Ini yang Terjadi Bila Pemberantasan Terorisme Memberlakukan Pidana Mati

Ini yang Terjadi Bila Pemberantasan Terorisme Memberlakukan Pidana Mati

Akan menimbulkan perlawanan yang lebih besar lagi bagi jaringan kelompok terorisme lainnya.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Pemerintah dan DPR sudah mulai masuk tahap pembahasan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Beragam pasal dalam RUU menjadi sorotan banyak kalangan. Antara lain penerapan pidana hukuman mati terhadap pelaku dipandang bakal berdampak program deradikalisasi tak berkembang. Perlunya pengkajian dan evaluasi terhadap penerapan hukuman mati terhadap pelaku selama ini justru tak melunturkan semangat para pelaku lainnya.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, berpandangan dalam penegakan hukum serangkaian extra judicial killing dilakukan terhadap para pelaku dan terduga pelaku. Ironisnya, banyaknya dari kelompok pelaku terbunuh dalam rangkaian penyergapan oleh aparat penegak hukum sebelum menghadapi proses persidangan. Apalagi, regu tembak di bawah putusan mati pengadilan sudah siap mengarahkan moncong senjata laras panjangnya terhadap pelaku terpidana hukuman mati.

DPR dan pemerintah mesti menelisik secara mendalam dan jernih. Setidaknya kenyataan dan fakta di lapangan, kebijakan hukuman menghapuskan pidana mati dalam tindak pidana terorisme mesti dipandang dalam agenda yang lebih besar. Dikatakan Supri, poin penting dalam RUU tersebut yakni program deradikalisasi merupakan investasi besar dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.

“Penggunaan pidana mati akan mengakibatkan program deradikalisasi justru tidak akan berkembang,” ujarnya di Jakarta, Senin (9/5).

Ia menilai menempatkan pidana mati dalam penanggulangan tindak pidana terorisme justru membuat pelaku terorisme dipandang sebagia martir oleh kelompoknya. Bahkan menjadi kehormatan besar mati dalam menjalankan tugas yang diyakini oleh mereka sebagai perbuatan ideologis.

ICJR, kata Supri, tegas menolak masuknya ancaman pidana mati dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebagaimana diketahui, dalam RUU tersebut setidaknya terdapat dua pasal yang mengatur ketentuan hukuman mati. Yakni dalam Pasal 6 dan 14. Kedua pasal tersebut meski penggunaan pidana mati, namun masih diberikan pilihan majelis hakim menjatuhkan hukuman mati seperti penjara seumur hidup dan paling lama 20 tahun.

Pasal 6 menyebutkan, “Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang:  A. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas; B. Menimbulkan korban yang bersifat massal, merampas kemerdekaan, atau hilangnya nyawa  dan harta benda orang lain; dan/atau  C. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yabg strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan/atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”.

Sedangkan Pasal 14 menyebutkan,“Setiap orang yang dengan sengaja menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 10A, pasal 12, pasal 12A, dan pasal 12B, dipidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana oenjara 20 (20) tahun”.

Lebih lanjut, Supri menilai pemerintah selaku pengusul RUU tersebut tidak cukup kuat mengkaji perihal efektif tidaknya ancaman pidana mati dalam penanggulangan terorisme di Indonesia.Tak hanya itu, pemerintah tidak mengikutsertakan evaluasi terhadap eksekusi mati terhadap terpidana mati selama ini.

“Apakah eksekusi tersebut telah membuahkan hasil atau tidak, setidak-tidaknya dengan parameter efek jera yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah menjadi salah satu alasan kuat masih perlunya pidana mati,” katanya.

Menurutnya, penggunaan pidana mati dalam kasus-kasus terorisme tidak tepat. Dalam tinjauan historis, penggunaan pidana mati dalam kasus terorisme justru menimbulkan inspirasi baru bagi kegiatan teror lainnya. Sebaliknya, hukuman mati bagi teroris melanggengkan label pelaku terorisme sebagai pahlawan ideologis. Tak hanya itu, penerapan  pidana mati justru akan menimbulkan perlawanan yang lebih besar lagi bagi jaringan kelompok terorisme lainnya.

Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Sukamta berpandangan konstruksi RUU tersebut melupakan asas. Meski terorisme masuk kategori kejahatan besar, namun aspek asas perlu diatur. Ia menilai dalam RUU tesebut tidak mengatur makna ‘terorisme’.

“Yang ada hanyalah beberapa atura bahwa setiap orang yg melakukan tindakan tertentu (rinciannya ada di UU nya) dipidana dengan hukuman tertentu. Tapi istilah terorisme itu sendiri tidak didefinisikan,” ujarnya.

Terkait dengan  penerapan hukuman pidana mati, memang RUU tersebut masih mengatur sebatas pemberantasan. Namun terpenting aspek pencegahan mesti diatur gamblang. Dengan begitu, ketika aspek pencegahan dikuatkan, maka penindakan menjadi langkah terakhir.

Menurut anggota Komisi I dari Fraksi PKS itu, ketika pencegahan dilakukan di berbagai lini, maka peristiwa terorisme tak perlu terjadi. Dengan begitu, penerapan hukuman mati tak lagi dipergunakan sepanjang pencegahan diperkuat.

Tags:

Berita Terkait