Inilah Hasil Kajian LIPI tentang Penyusunan PP Pengupahan
Utama

Inilah Hasil Kajian LIPI tentang Penyusunan PP Pengupahan

Pemerintah perlu membenahi proses penetapan kebijakan pengupahan. Ada usulan memperpendek jangka waktu evaluasi KHL.

ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Gedung LIPI. Foto: www.bkhh.lipi.go.id
Gedung LIPI. Foto: www.bkhh.lipi.go.id
Begitu dirilis Pemerintah, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan langsung disorot banyak kalangan. Pengusaha memberikan apresiasi karena Peraturan Pemerintah ini dianggap memberikan kepastian; sebaliknya buruh mengecam karena formula penetapan upah dianggap merugikan para pekerja.

Bagaimana pendapat pihak di luar pengusaha dan pekerja? Kelompok Kajian Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) rupanya sudah melakukan kajian terhadap proses pembentukan PP Pengupahan tersebut. Hasilnya, proses pembahasan dinilai minim melibatkan publik. Publik di sini bisa berarti buruh bisa juga pekerja. Keduanya adalah pemangku kepentingan yang seharusnya banyak dilibatkan.

Peneliti LIPI, Lilis Mulyani, mengatakan pemerintah cenderung abai dalam melibatkan lembaga tripartit nasional (Tripnas) yang terdiri dari unsur pemerintah, buruh dan pengusaha. Padahal untuk mewujudkan hubungan industrial yang dinamis keterlibatan berbagai pihak itu penting. Lilis mengingatkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan asas keterbukaan (partisipatif, dialogis dan transparan) dalam membentuk regulasi.

“Kelompok Kajian Ketenagakerjaan (LIPI) mengusulkan kepada pemerintah untuk membenahi proses penetapan kebijakan pengupahan agar memenuhi asas keterbukaan serta asas pembentukan perundang-undangan yang lain,” kata Lilis dalam diskusi yang diselenggarakan LIPI di Jakarta, Selasa (03/11).

Lilis menekankan proses dialog harus dilakukan. Misalnya, pemerintah telah menetapkan formula pengupahan sebagaimana diatur dalam PP Pengupahan. Namun, kalangan buruh menolak formula itu dan pengusaha juga punya formula sendiri untuk menaikan upah. Menurutnya, para pihak yang berkepentingan dibidang ketenagakerjaan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dalam merumuskan kebijakan. Lewat dialog itu masing-masing pihak bisa mengusulkan variabel apa yang perlu dimasukan dalam formula pengupahan.

Peneliti Bidang Ketenagakerjaan Pusat Penelitian dan Kependudukan LIPI, Triyono, mengatakan PP Pengupahan menguntungkan bagi wilayah yang gerakan buruhnya lemah karena upah mereka dipastikan naik setiap tahun. Sebaliknya, untuk daerah yang gerakan buruhnya kuat seperti Jabodetabek, PP Pengupahan tidak menguntungkan sebab melemahkan peran serikat buruh dalam berunding tentang kenaikan upah minimum.

“Kenaikan upah minimum sebagaimana diatur dalam PP Pengupahan sudah jelas menggunakan formula yang acuannya inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Triyono.

Triyono berpendapat formula yang digunakan pemerintah adalah jalan tengah, sebab persoalan ketenagakerjaan itu tidak melulu urusan antara buruh dan pengusaha tapi juga para pencari kerja. Walau begitu bukan berarti PP Pengupahan yang ada saat ini sudah tepat.

Triyono malah mengusulkan penyempurnaan, salah satunya terkait evaluasi komponen KHL lima tahun sekali. Menurutnya evaluasi KHL itu harus dipersingkat lagi waktunya menjadi tiga tahun sekali. Dengan begitu maka dialog antara pemerintah, buruh dan pengusaha lebih sering intensitasnya. “Kalau evaluasi KHL tiga tahun sekali maka kelemahan dan kekurangan KHL akan dievaluasi terus,” urai Triyono.

Selain itu Triyono menyoroti lemahnya pengawasan dibidang ketenagakerjaan. Salah satu penyebabnya yakni otonomi daerah. Oleh karenanya ia mengusulkan agar pengawasan dikembalikan lagi jadi kewenangan pemerintah pusat, bukan daerah.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Pratiwi Febry, mencatat beberapa hari sebelum PP Pengupahan diterbitkan Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri, melakukan sosialisasi kepada serikat buruh. Menurutnya yang harus dilakukan pemerintah itu bukan sosialisasi tapi dialog. Sehingga masukan-masukan yang diberikan buruh terhadap PP Pengupahan dapat diakomodir. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan sehingga buruh melakukan penolakan ketika PP Pengupahan diundangkan.

“Pemerintah tidak melakukan dialog kepada buruh sebelum menerbitkan PP Pengupahan, maka tidak heran ketika PP Pengupahan diterbitkan menuai protes keras dari kalangan buruh,” kata Pratiwi.

Pratiwi menilai PP Pengupahan itu cacat formil karena pembentukannya tidak sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012. Sebab pemangku kepentingan seperti buruh dan pengusaha tidak dilibatkan membahas peraturan tersebut. Mestinya, pemerintah terbuka dan transparan dalam membentuk peraturan. “PP Pengupahan cacat formil,” tegasnya.

Sejalan itu UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No.8 Tahun 2005 tentang LKS Tripartit mengamanatkan Presiden untuk membentuk LKS Tripartit Nasional. Lembaga itu harus dilibatkan dalam membentuk peraturan terkait ketenagakerjaan. Namun proses pembahasan PP Pengupahan di LKS Tripnas tidak terjadi. Bahkan kalangan peneliti mengaku kesulitan mengakses RPP Pengupahan.

Pratiwi berpendapat ada dua hal yang dipertentangkan oleh pemerintah dalam PP Pengupahan yaitu kepastian dan kesejahteraan masyarakat. Padahal keduanya penting dan tidak boleh dipisahkan. Kebijakan pengupahan harus holistik dan tidak boleh mengorbankan salah satu pihak baik buruh atau pengusaha.
Tags: