Inilah Pertimbangan MA Batalkan Tiga Peraturan Direktur BPJS Kesehatan
Berita

Inilah Pertimbangan MA Batalkan Tiga Peraturan Direktur BPJS Kesehatan

Peraturan bukan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung di Jalan Medan Merdeka Utara Jakarta. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) terhadap 3 Perdirjampelkes BPJS Kesehatan. Pada intinya, MA membatalkan ketiga peraturan itu yang terdiri dari Perdirjampelkes No. 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Perdirjampelkes No. 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat dalam Program Jaminan Kesehatan, dan Perdirjampelkes No. 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan.

Dalam permohonan uji materiil yang diajukan PDIB ketiga Perdirjampelkes BPJS Kesehatan itu dinilai bertentangan dengan sejumlah peraturan. Antara lain UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perdirjampelkes itu juga dianggap melanggar kode etik kedokteran karena mengintervensi dokter dalam menjalankan tugasnya. PDIB meminta MA membatalkan ketiga Perdirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut.

Jawaban terlulis BPJS Kesehatan sebagaimana tercantum dalam salinan putusan bernomor 59 P/HUM/2018, 58 P/HUM/2018, dan 60 P/HUM/2018 PDIB itu antara lain menyebut ketiga Perdirjampelkes itu tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang dapat diuji materiil ke MA. Oleh karena itu BPJS Kesehatan meminta majelis MA untuk menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Sebelum menerbitkan ketiga Perdirjampelkes itu BPJS Kesehatan mengatakan sudah melakukan rapat koordinasi antar Kementerian serta pihak terkait seperti organisasi profesi dan perhimpunan fasilitas kesehatan (faskes). Terbitnya perdirjampelkes itu merupakan bentuk pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan sesuai amanat UU No.40 Tahun 2014.

(Baca juga: 3 Peraturan Direkturnya Dibatalkan MA, Begini Sikap BPJS Kesehatan).

Atas dasar itu BPJS Kesehatan berpendapat Perdirjampelkes pada prinsipnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan seperti UU No.40 Tahun 2004, UU No. 24 Tahun 2011 dan UU No. 12 Tahun 2011.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis MA menilai dari segi bentuknya objek permohonan yakni Perdirjampelkes BPJS Kesehatan No.2, No.3, dan No.5 Tahun 2018 berupa peraturan tertulis dan formatnya mengikuti sistematika peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 yaitu terdiri dari Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup.

Majelis MA berpendapat muatan yang diatur dalam Perdirjampelkes itu merupakan norma hukum yang mengikat secara umum karena materinya bersifat mengatur (regulerend) bagi setiap peserta BPJS Kesehatan secara umum dalam rangka menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-UU No. 24 Tahun 2011, dan Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah.

Berdasarkan Tata Hubungan Kerja (Board Manual) Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Kesehatan, majelis MA menyimpulkan muatan Perdirjampelkes merupakan norma hukum yang mengikat secara umum. Peraturan itu diterbitkan BPJS Kesehatan dalam rangka melaksanakan wewenangnya sebagai badan hukum publik secara kolektif-kolegial.

Mengacu berbagai kriteria itu majelis MA mengatakan bentuk dan materi Perdirjampelkes yang menjadi objek permohonan keberatan uji materiil itu termasuk kategori peraturan perundang-undangan di bawah UU karena formatnya mengikuti apa yang ditentukan UU No. 12 Tahun 2011 yakni berupa peraturan yang bersifat umum (regeling), yaitu mengatur hak peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ruang lingkup kewenangan yang dimaksud yakni terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diatur pasal 22 dan 25 Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013.

Dari segi pejabat yang menerbitkannya, majelis MA memandang Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan sebagai bagian dari BPJS Kesehatan secara kelembagaan (kolektif-kolegial). Kendati Perdirjampelkes itu diterbitkan dalam rangka melaksanakan wewenang BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik secara kolektif-kolegial, majelis MA berpendapat peraturan itu bukan diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Seharusnya setiap peraturan, baik yang menambah maupun mengurnangi hak masyarakat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. “Dalam hal ini secara kelembagaan yang berwenang menerbitkan adalah Direktur Utama BPJS Kesehatan dan prosedur pengundangannya dicantumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia,” begitu kutipan pertimbangan majelis MA dalam putusan bernomor 59 P/HUM/2018, 58 P/HUM/2018, dan 60 P/HUM/2018.

Merujuk pertimbangan tersebut majelis MA menyatakan Perdirjampelkes BPJS Kesehatan No.2, 3, dan 5 Tahun 2018 bertentangan dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik. Khususnya, bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan prosedur pengundangannya dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dan Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011.

Kuasa Hukum PDIB, Muhammad Reza Maulana, mengatakan sudah menerima salinan resmi ketiga putusan itu Jumat (23/11). Menurutnya putusan itu bersifat final dan mengikat, secara resmi berlaku setelah para pihak menerima salinan putusan tersebut.

Reza mengatakan materi yang menjadi pertimbangan hukum majelis MA melebihi apa yang dibayangkan karena secara secara substansi pihaknya hanya meminta MA membatalkan sejumlah pasal yang dimohonkan. Tapi dalam putusan itu majelis MA menyatakan banyak hal misalnya menyebut Perdirjampelkes itu diterbitkan bukan oleh pejabat yang berwenang sehingga majelis mengabulkan permohonan uji materiil PDIB.

Sebagaimana putusan tersebut Reza mengatakan secara hukum Perdirjampelkes tidak lagi dapat digunakan sebagai dasar hukum pelaksanaan tindakan BPJS Kesehatan dimanapun di Indonesia. “Karena secara hukum seluruh materi muatan Peraturan terebut telah dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku atau tidak mengikat secara hukum karena telah dibatalkan Mahkamah Agung,” ujar Wakil Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Dokter Indonesia (LBHDI) itu melalui pesan singkat, Minggu (25/11).

Ahli hukum tata negara Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, menyebut secara formil putusan MA itu tidak tepat karena Perdirjampelkes BPJS Kesehatan tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Mengutip pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 Bayu menyebut peraturan perundang-undangan itu memuat 5 unsur yaitu tertulis, memuat norma hukum, mengikat secara umum, dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, terakhir melalui prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan.

Kelima unsur itu menurut Bayu harus terpenuhi secara kumulatif. Untuk melihat apakah suatu pejabat atau badan dapat menerbitkan peraturan perundang-undangan maka harus dilihat kewenangannya apakah sifatnya atribusi atau delegasi. Menurutnya BPJS Kesehatan merupakan badan non struktural atau tidak termasuk dalam kategori kementerian atau lembaga pemerintahan. Mengacu UU No. 40 Tahun 2004 dan peraturan turunannya menjelaskan BPJS yang memiliki kewenangan yakni BPJS secara kelembagaan bukan pejabatnya sehingga yang harusnya menandatangani Peraturan BPJS yakni Direktur Utama.

Bayu menjelaskan peraturan perundang-undangan melewati proses harmonisasi kemudian diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Peraturan Direktur BPJS tidak melalui proses tersebut. Tapi jika regulasi itu berbentuk Peraturan BPJS, prosesnya harus melalui tahap harmonisasi dan diundangkan oleh karenanya Peraturan BPJS masuk dalam kategori peraturan perundang-undangan.

Mengacu UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (terakhir diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009red), Bayu menjelaskan MA berwenang menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU. Perdirjampelkes BPJS Kesehatan ini tidak termasuk peraturan perundang-undangan tapi peraturan kebijaksanaan. “Secara formil putusan ini tidak tepat, tapi secara materiil karena peraturan ini mengakibatkan kerugian publik maka MA membatalkan,” katanya ketika dihubungi, Jumat (30/11).

(Baca juga: Ingat! 1 Januari 2019 Seluruh Penduduk Harus Masuk Program Ini).

Untuk peraturan yang sifatnya mengikat secara umum Bayu mengusulkan agar diterbitkan Peraturan BPJS Kesehatan, bukan Peraturan Direktur. Mengingat Peraturan BPJS Kesehatan termasuk dalam peraturan perundang-undangan, proses penerbitannya akan melalui beberapa tahap seperti perencanaan, pembahasan, harmonisasi dan pengundangan. Jika peraturan ini sifatnya sangat mendesak untuk segera diterbitkan, BPJS Kesehatan bisa melakukan inisiasi untuk membahas substansinya dan melakukan harmonisasi ke Kementerian Hukum dan HAM.

Mengenai pelaksanaan putusan ini Bayu mengingatkan ada perbedaan antara uji materiil yang dilakukan MA dan MK. Uji materiil di MK bisa dilaksanakan secara langsung sejak putusan itu dibacakan, tapi untuk uji materiil di MA harus ada tindakan pencabutan dari pejabat yang menerbitkan peraturan itu.

Ketentuan itu diatur pasal 8 Peraturan MA No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang menyebut dalam 90 hari setelah putusan dikirim ke Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan perundang-undangan itu tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan itu tidak mempunya kekuatan hukum.

Tags:

Berita Terkait