Menurutnya, perlu diatur mengenai larangan pengucuran bailout bagi perbankan asing yang beroperasi di Indonesia jika menjadi bank gagal. Pengaturan ini dianggap Budi penting meskipun bank gagal tersebut bisa berdampak sistemik kepada perekonomian nasional.
“Ini berberbahaya, ilustrasinya saat Lehman Brother ditutup cabang mereka yang di Inggris juga mengalami hal yang sama, nah saat itu Gubernur Bank Inggris mengatakan kok kami disuruh bailout juga,” kata Budi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (8/4).
Ia mengatakan, dari sekitar 17 ribu cabang perbankan di Indonesia, hampir 43 persen di antaranya atau sebanyak 7982 cabang merupakan cabang dari bank asing. Sedangkan dari 119 bank di Indonesia, 68 perbankan dimiliki oleh orang Indonesia atau berbadan hukum Indonesia.
Atas dasar itu, lanjut Budi, jika CIMB Niaga, NISP, UOB atau Maybank mengalami kegagalan. Maka, nasib anak usaha perbankan asing yang beroperasi di Indonesia tersebut seperti, CIMB Niaga, BII Maybank dan Buana UOB tidak usah dikucurkan bailout oleh pemerintah Indonesia, walaupun nasabahnya adalah orang Indonesia.
“Memang nasabahnya memang nasabah di Indonesia, tapi apa iya kita harus membailout mereka,” kata Budi.
Terkait hal ini, Anggota Komisi XI DPR Airlangga Hartarto menilai, kasus yang menimpa Lehman Brother di Inggris berbeda dengan anak usaha perbankan asing di Indonesia. Menurutnya, Lehman Brother di Inggris hanya berstatus kantor cabang. Sedangkan, CIMB Niaga dan Buana UOB berstatus berbadan hukum Indonesia. “Ini bisa missleading,” katanya.
Budi tak menampik jika CIMB Niaga atau Buana UOB berbadan hukum Indonesia. Namun, pemegang saham pengendali atau ultimate owner di bank-bank tersebut tetap pihak asing. Menurutnya, klausul pelarangan pemberian bailout bagi perbankan asing tersebut penting jika sewaktu-waktu bank tersebut mengalami kegagalan.
Ia menilai, jika mengalami kegagalan, pemegang saham pengendali bank-bank tersebut bisa menarik saham mereka yang kemudian berdampak di Indonesia. Atas dasar itu, suntikan modal tambahan tidak perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia. “Memang karena subsidiarinya berbadan hukum Indonesia, memang agak sulit, tapi harus diatur dalam RUU perbankan, jangan sampai pemerintah yang bailout,” tukasnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memberikan masukan terhadap penyusunan RUU Perbankan. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, salah satu masukannya adalah perlu ada kebijakan bail-in untuk mengantisipasi jika terjadi krisis yang menimpa sektor perbankan.
Bail-in merupakan kebijakan yang mewajibkan perbankan atau pemilik bank menyediakan dana untuk mengobati persoalan krisis yang tengah terjadi. Kewajiban ini bertujuan agar dampak sistemik dari krisis tersebut tidak merembet kepada bank-bank lain.
“Agar bank terutama jika ditutup dan berdampak sistemik memiliki cara untuk menolong dirinya sendiri,” kata Halim dalam sebuah diskusi di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa (24/3).
Penggunaan bail-in, kata Halim, merupakan salah satu pengaturan yang disepakati di dunia internasional, seperti G20 dan Komite Basel. “Dunia internasional sangat tidak setuju, tidak lagi menggunakan dana negara. Dulu ada bail-out, sekarang tidak dianjurkan lagi,” katanya.
Meski mengedepankan kebijakan bail-in, dalam RUU Perbankan juga masih bisa menggunakan bail-out. Namun, penggunaan bail-out tersebut hanya bisa dilakukan setelah kebijakan bail-in dilaksanakan oleh si pemilik bank. “Jika tidak cukup (dana yang disediakan pemilik bank, red), baru pakai uang negara (bail-out). Jadi kita harus ikuti itu,” pungkasnya.