Inkonsistensi Sikap MA dalam Perkara Narkotika
Kolom Arsil

Inkonsistensi Sikap MA dalam Perkara Narkotika

Inkonsistensi penafsiran dan penerapan hukum pada dasarnya saja saja mendorong adanya ketidakpastian.

Bacaan 2 Menit
BAS
BAS

Seorang pria ditangkap karena kedapatan membawa sabu-sabu dengan berat bersih 0,02 gram. Serupa dengan kasus di atas, ia belum menggunakan sabu-sabu tersebut. JPU kemudian mendakwanya secara subsidiaritas, yaitu primair karena membeli narkotika golongan 1 yang diatur dalam Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika, dan subsidair karena memliki atau menguasai narkotika gol 1 bukan tanaman, Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika. Dalam tuntutannya jaksa menuntut berdasarkan dakwaan subsidair, meminta pengadilan menjatuhkan hukuman selama 5 tahun penjara dan denda Rp800.000.

 

Atas dakwaan dan tuntutan tersebut PN memutus terdakwa bersalah atas dakwaan subsidair dan menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp800.000. Putusan ini diperkuat ditingkat banding dengan sedikit perbaikan mengenai status barang bukti.

 

Terhadap putusan judex facti ini baik JPU maupun Terdakwa sama-sama mengajukan kasasi ke MA. JPU berpandangan judex facti salah dalam menerapkan hukum karena melanggar pidana minimum khusus yang diatur dalam Pasal 112 ayat (1) yang seharusnya 4 tahun. Sementara Terdakwa berpandangan judex facti salah dalam menerapkan hukum karena seharusnya ia diputus bersalah melanggar Pasal 127, yaitu penyalahgunaan narkotika.

 

Atas kedua permohonan kasasi tersebut MA mengabulkan permohonan kasasi Terdakwa. Menurut MA seharusnya dinyatakan melanggar Pasal 127 bukan 112 ayat (1). Dalam pertimbangannya MA menyatakan bahwa walaupun terdakwa tidak ditest urine namun maksud Terdakwa terhadap sabu-sabu tersebut adalah untuk digunakan sendiri.

 

Selain itu majelis kasasi juga mempertimbangkan bahwa walaupun Pasal 127 tidak didakwa, namun Terdakwa tetap dapat dipidana berdasarkan pasal tersebut berdasarkan yurisprudensi MA no. 675 K/Pid/1987, 1671 K/Pid/1996 dan 1892 K/Pid/2011 yang intinya menyatakan bahwa  apabila delik yang terbukti di persidangan adalah delik sejenis yang lebih ringan sifatnya dari delik yang didakwakan yang lebih berat sifatnya, maka walaupun delik yang lebih ringan tidak didakwakan, Terdakwa tetap dipersalahkan atas delik tersebut dan dipidana atas dasar melakukan delik yang lebih ringan.

 

Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan MA nomor 1522 K/Pid.Sus/2016 yang diputus tanggal 6 oktober 2016.

 

Dalam kasus yang lain seorang pria yang baru saja membeli sepaket sabu-sabu bersama 2 orang temannya ditangkap oleh beberapa orang polisi. Saat diperiksa sabu-sabu tersebut berat bersihnya seberat 0,0143 gram. Ia kemudian disidangkan. Oleh Jaksa Penuntut Umum ia didakwa secara alternatif yaitu melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu tindak pidana menyimpan, memiliki, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman, atau melanggar pasal 127 ayat (1) UU Narkotika.

 

JPU mendakwa ketiganya dengan pasal penyalahguna karena menduga ketiganya membeli sabu-sabu tersebut untuk digunakan. Di tahap tuntutan JPU menuntut terdakwa bersalah atas dakwaan alternatif pertama dengan tuntutan hukuman penjara selama 6 tahun dan denda Rp800.000.000,-.

 

Di tingkat pertama Pengadilan Negeri memutus terdakwa bersalah atas dakwaan alternatif kedua, penyalahgunaan narkotika, dan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun. Putusan ini diperkuat dengan sedikit perbaikan mengenai barang bukti di tingkat banding.

 

Atas putusan tersebut JPU mengajukan kasasi ke MA. Alasan JPU mengajukan kasasi karena menurutnya hukuman yang dijatuhkan judex facti lebih ringan dari tuntutan JPU, belum mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan tidak menimbulkan efek jera.

 

Permohonan kasasi JPU tersebut dikabulkan MA. Menurut MA judex facti telah salah dalam menerapkan hukum. Terdakwa seharusnya tidak diputus bersalah atas dakwaan alternatif kedua, atau tidak diputus bersalah sebagai penyalahgunaan narkotika, namun karena memiliki atau menguasai narkotika. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada saat ditangkap Terdakwa tidak ditemukan peralatan untuk menggunakan sabu-sabu seperti bong, pipet dll, serta urine Terdakwa tidak mengandung sabu-sabu.

 

Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan kasasi no. 2348 K/Pid.Sus/2016 tanggal 6 Februari 2017, atau sekitar 4 bulan setelah putusan 1522 K/Pid.Sus/2016 di atas. Terpaut 4 bulan dari putusan sebelumnya.

 

Dalam perkara yang lain lagi namun dengan perbuatan yang serupa di daerah yang berbeda lagi, seorang supir truk berusia 26 tahun ditangkap tak lama setelah ia membeli sepaket sabu-sabu seharga Rp200.000 dengan berat bersih sebesar 0,041 gram. Hasil tes urinnya negatif mengandung sabu-sabu.

 

Serupa dengan 2 kasus sebelumnya, tak ditemukan alat-alat untuk menggunakan sabu-sabu tersebut, baik bong, pipet maupun lainnya. Serupa juga dengan dua kasus sebelumnya, JPU menuntutnya terbukti melanggar Pasal 112 ayat (1), dan meminta pengadilan menjatuhkan penjara kepadanya selama 4 tahun dan denda Rp800.000.000,-.

 

Di tingkat pertama, pengadilan negeri tidak sependapat dengan JPU khususnya terhadap delik apa yang sebenarnya dilanggar Terdakwa. Majelis hakim berpandangan perbuatan yang dilakukan terdakwa bukanlah melanggar Pasal 112 ayat (1), namun penyalahgunaan narkotika (Pasal 127). Sang supir truk kemudian dijatuhkan penjara selama 1 tahun oleh majelis hakim di tingkat pertama itu. Atas putusan tersebut JPU mengajukan banding. JPU tak sependapat dengan penerapan hukum yang diputuskan PN tersebut.

 

Di tingkat banding, pengadilan tinggi membatalkan putusan PN tersebut, menurut majelis hakim tingkat banding perbuatan yang dilakukan terdakwa masuk dalam kualifikasi Pasal 112 ayat (1) bukan Pasal 127. Terdakwa pun dijatuhi penjara 5 tahun dan denda Rp800.000 lebih tinggi 1 tahun dari tuntutan JPU sebelumnya.

 

Namun putusan Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Menurut MA atas peristiwa di atas tidak tepat jika diterapkan Pasal 112 ayat (1) karena jika narkotika yang dimiliki atau dikuasasinya tujuannya adalah untuk dipakai oleh Terdakwa, tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan Terdakwa terlibat dalam perdagangan gelap narkotika, besaran narkotikanya tidak melebihi batasan yang diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 jo. SEMA No. 3 Tahun 2011 terlepas dari hasil tes urine terdakwa positif atau negatif mengandung narkotika, maka perbuatan tersebut seharusnya masuk dalam kualifikasi penyalahgunaan narkotika.

 

Pertimbangan tersebut terdapat dalam putusan MA nomor 2754 K/Pid.Sus/2016 yang diputus tanggal 20 Maret 2017. 1,5 bulan sejak putusan sebelumnya.

 

Inkonsistensi Putusan dan Dampaknya

3 putusan di atas adalah salah satu contoh inkonsistensi sikap hukum Mahkamah Agung atas suatu peristiwa yang serupa. Ya, tentu ketiga perkara tersebut diputus oleh majelis hakim yang berbeda (walaupun di antara ketiganya terdapat beberapa hakim agung yang sama).

 

Jika ditelusuri, lebih banyak lagi putusan MA terkait tindak pidana narkotika ini Anda akan menemukan lebih banyak lagi putusan yang serupa. Di mana terdapat dua pandangan hukum MA yang saling bertolak belakang terkait bagaimana menentukan ketentuan mana yang berlaku jika seseorang tertangkap membawa atau membeli narkotika dalam jumlah yang relatif sedikit, terdakwa belum menggunakan narkotika tersebut, dan tidak ada indikasi terdakwa terlibat dalam jaringan perdagangan gelap narkotika.

 

Apakah terhadap terdakwa harus dikenakan pasal penguasaan atau kepemilikan narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (1) yang ancaman pidananya paling rendah 4 tahun penjara dan paling lama 12 tahun dan denda minimal Rp800.000.000 s/d 8 Miliyar, atau pasal penyalahgunaan (Pasal 127) yang ancamannya paling tinggi 4 tahun penjara tanpa denda?

 

Independensi hakim, mungkin itu argumentasinya. Tiap hakim memiliki kebebasan dalam memutus. Ya, tentu. Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana hakim ditingkat judex facti harus memutus jika di kemudian hari menghadapi kasus yang serupa dengan 3 kasus di atas? Putusan mana yang harus diikuti jika tak ingin pertimbangannya dikatakan “salah dalam menerapkan hukum” oleh Mahkamah Agung?

 

Bagaimana juga advokat harus menjawab pertanyaan dari klien atau keluarganya, apakah kliennya akan dikenakan pasal penyalahgunaan narkotika atau kepemilikan/penguasaan? “Kenapa si anu kenanya pasal anu sementara saya kenanya pasal ini padahal kasus kami serupa”? Bagaimana menjawab pertanyaan semacam ini?

 

Inkonsistensi penafsiran dan penerapan hukum pada dasarnya saja saja mendorong adanya ketidakpastian. Sesuatu yang hendak diminimalisir oleh keberadaan hukum itu sendiri. Inkonsistensi putusan khususnya di tingkat Mahkamah Agung membuat Mahkamah Agung menggerus kewibawaannya sendiri.

 

Teringat saya dengan perkataan mantan Ketua Hoge Raad, Corstens, beberapa tahun yang lalu saat datang ke Indonesia, independensi hakim memang penting, namun yang patut diingat oleh para hakim di Mahkamah Agung (di negara manapun) adalah bahwa fungsi kasasi (yang merupakan fungsi utama dari Mahkamah Agung) adalah menjaga kesatuan penerapan hukum.

 

Para hakim agung seharusnya bisa mengesampingkan ego, mahzab, atau yang lainnya dan menyadari bahwa keberadaan institusinya adalah untuk menjaga kesatuan penerapan hukum. Karena jika tidak maka yang terjadi hanyalah ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

 

Ke depan, permasalahan inkonsistensi putusan harus dapat diselesaikan oleh Mahkamah Agung. MA harus mulai menyadari bahwa bagaimana sikap hukumnya atas suatu permasalahan tidak hanya akan berdampak pada para pihak yang berperkara itu sendiri, namun juga terhadap para hakim di bawahnya, jaksa, advokat dan masyarakat secara luas.

 

Arsil, Pemerhati Hukum

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait