Integrasi Tarif Tol Harus Diikuti Penegakan Hukum
Berita

Integrasi Tarif Tol Harus Diikuti Penegakan Hukum

Warga kelas menengah atas mungkin akan merasakan dampak integrasi tol.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Pembayaran di gardu tol. Tarif integrasi untuk alasan efisiensi. Foto ilustrasi: MYS
Pembayaran di gardu tol. Tarif integrasi untuk alasan efisiensi. Foto ilustrasi: MYS

Rencana integrasi tol masih menjadi perdebatan di beberapa kalangan. Pemerintah mengklaim, integrasi tol merupakan upaya untuk meningkatkan efesiensi. Transaksi sebelumnya dilakukan tiga kali. Jika kebijakan integrasi diberlakukan, warga cukup satu kali transaksi. Dampak langsung pengurangan frekuensi transaksi ini adalah mengurangi antrian panjang di gardu tol.

 

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Heri Trisaputra Zuna dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (02/7), menyampaikan bahwa banyaknya transaksi di gerbang tol merupakan penyebab antrian panjang. Integrasi tol diharapkan menjadi jawaban atas persoalan antri kendaraan di pintu bayar. “Kita mau menghilangkan hambatan sehingga pengguna cukup satu kali transaski. Untuk golongan satu, satu kali transaksi hanya lima beras ribu. Itu untuk jarak pendek. Tapi kalau jarak panjang menjadi tiga puluh empat ribu rupiah,” kata Heri.

 

Jika kebijakan ini diterapkan dengan baik, lanjutnya, orang tidak harus antri berkepanjangan. Ini yang akan menjadi nilai lebih dari sistem sebelumnya, yakni dengan gabungan tiga sistem terbuka menjadi satu sistem. “Hitung-hitungannya, ada yang namanya panjang rata-rata sehingga didapat angka Rp15.000. Yang tarifnya turun tidak hanya untuk golongan 1, tapi juga yang lain,” tambahnya.

 

Selama ini, 90 persen biaya logistik ada di jalan. Dengan sistem baru, Heri meyakini dapat menekan biaya logistik di jalan. Tarif termurah, yakni golongan V yang tadinya harus membayar 5 kali, jadi hanya dua kali. Ia juga berusaha meyakinkan bahwa kebijakan baru akan lebih menguntungkan pengguna jalan.

 

(Baca juga: KKI Minta Rencana Kenaikan Tarif Tol Integrasi Dibatalkan)

 

Namun Heri mengingatkan, penerapan integrasi tol ini harus disertai dengan penegakan hukum. Misalnya, truk-truk yang melintas di jalan tol harus bisa lebih ditertibkan. Pembenahan ini dilakukan untuk efisiensi yang harus disertai dengan penegakan hukum. “Kebijakan ini tidak hanya untuk mengurangi biaya, tapi juga harus diikuti oleh penegakan hukum. Truk-truk yang melintas harus bisa lebih ditertibkan. Pembenahan dilakukan untuk efisiensi, tapi penegakan hukum juga perlu dilakukan,” ungkapnya.

 

Jika tak ada penegakan hukum, lanjutnya, truk yang lewat dan tidak sesuai aturan akhirnya membuat banyak jalan rusak, dan menimbulkan biaya lebih besar. “Pertanyaan dasarnya, apakah kendaraan harus banyak berhenti hanya untuk membayar atau transaksi? Seberapa besar efesiensi ini harus kita teruskan jika ada yang lebih bermanfaat dari kebijakan sebelumnya?” tegasnya.

 

Heri menambahkan, sejauh ini badan usaha tidak memperoleh tambahan pendapatan. Jika pun ada, digunakan untuk subsidi pengguna angkutan kelompok atau golongan yang lain. Artinya, kendaraan yang membayar lebih mahal mensubsidi angkutan publik yang melintas. “Ini yang harus kita dorong, yakni keberpihakan terhadap logistik dan subsidi angkutan publik. Ini haru terus kita tingkatkan. Memang ada yang berkaitan dengan kriteria kecepatan tempuh. Itu 40 km/jam di dalam kota. Ini sepakat kita penuhi. Tapi tetap harus kita batasi. Jangan semuanya bisa masuk. Harus ada kriteria. Agar jalan tol tadi memenughi kriteria kecepatan jalan,” papar Heri.

 

Ke depan, menurut Heri, pembayaran jalan tol akan menggunakan teknologi. Kendaraan tidak perlu berhenti, namun kendaraan tetap tercatat dan tinggal didebet dari pengguna kendaraan.

 

(Baca juga: Pengguna Resah Sistem Integrasi Pembayaran Tol JORR, Advokat Siap Menggugat)

 

Pengamat transportasi perkotaan, Yayat Supriatna, mengajak publik untuk menghitung ulang bersama-sama berapa angka yang paling rasional untuk angkutan logistik atau pribadi. Hal ini dilakukan sebagai upaya evaluasi setelah integrasi tol diterapkan. “Hal yang perlu dipertimbangkan adalah evaluasi program integrasi tol. Jika memungkinkan, tol suatu saat tarifnya fleksibel seperti Electronic Road Pricing (ERP), sehingga orang bisa memilih pada jam berapa akan melakukan perjalanan,” katanya dalam acara yang sama.

 

Selain itu, Yayat menilai perlu segera dipetakan kembali penataan kawasan industri di Jabodetabek. Yang aksesnya, menurut dia, harus pula ada alternatif angkutan transportasi lain. Terkait integrasi tol, Yayat berpendapat, saat ini terjadi kontestasi antara angkutan pribadi dan logistik di ruas jalan tol. "Tol kan sekarang jadi rebutan antara kendaraan pribadi dan kendaraan logistik. Karena semua berpusat di Jabodetabek. Apalagi JORR DKI sudah terintegrasi dengan tol Jawa. Otomatis memang semakin padat dan berat bebannya,” jelasnya.

 

Dalam situasi tersebut, siapa yang paling dirugikan terkait kebijakan integrasi tol yang akan diambil? Yayat mengingatkan memakai jalan tol merupakan pilihan rasional. Jika masuk tol dari kawasan Tangerang, biaya yang dikeluarkan untuk masuk tol sekitar Rp25 ribu sekali jalan, maka untuk pulang pergi biaya yang dikeluarkan adalah Rp50 ribu. Sedangkan jika dari Bogor, kata Yayat, biaya pulang pergi yang dikeluarkan adalah sebesar Rp40 ribu. Dari angka tersebut terlihat bahwa cost yang dikeluarkan perbulan untuk penggunaan jalan tol adalah sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.

 

(Baca juga: YLKI: Rencana Integrasi Tarif Tol Jangan Jadi Kenaikan Terselubung)

 

Terlihat jelas kelas mana yang paling berpengaruh terhadap kebijakan integrasi tol tersebut. "Itulah cost yang harus ditanggung pengendara pribadi. Kalau dari total Rp50 ribu, maka per bulan sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Jika begitu, maka kelas mana yang paling terpengaruh?” tanyanya.

 

Merujuk hitungan Bank Dunia, Yayat menjelaskan, pihak yang bisa mengalokasikan dana sebesar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta untuk transportasi tol adalah mereka yang memiliki gaji antara Rp15-20 juta. "Jadi secara rasional, yang mensubsidi adalah menengah ke atas. Kalau yang gajinya di bawah itu mending naik angkutan umum,” usul Yayat.

Tags:

Berita Terkait