Insentif PPnBM Dinilai Bisa Jadi Win-win Solution
Berita

Insentif PPnBM Dinilai Bisa Jadi Win-win Solution

Industri otomotif adalah indsutri yang unik, di mana beban pungutan lebih banyak dibanding sektor industri lainnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Foto: RES
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto. Foto: RES

Industri manufaktur memberikan sumbangan yang cukup besar untuk PDB yakni sebesar 19,88 persen. Namun sejak pademi Covid-19, industri manufaktur merasakan dampak yang cukup besar, khususnya industri otomotif seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat. Untuk meningkatkan pembelian dan produksi Kendaraan Bermotor (KB), maka Pemerintah akan memberikan Insentif Fiskal berupa Penurunan Tarif PPnBM untuk kendaraan bermotor.

Menurut pengamat pajak Fajry Akbar, pemberian insentif ini merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyokong industri terdampak agar dapat survive. “Mengapa? Karena banyak orang bergantung pekerjaannya dari industri otomotif,” katanya kepada Hukumonline, Senin (15/2).

Fajry juga mengingatkan bahwa industri otomotif merupakan industri yang unik dan berbeda dengan industri lainnya. Di industri otomotif, banyak pungutan tambahan diluar pajak-pajak umum seperti PPh dan lainnya, yakni PPnBM, pajak kendaraan bermotor, dan BBnKB. Selama ini, lanjutnya, insentif yang diberikan pemerintah masih dilakukan secara umum. Hal tersebut dinilai tidak cukup adil bagi industri otomotif yang dikenakan banyak pungutan.

“Tentunya tidak adil bagi industri yang dikenakan banyak pungutan, seperti industri otomotif. Karena itu, perlu pemberian insentif tambahan. Selain karena asas keadilan, juga demi efektivitas, agar insentif yang diberikan sebelumnya tidak sia-sia,” tambahnya.

Kebijakan ini pun dinilai akan memberikan dampak yang cukup besar, mengingat kendaraan jenis LMVP dan sedan adalah jenis kendaraan yang paling banyak terjual di Indonesia, dan sudah menggunakan 70 persen komponen lokal.

“Nah penurunan ini akan berdampak pada jenis kendaraan tertentu, kami melihat yang paling banyak mendapat benefit adalah kelas LMPV dan sedan yang sudah 70% komponen lokalnya. Kita tahu sendiri, mobil yang paling banyak terjual di Indonesia adalah kelas LMPV. Jadi impact-nya harusnya besar ya,” imbuhnya.

Di sisi lain, nominal dari tarif memang dianggap kurang “nendang”, karena LMPV hanya mendapatkan insentif tarif sebesar 10%. Dia berpendapat bahwa kewenangan pemerintah pusat sudah “mentok”, artinya pungutan lainnya adalah kewenangan pemerintah daerah. Namun kebijakan ini disebut menjadi win-win solution bagi semua pihak.

“Di sisi lain, dampak ke mobil bekas juga akan lebih terbatas. Saya kira, kebijakan yang telah diambil merupakan win-win solution, dan memang yang diharapkan pemerintah memberikan insentif kepada industri otomotif, dan menarik minat masyarakat untuk membeli,” terangnya. (Baca: Voucer Pulsa dan Token Listrik Dikenai Pajak, Begini Penjelasannya)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, menerangkan bahwa relaksasi PPnBM dapat meningkatkan purchasing power dari masyarakat dan memberikan jumpstart pada perekonomian.  Airlangga menyebut bahwa stimulus khusus juga diberikan di sejumlah negara lain di dunia untuk industri otomotif selama pandemi.  

Misalnya, pengurangan pajak penjualan sebesar 100% untuk CKD (mobil yang dirakit di dalam negeri) dan potongan hingga 50% untuk CBU (mobil yang dirakit di negara asalnya) yang dilakukan oleh Malaysia.

Adapun di Indonesia, Pemerintah menyiapkan insentif penurunan PPnBM untuk kendaraan bermotor pada segmen kendaraan dengan cc < 1500 yaitu untuk kategori sedan dan 4x2.  Hal ini dilakukan karena Pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan industri otomotif dengan local purchase kendaraan bermotor diatas 70 persen.

“Harapannya dengan insentif yang diberikan bagi kendaraan bermotor ini, konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah atas akan meningkat, meningkatkan utilisasi industri otomotif dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini.”

Pemberian insentif ini akan dilakukan secara bertahap selama 9 bulan, dimana masing-masing tahapan akan berlangsung selama 3 bulan.  Insentif PPnBM sebesar 100% dari tarif akan diberikan pada tahap pertama, lalu diikuti insentif PPnBM sebesar 50% dari tarif yang akan diberikan pada tahap kedua, dan insentif PPnBM 25% dari tarif akan diberikan pada tahap ketiga. 

Besaran insentif ini akan dilakukan evaluasi setiap 3 bulan.  Instrumen kebijakan akan menggunakan PPnBM DTP (ditanggung pemerintah) melalui revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang ditargetkan akan mulai diberlakukan pada 1 Maret 2021.

Selain itu, pemberian insentif penurunan PPnBM perlu didukung dengan revisi kebijakan OJK untuk mendorong kredit pembelian kendaraan bermotor, yaitu melalui pengaturan mengenai uang muka (DP) 0% dan penurunan ATMR Kredit (aktiva tertimbang menurut risiko) untuk kendaraan bermotor, yang akan mengikuti pemberlakuan insentif penurunan PPnBM ini.

Dengan skenario relaksasi PPnBM dilakukan secara bertahap, maka berdasarkan data Kementerian Perindustrian diperhitungkan dapat terjadi peningkatan produksi yang akan mencapai 81.752 unit. Estimasi terhadap penambahan output industri otomotif juga diperkirakan akan dapat menyumbangkan pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun.

“Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun,” ungkap Menko Airlangga.

Pulihnya produksi dan penjualan industri otomotif akan membawa dampak yang luas bagi sektor industri lainnya. Airlangga menambahkan, dalam menjalankan bisnisnya, industri otomotif dinilai memiliki keterkaitan dengan industri lainnya (industri pendukung), di mana industri bahan baku berkontribusi sekitar 59% dalam industri otomotif. “Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun," ujar Airlangga.

Industri otomotif juga merupakan industri padat karya, saat ini, lebih dari 1,5 juta orang bekerja di industri otomotif yang terdiri dari lima sektor, yaitu pelaku industri tier II dan tier III (terdiri dari 1000 perusahaan dengan 210.000 pekerja), pelaku industri tier I (terdiri dari 550 perusahaan dengan 220.000 pekerja), perakitan (22 perusahaan dan dengan 75.000 pekerja), dealer dan bengkel resmi (14.000 perusahaan dengan 400.000 pekerja), serta dealer dan bengkel tidak resmi (42.000 perusahaan dengan 595.000 pekerja).

Tags:

Berita Terkait