Intoleransi Bisa Picu Terorisme
Berita

Intoleransi Bisa Picu Terorisme

Pemerintah dinilai belum serius memberantas terorisme.

ADY
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom di Sarinah, Kamis (14/1). Foto: RES
Suasana penanganan teror bom di Sarinah, Kamis (14/1). Foto: RES
Jakarta baru saja dikejutkan serangan orang yang diduga teroris di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Tindak pidana terorisme itu diyakini tidak muncul begitu saja.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menilai intoleransi merupakan awal dari terorisme. Oleh karenanya praktik-praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama harus ditolak.

Setara Institute mencatat peristiwa dan tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beryakinan dan beragama periode 2014-2015 meningkat. Tahun 2014 ada 134 peristiwa dan 177 tindakan pelanggaran. Tahun 2015 jumlahnya meningkat menjadi 197 peristiwa dan 236 tindakan.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menambahkan kemajuan kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2015 belum terwujud. Padahal, dalam Nawacita Presiden Joko Widodo berjanji untuk menciptakan suasana yang mendukung terciptanya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Ismail mengatakan intoleransi bisa mengarahkan pada terorisme. Ada tahapan yang dilalui oleh seseorang sebelum menjadi teroris. Ia melihat sebagian teroris, terutama yang ada di Indonesia, awalnya bergabung dengan kelompok intoleran. Kemudian seiring berjalannya waktu beralih menjadi teroris. "Intoleransi itu titik mula terorisme. Terorisme itu puncak dari intoleransi," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (18/1).

Sebagaimana pantauan Setara Institute, Ismail menekankan banyak kasus intoleransi terjadi di Indonesia. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah terlihat tidak serius menuntaskan masalah intoleransi. Rencana aksi pemberantasan terorisme yang dilakukan pemerintah selama ini tidak mampu memutus rantai reproduksi aktor teroris. "Pemberantasan terorisme yang dilakukan pemerintah sejak 2002 sampai sekarang belum efektif," ujarnya.

Ismail mengusulkan agar energi sosial anti teror yang berkembang pasca serangan teroris di Jakarta diarahkan untuk memerangi praktik-praktik intoleransi. Menurutnya pemerintah harus mengutamakan tindakan mitigasi untuk memberantas teroris daripada menggunakan cara-cara represif karena dapat memantik munculnya aktor teroris baru.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, berpendapat intoleransi muncul di Indonesia itu ada yang pasif dan aktif. Intoleransi pasif seperti agama yang mengajarkan kepada pengikutnya menjadi fundamentalis sehingga menanggap ajarannya paling benar dan yang lain sesat. Intoleransi pasif tidak langsung terwujud karena ada kekuatan eksternal yang membatasi seperti aturan hukum, sosial dan ideologi negara.

Untuk intoleransi aktif wujudnya dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Itu dapat terlihat dari beberapa organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama untuk melakukan praktik intoleran. "Intoleransi itu sebagai awal munculnya terorisme. Pemerintah harus melakukan upaya preventif disitu untuk memberantas teroris," tukasnya.

Tentu saja upaya pemberantasan terorisme itu menurut Tigor tidak bisa dilakukan oleh satu institusi saja. Antar lembaga pemerintahan harus melakukan koordinasi yang kuat. Misalnya, Kemendagri, Kemenag, Kemenkokesra, BNPT dan BIN. Selaras itu pemerintah harus serius menunaikan kewajibannya yakni mempromosikan (to promote), melindungi (to protect) dan pemenuhan (to fullfill) HAM untuk masyarakat.
Tags: