atas gaya tarian yang dianggap sebagian orang sebagai kebebesan seniman berekpresi yang lebih cenderung memandangnya dari sisi keindahan.
Manusia memang diciptakan begitu indah oleh Sang Pencipta. Namun, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, hakim tidak mungkin memberikan putusan tanpa kasusnya dibawa ke pengadilan. Semuanya bergantung kepada bagaimana kedua pihak yang bersengketa beritikad untuk hanya sekadar jadi berita besar ataukah menemukan penafsiran otentik dan valid atas pengertian erotis.
Penulis adalah praktisi hukum di Jakarta dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.