Insiden Tersiram Air Panas, Penumpang Gugat Garuda
Utama

Insiden Tersiram Air Panas, Penumpang Gugat Garuda

Garuda mengklaim telah membiayai pengobatan penumpang. Penumpang mengklaim bukan hanya mengalami penderitaan fisik.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi deretan pesawat Garuda Indonesia di bandara. Foto: Hukumonline
Ilustrasi deretan pesawat Garuda Indonesia di bandara. Foto: Hukumonline

Perseteruan antara penumpang dengan maskapai penerbangan kembali berujung ke pengadilan. Kali ini, antara B.R.A Koosmariam Djatikusumo dengan maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia. Melalui kuasa hukumnya, Koosmariam sudah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (11/4) lalu.

 

“Gugatannya sudah resmi kami daftarkan,” ujar David ML Tobing, pengacara Koosmariam, dalam konferensi pers, Jum’at (13/4).

 

David menjelaskan gugatan kliennya merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara. Permenhub ini mengatur pokok-pokok santunan yang harus dibayarkan maskapai jika penumpang mengalami kecelakaan selama perjalanan. Dalam gugatannya, David mengajukan petitum ganti rugi Rp1,25 miliar atas kerugian material, dan senilai Rp10 miliar atas ganti rugi immaterial.

 

Insiden yang memantik gugatan itu terjadi pada 29 Desember 2017. Saat itu, Koos –begitu Koosmariam biasa disapa—sedang dalam perjalanan Jakarta-Banyuwangi menggunakan pesawat Garuda. Insiden terjadi saat pramugari membagikan minuman. Koos tersiram air panas, mengenai bahu kanan dan merembes ke bagian dada.

 

Dalam konperensi pers Jum’at lalu, Koos mengatakan ia harus menahan perih selama kurang lebih satu jam gara-gara kulitnya tersiram air panas. Pihak Garuda sebenarnya langsung bereaksi cepat. Koos mengakui pramugari yang bertugas langsung memberikan salep berbentuk gel untuk mengobati kulit Koos. Setelah pesawat landing pun Garuda langsung membawa penumpang ke rumah sakit guna pemeriksaan intensif.

 

“Saat itu saya dikasih salep berbentuk gel di dalam pesawat, dan pramugari sudah meminta maaf. Sampai di RS Banyuwangi, dokter juga bingung melihat saya (tersiram air panas). Saya heran, kenapa air teh yang diberikan untuk penumpang bisa sepanas itu,” kata Koos.

 

(Baca juga: Menunggu Putusan Hakim dalam Kasus Penumpang Disabilitas Gugat Maskapai)

 

Koos juga mengakui pihak Garuda menawarkan santunan pengobatan senilai Rp15 juta, nilai yang dianggap Koos tidak sepadan. Pihak Garuda juga menyampaikan jika terdapat kebutuhan pengobatan lanjutan, Koos diminta menghubungi pihak Garuda. Namun, komunikasi antara Koos dan pihak Garuda terhenti pada Februari 2018. Inilah yang membuat Koos meradang. Menurut dia, seharusnya Garuda lebih aktif menjalin komunikasi guna memonitor kondisi kesehatan penumpang. Apalagi, yang dialami penumpang bukan hanya fisik, tetapi juga kerugian waktu, energi, dan perasaan.

 

“Saya tidak boleh mandi selama dua bulan, luka tidak boleh ditutup, bagaimana penderitaan yang saya alami. Sampai sekarang, luka-luka tersebut masih terasa perih bila terkena keringat dan air sabun. Dan saya juga trauma setiap kali mendengar kata air panas,” imbuhnya.

 

Garuda, kata Koos, memberikan respons ketika gugatan didaftarkan dan pendaftaran gugatan itu terpublikasi. Seharusnya, respons itu diberikan tanpa ada publikasi. “Saya itu pengen tahu, apakah kasus saya ini diketahui sampai ke atas (pejabat Garuda). Ya, setelah ada gugatan, pihak Garuda langsung merespons,” paparnya.

 

Hukumonline.com

 

Hengki menolak tuduhan bahwa Garuda Indonesia mengabaikan tanggung jawab atas insiden yang terjadi. Faktanya, dalam beberapa kali pengobatan, Garuda Indonesia menanggung seluruh biaya pengobatan penumpang. Bahkan Garuda Indonesia meminta Koos untuk menghubungi pihak maskapai jika ada pengobatan lanjutan.Corporate Secretary Garuda Indonesia, Hengki Heriandono, mengklaim bahwa Garuda Indonesia sudah berkomitmen untuk memfasilitasi dan menanggung biaya pengobatan Koos, baik di Banyuwangi maupun di Jakarta. Jika dalam gugatannya Koos merasa diabaikan selama satu setengah bulan, Hengki menganggapnya sebagai miskomunikasi. “Saya rasa ini soal miskomunikasi saja. Pihak Garuda menunggu kabar dari Ibu Koos, dan ternyata Ibu Koos juga menunggu dari pihak Garuda. Jadi ini miskomunikasi,” jelasnya kepada hukumonline.

 

(Baca juga: Gara-Gara Dilarang Naik Pesawat, Penumpang Gugat Maskapai)

 

Terkait dengan nilai kerugian yang disebutkan Koos dalam berkas gugatan, Hengki berpendapat bahwa insiden yang menimpa Koos tidak dapat dikategorikan sebagai cacat total. Ia merujuk Pasal 3 Permehub No. 77 Tahun 2011. Luka yang dialami Koos dianggap masuk dalam kategori luka-luka dan nilai pengobatan yang diatur dalam Permenhub adalah maksimal Rp200 juta.

Tags:

Berita Terkait