Insentif "Super Tax Deduction" Dikhawatirkan Sepi Peminat
Berita

Insentif "Super Tax Deduction" Dikhawatirkan Sepi Peminat

Insentif ini dianggap belum dibutuhkan pelaku usaha sehingga dikhawatirkan sepi peminat. Ada kekhawatiran insentif ini dilakukan tanpa melalui proses kajian.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi
Acara diskusi "Janji Insentif Segunung, Akankah Berbuah Manis?" di Jakarta, Rabu (17/7). Foto: MJR

Pemerintah baru saja menerbitkan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Regulasi ini telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Juni 2019.

 

Poin aturan ini memberikan insentif kepada pelaku usaha berupa pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran. Tujuan aturan ini diharapkan mampu menambah investasi sekaligus meningkatkan kemampuan tenaga kerja.

 

Meski demikian, investor yang memanfaatkan insentif ini dikhawatirkan sepi peminat karena tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Sebab, salah satu permasalahan krusial industri saat ini yaitu rendahnya serapan pasar atau konsumsi domestik dari produk-produk yang dihasilkan. Sehingga, meskipun terdapat pengurangan pajak tidak berdampak signifikan.

 

Hal tersebut disampaikan Anggota Dewan Eksekutif Asosiasi Serat dan Benang Flament Indonesia, Prama Yudha Amdan saat dijumpai dalam acara diskusi "Janji Insentif Segunung, Akankah Berbuah Manis?" di Jakarta, Rabu (17/7).

 

Menurutnya, regulasi dan implementasi merupakan dua hal berbeda. Selama ini, insentif pajak yang dikeluarkan pemerintah secara regulasi terkesan positif untuk mendukung pertumbuhan industri. Namun, secara penerapannya pelaku usaha sering kesulitan mendapatkan insentif tersebut karena kerumitan persyaratan dan prosedur.

 

"Regulasi satu hal. Implementasi hal lain. Ini tidak berhasil kalau investasi diam di tempat. Di rantai tekstil itu teritegrasi hulu itu serat dan hilir garment. Produk dalam negeri tidak bisa diserap pasar. Realinya fund ada tapi enggak mau masuk. Perbaiki dulu pasarnya. Apakah insentif ini dipakai pelaku usaha? Belum tahu karena sebenarnya kami tidak butuh-butuh amat," jelasnya.

 

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia Research Institute, Agung Pambudi. Dia menyatakan insentif pengurangan pajak sebelumnya tidak implementatif sehingga pelaku usaha tidak memanfaatkannya. Dia mendorong agar aturan teknis lebih sederhana agar efektif bagi setiap pihak.

 

"Kami harap-harap cemas mudah-mudahan tidak berujung pada cerita sedih sebelumnya. Regulasi bagus tapi syaratnya sulit dan tidak bisa diimplementasikan dueable dan masuk akal," jelasnya.

 

(Baca: Revisi Aturan Pajak Terbaru, Berikut Daftar Investasi Dapat Relaksasi)

 

Di sisi lain, dia menyambut positif kebijakan ini karena industri memerlukan SDM yang sesuai dengan kebutuhan produksi. Dia menilai ketersediaan SDM lulusan pendidikan formal seperti sekolah menengah kejuruan dan politeknik belum mampu memenuhi permintaan dunia usaha. Hal ini disebabkan pengajaran jalur pendidikan tersebut tertinggal dibandingkan perkembangan teknologi dan dunia usaha.

 

"Kami sangat senang. Bicara soal ini khususnya skill development, SDM merupakan salah satu pilar. Survei Apindo dari 700 perusahaan tidak hanya 5 persen kebawah yang melakukan pelatihan dan peningkatan SDM-nya. Ini sangat rendah karena costly. Hanya perusahaan gede yang bisa karena sangat besar budget untuk pelatihan," jelasnya Agung.

 

Dalam kesempatan sama, pakar ekonomi, Faisal Basri mengkhawatirkan kebijakan insentif ini muncul tanpa kajian. Sebab, alasan utama pemerintah untuk menggenjot investasi tidak tepat mengingat iklim arus modal masuk masih tinggi dibandingkan negara lain.

 

Kemudian, peranan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah. Terlebih lagi minat tenaga kerja pada sektor tersebut juga cenderung menurun. Sehingga, insentif ini diaggap tidak implementatif.

 

"Sebenarnya tidak ada yang salah dengan investasi karena Indonesia masih tinggi dibanding negara lain. Selain itu, minat tenaga kerja juga cenderung mengarah sektor jasa seperti jadi pengacara, pedagang atau start up. Saya khawatir diagnosis kebijakan ini salah sebab peranan industri terhadap pertumbuhan ekonomi juga rendah," jelas Faisal.

 

Menurutnya, pemerintah seharusnya membenahi aspek regulasi dan institusi karena kedua hal tersebut merupakan persoalan utama penghambat bisnis dunia usaha. Dia mencontohkan pada sektor usaha industri tepung yang terikat dengan sekitar 70 peraturan. Selain itu, berbagai rencana pengaturan pemerintah juga dianggap tidak mendukung iklim usaha.

 

"Saya berdiskusi dengan pelaku usaha dari asosiasi tepung. Mereka menyampaikan ada 70 regulasi pada industri ini. Kemudian, industri makanan dan minuman dengan rencana RUU Air dan kebijakan cukai plastik. Tentunya akan menyebabkan lebih mahal ongkos produksinya dan memberatkan pelaku usaha. Jadi, masalah sebenarnya adalah regulasi dan institusi," jelas Faisal.

 

Proses Lebih Sederhana

 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Hestu Yoga Saksama menyatakan pihaknya akan mengatur proses pengajuan insentif lebih sederhana dan cepat dibandingkan sebelumnya. 

 

Nantinya, besaran insentif tersebut akan diberitahu kepada pelaku usaha di awal proses pengajuan sehingga memberi kepastian bagi investor. "Kami beri kepastian di awal jadi tidak ada lagi pemberian insentif hanya 50 persen (tidak sesuai ketentuan). Kedua, kami juga memproses lebih cepat selama lima hari setelah pengajuan akan keluar hasilnya," jelas Yoga.

 

Dia juga menjelaskan dalam penyusunan aturan insentif ini juga melibatkan pelaku usaha. Sehingga, dia optimistis pelaku usaha berminat melaksanakan investasi untuk meningkatkan kualitas SDM atau tenaga kerja.

 

Perlu diketahui, ketentuan lebih teknis akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Rencananya, aturan tersebut akan terbit paling lama akhir Juli.

 

Tags:

Berita Terkait