Insentif Kesehatan Diperpanjang Hingga Akhir Juni 2022, Begini Pokok Aturannya
Terbaru

Insentif Kesehatan Diperpanjang Hingga Akhir Juni 2022, Begini Pokok Aturannya

Perpanjangan insentif ini diberikan karena pemerintah memahami bahwa penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional belum berakhir sepenuhnya.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah memperpanjang waktu pemberian fasilitas insentif pajak terhadap barang yang diperlukan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) bagi tenaga kesehatan sampai dengan akhir Juni 2022.

Perpanjangan insentif ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 226/PMK.03/2021 tentang Pemberian Insentif Pajak terhadap Barang yang Diperlukan dalam Rangka Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan Perpanjangan Pemberlakuan Fasilitas Pajak Penghasilan Bagi Sumber Daya Manusia di Bidang Kesehatan Berdasarkan PP No.29 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

“Perpanjangan insentif ini diberikan karena pemerintah memahami bahwa penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional belum berakhir sepenuhnya, bahkan kasus varian omicron jumlahnya semakin bertambah di Indonesia, sehingga perlu diatur kembali insentif pajak terhadap barang yang diperlukan untuk penanganan pandemi dan fasilitas PPh bagi nakes (tenaga kesehatan),” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor, Rabu (12/1).

Lebih lanjut, dalam PMK-226/PMK.03/2021, pemerintah memberikan dua jenis fasilitas insentif, yaitu fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan fasilitas PPh. Insentif PPN tidak dipungut dan ditanggung pemerintah diberikan kepada tiga pihak dalam kegiatan penanganan pandemi Covid19. (Baca Juga: Enam Langkah Mudah dari DJP untuk Ikut PPS Pajak)

Pertama, pihak tertentu meliputi badan/instansi pemerintah, rumah sakit, dan pihak lain yaitu pihak yang memberikan sumbangan Barang Kena Pajak (BKP) yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 atas impor atau perolehan BKP berupa obat-obatan, vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri, dan peralatan perawatan pasien.

Kedua, industri farmasi produksi vaksin dan/atau obat atas perolehan bahan baku vaksin dan/atau obat untuk penanganan Covid-19. Ketiga, wajib pajak yang memperoleh vaksin dan/atau obat untuk penanganan Covid-19 dari industri farmasi produksi vaksin dan/atau obat.

Insentif pembebasan dari pemungutan PPh 22 diberikan kepada tiga pihak juga. Pertama, pihak tertentu meliputi badan/instansi pemerintah, rumah sakit, dan pihak lain yaitu pihak yang memberikan sumbangan barang yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 atas pembelian barang berupa obat-obatan, vaksin dan peralatan pendukung vaksinasi, peralatan laboratorium, peralatan pendeteksi, peralatan pelindung diri, dan peralatan perawatan pasien.

Kedua, industri farmasi produksi vaksin dan/atau obat atas pembelian bahan baku vaksin dan/atau obat untuk penanganan Covid-19. Ketiga, pihak ketiga yaitu pihak yang bertransaksi dengan badan/instansi pemerintah, rumah sakit, dan pihak lain untuk penanganan pandemi covid-19 yang melakukan penjualan barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi kepada pihak tertentu sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

“Insentif PPN dan PPh yang diberikan juga termasuk untuk impor, perolehan, maupun pembelian vaksin booster, sehingga vaksin booster dapat dinikmati gratis oleh seluruh rakyat Indonesia” imbuh Neilmaldrin.

Selain itu, pemerintah juga memperpanjang insentif berupa fasilitas PPh Final sebesar 0% (nol persen) atas tambahan penghasilan yang diterima sumber daya manusia di bidang kesehatan. Artinya tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat serta tenaga pendukung kesehatan seperti tenaga kebersihan, tenaga pengemudi ambulans, dan tenaga pemulasaran jenazah, yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan untuk penanganan Covid-19 dan mendapatkan honorarium atau imbalan lainnya, dapat menerima penghasilan tambahan tersebut secara penuh karena dikenai PPh 0%.

Ini bukan kali pertama pemerintah melakukan perpanjangan insetif sektor kesehatan. Pada tahun 2020 lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) memperpanjang jangka waktu pemberian fasilitas pajak atas pengadaan barang dan jasa yang diperlukan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Perpanjangan fasilitas pajak ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2020 yang berlaku mulai 1 Januari 2021 dan berlaku hingga 31 Desember 2021. Beleid ini sekaligus mengganti PMK- 143/PMK.03/2020.

Meski banyak memberikan insentif di masa pandemi Covid-19, nyatanya kinerja perpajakan Indonesia mengalami perbaikan di era pemulihan ekonomi pasca pandemic Covid-19. Hal itu terbukti lewat capaian penerimaan pajak sampai dengan tanggal 26 Desember 2021 telah melebih target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021.

“Sampai dengan tanggal 26 Desember 2021, jumlah neto penerimaan pajak sebesar Rp1.231,87 triliun. Jumlah tersebut sama dengan 100,19% dari target yang diamanatkan dalam APBN Tahun Anggaran 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Senin (27/12).

Hal senada disampaikan oleh Pengamat Pajak, Fajry Akbar beberapa waktu lalu. Menurutnya meski penerimaan pajak mencapai target, lanjutnya, pemerintah tetap memberikan banyak insentif perpajakan di tahun 2021. Per 24 Desember, pemerintah telah memberikan insentif perpajakan untuk dunia usaha sebesar Rp63,16 triliun atau 100,5% dari  pagu. Artinya, meski target penerimaan tercapai namun pemerintah juga tetap fokus memberikan sokongan pemulihan ekonomi melalui instrumen pajak, terutama terhadap sektor-sektor yang masih terdampak dari adanya pandemi covid-19.

Fajry menilai ada tiga kemungkinan yang dapat menjadi alasan, mengapa kinerja penerimaan pajak di tahun 2021 begitu baik? Pertama, pemulihan ekonomi di tahun 2021 yang kuat. Hal ini dukung dari penerimaan PPN yang menjadi motor penggerak kinerja  penerimaan tahun 2021.

”Kita ketahui, penerimaan PPN begitu responsif terhadap aktivitas ekonomi,” ungkapnya.

Kedua, pemberian relaksasi pajak yang efektif. Pemberian relaksasi pajak yang efektif dapat memberikan multiplier effect berupa penerimaan negara yang lebih besar. Dan ketiga, pengawasan yang optimal oleh DJP meski di masa pandemi.

Tags:

Berita Terkait