Ini yang Perlu Dilakukan Pemerintah Agar Pelaksanaan UU Cipta Kerja Optimal
Utama

Ini yang Perlu Dilakukan Pemerintah Agar Pelaksanaan UU Cipta Kerja Optimal

Pemerintah perlu mengakselerasi aturan pelaksana UU Cipta Kerja karena terdapat ketentuan baru yang harus disesuaikan di tingkat pusat dengan daerah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10/2020) lalu. Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10/2020) lalu. Foto: RES

Dampak kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih berlanjut saat ini. UU yang menerapkan metode omnibus law tersebut tidak hanya mengakibatkan perubahan regulasi tapi juga menghadirkan berbagai aturan lanjutan baru seperti peraturan pemerintah (PP) serta peraturan menteri (permen) hingga peraturan tingkat daerah.

Supaya implementasi UU Cipta Kerja terlaksana optimal pemerintah pusat disarankan segera menerbitkan aturan pelaksana UU Cipta Kerja tersebut, demi memberi kepastian hukum. Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Bima Arya Sugiarto menyampaikan UU Cipta Kerja menimbulkan tsunami regulasi, sehingga terdapat berbagai ketentuan baru yang harus disesuaikan antara tingkat pusat dengan daerah.

“UU Cipta Kerja ini menghadirkan tsunami regulasi, jadi banyak sekali peraturan tambahan yang harus diproduksi agar Omnibus Law ini tidak saja mendorong investasi tapi pemulihan ekonomi, economy recovery dan economy rebound,” jelas Bima dalam Webinar Hukumonline “Cipta Kerja Updates: Kesiapan Pemerintah daerah dalam Implementasi OSS”, Kamis (6/5).

Lebih lanjut, Bima menyoroti sektor perizinan usaha dan tata ruang yang sangat memerlukan penyesuaian antara pemerintah pusat dan daerah. Dia menjelaskan PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang masih belum jelas implementasinya. Sebab, dalam PP tersebut, Bima menjelaskan masih membutuhkan berbagai ketentuan teknis yang diatur dalam Permen.

“Misalnya PP 21/2021 ini saja 70 kali disebutkan dalam Permen. Sehingga, kalau enggak ada (Permen maka PP ini tidak bermakna,” jelas Bima. (Baca: Memahami Aturan Pelaksana Sektor Minerba Pasca UU Cipta Kerja)

Selain itu, Bima juga menyoroti implementasi PP 6/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah yang belum jelas. Dia menjelaskan permasalahan tersebut berada pada standar struktur organisasi Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di daerah.

“Ada sektor-sektor yang harus ada pada struktur DPMPTSP. Jadi DPMPTSP ini ada standar, struktur yang sama. Namun, sampai hari ini tidak jelas juga bentuk strukturnya. DPMPTSP yang jadi kunci pelayanan OSS (one single submission) belum jelas juga strukturnya,” jelas Bima.

Menurut Bima, pemerintah harus mempercepat akselerasi aturan pelaksana UU Cipta Kerja agar implementasinya berjalan optimal. Selain itu, dia juga menyoroti beragam aplikasi perizinan di daerah. Menurutnya, aplikasi tersebut harus diintegrasikan dengan pusat, sebab dia menceritakan masih terdapat daerah-daerah belum siap dari sisi layanan dan teknologi.

“Kami berharap ada bantuan kepada daerah dari konsultan, percepatan revisi, serta IT daerah belum mendukung,” pungkas Bima.

Sementara itu, Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerja Sama Kementerian Dalam Negeri, Prabawa Eka Soesanta menyampaikan melalui UU Cipta Kerja perizinan berusaha hanya berlaku bagi kegiatan usaha kategori risiko tinggi. Dia menjelaskan pemerintah sedang menyiapkan kelembagaan PTSP yang kuat. Nantinya, setiap PTSP memiliki lima jenis pelayanan yaitu pelaksanaan perizinan, pengelolaan pengaduan, pengelolaan informasi, penyuluhan dan konsultasi dan pengawasan.

“Ini akan dibantu oleh BKPM dengan OSS risk-based approach. Dari situ diharapkan ada pelayanan prima, kecepatan pelayanan, kemudahan berusaha, ekonomi meningkat dan akhirnya kesejahteraan masyarakat meningkat,” jelas Prabawa.

Dia menjelaskan terdapat tantangan sehubungan pengawasan investasi. Menurutnya, kemudahan perizinan berusaha tersebut berisiko terjadi distorsi atau pelanggaran. Menurutnya, kepala daerah diminta mendelagasikan perizinan daerah kepada Kepala DPMPTSP sehingga memiliki mandat mengelola OSS berbasis risiko.

“Kami meminta Kepala Daerah berdasarkan bunyi PP-nya (PP 6/2021) mendelegasikan kepada Kepala DPMPTSP,” jelas Prabawa.

Dia juga menjelaskan sehubungan Pendapatan Asli Daerah (PAD) akan terkena dampak karena perizinan daerah tidak dikenakan biaya. Dia mengatakan pemerintah pusat dan daerah sedang menghitung potensi penurunan PAD akibat ditetapkannya perizinan sesuai UU Cipta Kerja. Nantinya, pemerintah pusat akan memberi dukungan insentif anggaran sesuai perundang-undangan.

“Nantinya, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri akan bersama-sama memformulasikan bentuk peraturannya,” jelasnya.

Kemudian, penyelenggaraan perizinan berusaha pada DPMPTSP harus didukung oleh aparatur sipil negara yang merupakan pelaksana tugas dan fungsi pelayanan perizinan berusaha yang disediakan secara proporsional untuk mendukung kinerja DPMPTSP. Dalam rangka meningkatkan kualitas, jangkauan, dan akses yang lebih luas kepada masyarakat, DPMPTSP dapat mendayagunakan aparatur sipil negara di kecamatan atau kelurahan/desa atau nama lain atau perangkat kelurahan/desa atau nama lain.

Selain itu, pada saat PP 6/2021 mulai berlaku Perda dan Perkada yang mengatur Perizinan Berusaha di daerah wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini paling lama dua bulan terhitung sejak PP ini diundangkan. Ketentuan tersebut tidak berlaku untuk Perda dan Perkada yang jangka waktu penyesuaiannya ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, Chief Executive Officer Easybiz, Leo Faray Tody menyampaikan kemudahan izin berusaha sudah sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha. Penerapan OSS sudah mengintegrasikan perizinan di tingkat kementerian dan daerah. “Hal-hal yang tadinya sulit dibayangkan perizinan jadi satu dengan OSS sudah banyak yang terintegrasi,” jelas Leo.

Namun, dia menjelaskan tidak semua perizinan belum terlesesaikan melalui OSS. Dia berharap melalui UU Cipta Kerja semakin sedikit perizinan secara offline. Saat ini, pihaknya sedang menunggu aturan pelaksana dari UU Cipta Kerja untuk mengetahui konsistensi implementasi perubahan fundamental perizinan.

“Kami berharap implementasi perizinan lewat UU Cipta Kerja karena mengubah fundamental perizinan yang harusnya simple, sehingga orang bisa berusaha dengan mudah. Lewat UU Cipta Kerja penuh harapan dan tinggal PR-nya implementasi,” jelas Leo.

Walikota Pekan Baru, Firdaus menyatakan pihaknya siap menerapkan ketentuan baru perizinan berusaha. Berbagai agenda telah dipersiapkan sejak Februari hingga Desember 2021 untuk menerapkan OSS berbasis risiko. Mulai dari pembangunan sistem OSS hingga sosialisasi kepada kementerian, lembaga dan pemda dilakukan agar penerapan OSS berbasis risiko optimal.

Selain itu, pihaknya juga mempersiapkan revisi peraturan daerah sehubungan perizinan lingkungan, bangunan dan kegiatan pemanfaatan ruang. Kemudian, pihaknya juga menyiapkan sarana dan prasaran agar implementasi OSS memberi pelayanan maksimal kepada masyarakat.

“Sarana dan prasaran sudah disiapkan. Kami nanti juga sudah terintegrasi dengan kementerian dan lembaga,” jelas Firdaus.

Direktur Deregulasi Kementerian Investasi dan BKPM, Dendy Apriandi menjelaskan sehubungan perizinan daerah terdapat berbagai ketentuan yaitu NSPK Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dalam OSS merupakan acuan tunggal bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pelaku Usaha.

Kemudian, pemda wajib menggunakan sistem OSS dalam pelayanan Perizinan Berusaha. Pemda dapat mengembangkan sistem internal sebagai pendukung dalam melakukan verifikasi Perizinan Berusaha (OSS) seperti pemenuhan persyaratan atau pembayaran retribusi daerah sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Dendy juga memaparkan gubernur atau bupati/wali kota mendelegasikan kewenangan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota kepada Kepala DPMPTSP Provinsi/Kabupaten/Kota. Kepala DPMPTSP Provinsi sebagai koordinator pengawasan terintegrasi untuk kewenangan provinsi.  Kepala DPMPTSP Kab/kota sebagai koordinator pengawasan terintegrasi untuk kewenangan Kab/kota.

Tags:

Berita Terkait